Berbagai Fenomena Potensi Banjir

Sumber:Media Indonesia - 11 Februari 2004
Kategori:Banjir di Jakarta
BANJIR di Kota Jakarta boleh dikatakan tidak pernah terantisipasi dengan baik, hingga kini, sehingga setiap kali musibah itu datang, kerugian yang terjadi, baik harta maupun nyawa, menjadi suatu hal yang biasa; tunggu... dan relakan saja.

Setidaknya, ada empat faktor mengapa suatu daerah, seperti Jakarta ini, menjadi kawasan banjir. Pertama, faktor kondisi topografis/geografis. Jika suatu daerah terdapat lahan-lahan dengan bentuk cekungan ataupun dataran rendah, maka akan tergenang pada waktu-waktu tertentu.

Faktor kedua adalah curah hujan; apabila intensitas hujan yang terus-menerus dan di atas rata-rata, dapat menyebabkan terjadinya akumulasi air. Yang ketiga adalah faktor kondisi daerah aliran sungai (DAS). Pembangunan yang tidak terkendali di sepanjang daerah aliran sungai dapat mengakibatkan perubahan pola aliran menjadi tidak normal, yang akhirnya berpotensi menimbulkan banjir.

Yang keempat adalah faktor tata guna lahan. Faktor inilah yang menjadi persoalan utama terjadinya banjir di Ibu Kota. Berulang menjadi sorotan, tetapi seakan tidak pernah menyentuh persoalan pada pelaksanaan di lapangan.

Rentan

Dengan terjadinya banjir, ditambah lagi dengan kondisi buruk ekonomi, akan terakumulasi dalam bentuk menurunnya parameter kesehatan lingkungan. Demikian, pernah diutarakan ekotoksikologis Dr Budiawan. "Lingkungan bukan lagi menjadi perhatian utama, maka konsekuensi logisnya kualitas lingkungan akan semakin menurun."

Maka, datangnya musim hujan yang berdampak banjir akan selalu mendatangkan masalah sampingan, yaitu timbulnya wabah penyakit. Staf Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan (Puska RKL) Fakultas MIPA Universitas Indonesia ini mengatakan yang paling rentan dan berpotensi menjadi wabah penyakit di antara risiko banjir adalah meluapnya sumber air kotor.

Air yang berisiko terhadap kesehatan itu terutama dari sumber saluran dan pembuangan limbah domestik dan sungai yang sudah tercemar. Ujung-ujungnya, sumber kebutuhan air masyarakat tercemar. Dengan tercemarnya sumber air akan menyuburkan bakteri E-coli dan Salmonela yang menimbulkan wabah penyakit diare.

Bukan hanya meluapnya air sungai yang tercemar ke sumber kebutuhan air, limbah yang bersumber dari MCK (mandi, cuci, kakus) pun akan menyebar ke mana-mana.

Antisipasi yang umumnya buruk menjadi penambah besarnya potensi bencana wabah penyakit ini. Pasalnya, banjir akan menyebarkan berbagai limbah mulai limbah domestik hingga limbah industri yang mencemari aliran air sungai. Apalagi, nyatanya sungai-sungai di Jakarta sama sekali tidak steril dari polutan industri.

Antisipasi apa yang perlu dilakukan?

Pertama yang mudah dilakukan adalah menjaga kebersihan lingkungan. Saluran got di sekitar perumahan harus dibersihkan. Bagian yang bisa mengalirkan air harus lancar. Begitu juga dengan sungai harus menjadi perhatian. Sungai jangan dijadikan tempat pembuangan sampah. Aliran sungai harus selalu berjalan lancar dan tak tertahan tumpukan sampah.

Budiawan melihat seakan masalah lingkungan ini tak pernah tuntas. Terlebih lagi, kota-kota besar yang memiliki daerah kumuh atau tata lingkungan yang tak sesuai dengan tata kota. Bisa jadi, penanganan lingkungan yang buruk itu karena kurangnya informasi dari pihak berwenang. Bahkan, program penanaman pohon di bantaran sungai yang harusnya dilaksanakan, sering kali tak sesuai harapan.

Sementara itu, ahli teknik hidraulik Iswoko, mengakui pemerintah pada umumnya kesulitan untuk memberikan peringatan dini. Masyarakat masih menganggap banjir adalah hal rutin dengan ketinggian air yang sama setiap tahunnya. Padahal, karakteristik banjir itu berbeda-beda, begitu pula dengan ketinggiannya.

''Ketika tahun lalu kami meminta mereka untuk mengungsikan barang-barang seperti kulkas, mereka malah bilang, 'Biasanya juga banjir terus.' Padahal, kami ingin masyarakat menyadari bahwa banjir akan tiba dan bersiap-siap,'' katanya.

Bantaran sungai, di saat kemungkinan datang banjir, semestinya kosong -- misalnya dari bangunan-bangunan liar -- karena sangat rawan terbawa arus sungai. Apalagi hunian liar itu terbuat dari bahan yang sangat rapuh. Sementara ini, langkah pengerukan sungai yang dilakukan baru pada tahap pemeliharaan, bukan pencegahan yang signifikan. Pengerukan hanya mengangkat lumpur dan sampah-sampah yang mengendap di dasar sungai. (Faw/Drd/S-3)

Post Date : 11 Februari 2004