Berpuluh-puluh Tahun Tanpa Suplai Air Bersih...

Sumber:Kompas - 30 April 2009
Kategori:Air Minum

Hasyim (45), warga Desa Ulak Segelung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Selasa (28/4), sedang membantu istrinya, Tinah (40), membuka keran air dari sebuah bak penampungan desa setempat. Namun, ketika air mengalir dari keran yang dia buka, Hasyim sudah melontarkan keluhan kepada istrinya karena air yang mengalir berbau kurang sedap dan berwarna.

”Wah, makin lama air dari sumur yang diresapkan di gentong makin berwarna kuning. Air ini tidak pacak (tidak layak) buat minum atau memasak, cuma pacak buat nyuci baju sama peralatan rumah tangga bae,” katanya kepada si istri.

Si istri kemudian menimpali keluhan Hasyim dengan melontarkan pernyataan bahwa lebih baik kebutuhan air bersih untuk minum dan memasak dibeli saja dari pedagang keliling.

Menurut Tinah, lebih baik mengeluarkan uang Rp 8.000 untuk membeli air galon daripada harus menanggung risiko meminum air yang berbau menyengat tersebut.

Begitulah kira-kira gambaran kehidupan warga yang tinggal di kawasan pinggiran dan pedalaman Kabupaten Banyuasin. Selama berpuluh-puluh tahun, dari generasi ke generasi, mereka hidup dalam keterbatasan. Keterbatasan ini terlihat dari belum meratanya akses listrik ke permukiman warga serta belum tersedianya jaringan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

”Untuk membeli air bersih, kami harus mengeluarkan uang Rp 8.000 per jeriken ukuran 12 liter. Ini diperoleh dari beberapa pedagang keliling yang menjadi langganan warga,” kata Nursalam, warga desa lainnya.

Kondisi ketiadaan suplai air bersih tersebut membuat beban pengeluaran warga bertambah, khususnya saat musim hujan sudah berakhir. Nursalam menuturkan bahwa dalam seminggu ini dia harus mengeluarkan uang minimal Rp 50.000 untuk membeli air bersih.

Jika dikalkulasi secara total dalam sebulan, Nursalam menuturkan, dia bisa mengeluarkan uang lebih dari Rp 200.000 untuk membeli pasokan air bersih dari pedagang keliling tersebut.

”Sebenarnyo, sayang nian kami harus ngeluarke uang besak (sayang sebenarnya jika harus mengeluarkan uang cukup banyak) sampai Rp 200.000 hanya untuk membeli air bersih dalam jeriken. Uang itu sebenarnya pacak dibelike (bisa dibelikan) kebutuhan lainnya, seperti tambahan menu makan dan keperluan sekolah anak,” kata Nursalam.

Sejak dulu

Kondisi ketiadaan suplai air bersih di Desa Ulak Segelung dan sejumlah desa tetangganya ini sebenarnya bukan merupakan persoalan baru bagi warga setempat. Namun, kondisi tersebut sudah dialami warga sejak berpuluh-puluh tahun silam.

Menurut Nursalam, dia sudah tinggal di desa tersebut sejak lahir sampai sekarang dia memiliki dua anak. Dulu ketika masih kecil, Nursalam sering membantu orangtuanya mengambil suplai air bersih dari sumur bersama milik warga desa.

”Sumur itu letaknya 3 kilometer dari rumah saya. Setiap sore setelah pulang sekolah, saya bertugas mengambil air dua jeriken dengan menggunakan sepeda. Rutinitas ini dilakukan setiap hari, untuk keperluan mandi dan mencuci pada esok harinya,” kata Nursalam.

Setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, jaringan pelayanan air bersih dari PDAM setempat juga belum masuk ke Desa Ulak Segelung. Kini, setiap warga mendapat suplai air dari sumur di dekat rumah masing-masing. Sebagian warga lain memperoleh suplai air bersih dengan cara menampung air hujan ke sebuah tandon plastik.

”Air sumur dan hujan harus diendapkan satu sampai dua hari. Namun, walau jadi lebih jernih, air tetap berbau menyengat. Kalau diminum kurang layak,” katanya.

Pantauan Kompas, sebagian besar warga desa memiliki sumur gali di samping rumah masing-masing. Namun, air di dalam sumur ini masih berwarna coklat sehingga tidak layak dijadikan air minum.

Nursalam dan Hasyim hanya berharap pemerintah daerah setempat bersedia membangun jaringan pelayanan air bersih PDAM.

Peringatan Gubernur

Terkait persoalan air ini, Gubernur Sumsel Alex Noerdin pekan lalu juga sudah mengingatkan bahwa Sumsel terancam kekurangan air bersih pada tahun-tahun mendatang. Menurut Alex, hal ini terjadi karena air hujan jarang bisa tertampung di dalam tanah akibat hutan-hutan yang sudah gundul.

”Selain itu, air tanah juga terancam jadi air payau karena pengaruh intrusi air laut ke dalam tanah,” katanya. (ONI)



Post Date : 30 April 2009