Bersahabat dengan Air Memang Mahal

Sumber:Kompas - 19 November 2007
Kategori:Air Minum
Kata para ilmuwan, 70 persen planet Bumi ini adalah air. Meskipun tidak semua air tawar. Dan kehidupan di planet Bumi ini juga karena faktor keberadaan air. Di Bulan ada bebatuan, ada sinar Matahari, tetapi tidak ada air. Maka tidak ada kehidupan di sana. Entah kalau Amerika, Rusia, China, atau Eropa sudah mampu membuat hujan buatan di Bulan sana, mungkin akan tumbuh kehidupan. Mereka akan migrasi ke Bulan sebelum planet Bumi ini ditelan es kutub yang mencair karena pemanasan global.

Sering kita tidak sadari juga bahwa 70 persen tubuh yang sehat ini adalah air. Jika masih bayi mungkin 85 persen. Ketika masih dalam kandungan 95 persen. Dan sebelum ada janin dalam kandungan ibu, ya air juga. Singkatnya, sudah kodrat alam bahwa kehidupan manusia dan semua makhluk di Bumi ini bersatu berawal dari air, tetap menyatu dengan air, harmonis dengan air.

Meskipun demikian, yang ada dalam kesadaran dan kebutuhan kita sehari-hari hanya air tawar. Bahkan, hanya air tawar yang bisa kita minum, untuk memasak, mencuci dan bersih-bersih, mandi dan sebagainya. Yang begini khususnya orang kota dan modern. Asal air tawar itu terpenuhi, tidak hujan pun bukan masalah. Kalau hujan malah menjadi gangguan. Apalagi hujan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia ini.

Lainlah dengan orang-orang desa, terutama petani dan rakyat kecil yang menggantungkan nafkahnya dari bekerja di alam, seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan. Hujan selalu diharapkan. Tanpa air tidak ada pertanian. Tanpa pertanian tidak ada makanan. Dan tanpa makanan, ya tidak ada kehidupan manusia. Lagi-lagi rantai kehidupan tidak pernah lepas dari air. Jadi, secara alamiah manusia bersahabat dengan air. Dan bukan hanya sebatas air tawar. Karena air tawar itu asalnya juga dari air asin di laut yang mendinginkan lempeng Bumi ini dari panas Matahari.

Kota besar

Akan tetapi, bagaimana dengan kehidupan di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta? Musim hujan datang amatlah langka, disambut dengan gembira dan penuh harapan. Kebalikannyalah yang memenuhi perasaan masyarakat Jakarta. Kecemasan, kejengkelan, bahkan hingga kemarahan yang dialamatkan kepada siapa saja, lebih-lebih kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tak kunjung mampu mengatasi banjir.

Hujan adalah penghambat kehidupan normal. Yang miskin kedinginan karena rumah bocor. Yang hanya punya motor harus berbasah kuyup di jalan, yang kaya mengeluh karena mobil kotor dan seterusnya. Ringkasnya, budaya hidup di Jakarta adalah budaya negatif terhadap air hujan. Lebih kasar lagi, budaya hidup Jakarta adalah budaya bermusuhan dengan hujan dan segala rentetan perjalanan air hujan itu. Tingkat permusuhannya makin tinggi manakala dihubungkan dengan proyek busway yang menimbulkan kemacetan arus lalu lintas di Jakarta tahun ini. Semua itu membuat hidup di ibu kota RI ini penuh penderitaan.

Membayangkan air

Seandainya kita membayangkan air hujan itu berperasaan seperti kita manusia, apakah ia juga mengeluh seperti kita pada waktu musim hujan? Marilah sejenak membayangkan air hujan sebelum roda pembangunan modernisasi Jakarta diputar cepat kira-kira, ya, tahun 1970-an saja. Jadi, awal-awal Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.

Sudah pasti ketika itu air hujan ditunggu-tunggu oleh masyarakat petani Kabupaten Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Bahkan, masyarakat pinggiran kota Jakarta yang waktu itu masih hidup di tanah pertanian, baik sawah maupun ladang.

Setelah air hujan itu mencukupi kebutuhan pertanian, atau sering melebihi, semua air itu dengan nyaman meresap ke dalam tanah. Sebagian lagi memang terus mengalir ke sungai-sungai untuk selanjutnya kembali ke laut. Berapa miliar liter air yang dengan senang tinggal di dalam tanah? Air dalam tanah itu menumbuhkan aneka tumbuhan dan menciptakan kesejukan udara di permukaan tanah. Pada musim kemarau pun air itu dengan senang hati ditimba atau disedot dengan mesin untuk minum, mandi, cuci, siram-siram tanaman hias. Waktu itu air hujan sungguh menikmati "kebahagiaan" dan "kenyamanannya" sebagai air. Dengan begitu, air memberi kehidupan kepada semua makhluk.

Apa yang terjadi sekarang? "Kebahagiaan" dan "kenyamanan" air itu rasanya musnah. Tidak ada jalan lagi bagi air untuk meresap ke dalam tanah karena semua tanah pertanian sudah habis diduduki dan dirampas oleh hutan beton dan aspal. Demikian juga berbagai macam tanaman liar yang dulu bebas di permukaan tanah, sekarang dipasung dalam pot-pot sempit. Kalau kita jadi air, rasanya amat menderita juga di Jakarta dan sekitarnya ini. Dan sampai kapan penderitaan air ini akan berlangsung?

Rasanya mustahil air hujan di Jakarta dan sekitarnya ini bisa menikmati kodrat hidup dan perjalanannya mengitari planet Bumi ini ketika melewati Jakarta. Mungkinkah bangunan megah, jalan aspal dibongkar lalu dikembalikan menjadi tanah pertanian? Jelas tidak mungkin! Kalau demikian, bagaimana kita memikirkan sebuah peradaban dan kebudayaan manusia yang bersahabat dengan 70 persen air di planet Jakarta dan sekitarnya ini? Atau kita tetap akan terus "bermusuhan" dengan air dengan segala risikonya? Tidakkah sudah saatnya kita mengoptimalkan akal budi kita untuk mengeluarkan ide-ide gila tetapi mungkin bisa direalisasi oleh anak cucu kita ratusan tahun yang akan datang?

Pada saat Jakarta cemas dan penuh kesulitan menghadapi air hujan ini, rasanya lebih mulia jika diisi dengan kegiatan memeras otak untuk membangun peradaban dan budaya bersahabat dengan air. Misalnya saja, pemerintah wajib membuat kolam-kolam air bukan ke bawah permukaan tanah, melainkan menjulang ke atas seperti gedung-gedung hunian dan kantor-kantor itu. Kolam-kolam raksasa, kalau perlu seluas lapangan sepak bola, itu diisi air hujan yang menggenangi Jakarta. Tentu dengan teknologi modern, yaitu pompa mesin. Jadi, pompa mesin itu jangan hanya digunakan untuk mengisap air tawar di dalam tanah.

Air dalam kolam itu diproses sedemikian rupa sehingga ketika tidak hujan bisa untuk mencuci mobil, menyirami tanaman, atau malah air minum. Bayangkan betapa besar skala proyek ini. Baiklah kita resapkan dalam sanubari kita bahwa ketika air tidak kita tolak, apa lagi kita musuhi, tentu tidak akan menjadi sumber bencana. Sebaliknya, berkat sentuhan cinta pada air, dilengkapi dengan kreativitas akal budi dan kemauan politik yang teguh dari pemerintah dan masyarakat Jakarta, maka 70 persen air hujan Jakarta dan sekitarnya sungguh-sungguh menjadi air kehidupan. Sisanya 25 persen biarkan meneruskan perjalanan ke laut atau menguap di udara, mendinginkan udara dari sengatan Matahari atau meresap ke dalam tanah. Nah, semoga manusia Jakarta bisa menjadi manusia cinta air demi anak cucu dan generasi ratusan tahun yang akan datang. Memang mahal hidup bersahabat dengan air!V Kirjito Pastor Desa Lereng Merapi; Penggagas dan Motivator Gerakan Masyarakat Cinta Air Merapi



Post Date : 19 November 2007