Bersatu Kita Kuat, Bercerai Kita Rugi

Sumber:Majalah Air Minum - 01 April 2008
Kategori:Air Minum

Era reformasi yang berawal di tahun 1998 membawa banyak perubahan, termasuk di antaranya kebebasan. Demokrasi dan kebebasan disusul dengan kencangnya gerakan kebebasan di daerah-daerah yang cenderung hendak mengatur "rumah tangga"masing-masing. Itu kemudian diakomodasi dengan Undang-undang Otonomi Daerah, sebagai perwujudan aspirasi masyarakat untuk mandiri. Terjadilah banyak sekali pemekaran daerah. Satu provinsi pecah jadi dua, bahkan ada yang ingin jadi tiga. Daerah yang tadinya merupakan sebuah kabupaten, mekar menjadi dua bahkah jadi tiga wilayah administrasi pemerintahan. Ada juga kota administratif melepaskan diri dari induknya, dan menjadi sebuah kotamadya.

Pemekaran (baca: pemisahan) daerah kebanyakan diikuti oleh pemekaran perusahaan-perusahaan daerah yang ada. PDAM tidak terlepas dari masalah itu.

Menyangkut perusahaan-perusahaan daerah, termasuk PDAM, yang ikut mekar (baca: terbelah), terdapat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 73 tahun 1997.

Tercatat sebagian PDAM dapat melewati masalah pemekaran itu dengan mulus, tetapi sebagian besar seperti meninggalkan borok yang sulit diatasi. Ada yang berbuntut terjadinya konflik antara perusahaan asal atau induk dengan sempalannya menyangkut penyerahan aset terkait. Tetapi walau tidak mesti diikuti konflik, walau pembagian aset berjalan mulus, secara ekonomis pemekaran (baca: pengerdilan - Red) PDAM itu sangat tidak menguntungkan. Misalnya seperti yang dialami oleh PDAM Aceh Timur, sebelum mekar saja jumlah pelanggannya hanya sekitar 10.000. Setelah dipecah tiga mengikuti pemekaran wilayah, maka sempalannya ada yang memiliki hanya sekitar 2.000 pelanggan. Bagaimana mungin PDAM seperti itu memberi pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan. Dan bagaimana pula PDAM seperti itu menafkahi karyawannya dengan sewajarnya.

Contoh kasus yang sempat merebak dan terbawa sampai ke Jakarta menyangkut pemekaran PDAM Riau Kepulauan, PDAM di Halmahera, di Bitung, dan banyak lagi yang lepas dari bekas induknya sehubungan dengan mekarnya daerah-daerah tersebut menjadi dua.

Di Riau, masalahnya terkait dengan hibah aset yang disertai hibah utang. Yang satu berpendapat, seyogianya utang tidak ikut dihibahkan, hanya asetnya. Sebaliknya, bekas induk berpendapat, karena utang yang ada merupakan biaya investasi yang kemudian jatuh ke tangan "sang adik", adalah wajar kalau harus diperhitungkan.

Peraturan Mendagri mengamanatkan, aset memang harus dihibahkan kepada sempalan, tetapi harus juga disertai pembayaran aset itu. Sayangnya, karena tidak ada ketentuan yang baku tentang besarnya pembayaran atas aset yang dihibahkan, muncul sengketa seperti yang terjadi antara PDAM Cilegon yang sejak beberapa tahun lalu memisahkan dari dari PDAM Kabupaten Serang, dan berdiri sendiri menjadi PDAM Cilegon Mandiri.

Yang jelas, suatu perpisahan pasti diikuti oleh berbagai masalah, yang kalau tidak diselesaikan dengan segera secara bijaksana, ujung-ujungnya akan merugikan masyarakat.

Menyisakan Konflik

Tentang berbagai masalah yang muncul, dan bagaimana seyogianya masalah pemekaran itu disikapi, ada baiknya mengikuti pandangan, saran, sekaligus juga pengalaman beberapa pucuk pimpinan PDAM. Sukses maupun non-success story yang pernah terjadi tentu bermanfaat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan, dan untuk lebih lagi mencermati untung ruginya suatu pemekaran yang terjadi atas suatu PDAM.

PDAM Kabupaten Serang adalah salah satu yang pernah mengalami pemekaran dengan lepasnya salah satu unitnya yang kemudian berdiri sendiri, yakni PDAM Cilegon Mandiri.

Pemekaran itu sampai sekarang masih menyisakan masalah di antara kedua pihak menyangkut aset berupa jaringan perpipaan berikut pelanggan yang berada di kawasan Kotamadya Cilegon. Tegasnya, jaringan perpipaan tersebut beserta sekitar 7.500 pelanggan yang berada di dalam Kota Cilegon sampai sekarang belum diserahkan kepada PDAM Cilegon, melainkan masih tetap dilayani oleh PDAM Kabupaten Serang. Hal itu terjadi, menurut kedua belah pihak, karena taksiran nilai aset yang seyogianya harus dibayarkan oleh PDAM Cilegon Mandiri kepada bekas induknya itu belum disepakati bersama. Dengan berbagai dasar PDAM Kabupaten Serang menyodorkan nilai X, tetapi PDAM Cilegon Mandiri menilainya terlalu tinggi.

Sudah berkali-kali berlangsung pertemuan di antara kedua pihak dengan ditengahi oleh wakil-wakil Pemda masing-masing, tetapi masih terus menghadapi jalan buntu.

Unik memang, PDAM Kabupaten Serang melayani penduduk Kota Cilegon, padahal di situ telah berdiri PDAM Cilegon Mandiri. Sudah jelas pelayanan yang seperti itu tidak mungkin dikembangkan, karena, sebagai contoh, tidak mungkin melakukan perluasan atas jaringan tersebut dengan melakukan penggalian-penggalian di "pekarangan" orang. Di sisi lain, PDAM Cilegon Mandiri masih ragu untuk membangun jaringan baru bersebelahan dengan jaringan yang sudah ada. Membangun jaringan perpipaan memang memakan biaya investasi yang sangat besar, sehingga akan jadi mubazir kalau dibangun jaringan yang baru, sementara jaringan yang eksisting masih punya peluang untuk dialihkan ke PDAM Cilegon Mandiri.

Maka akibatnya, di kawasan yang dipersengketakan itu hampir tidak mungkin terjadi peningkatan pelayanan dalam arti memperluas cakupan. Kondisi di situ menjadi "jalan di tempat", masyarakai sekitar yang belum berlangganan tetapi ingin berlangganan, harus bersabar menunggu sampai sengketa itu selesai. Tetapi kapan sengketa itu akan selesai, jika kesepakatan atas nilai aset yang disengketakan masih sulit dicapai?

Semula menurut Direktur Utama PDAM Kabupaten Serang Ir Djoko Sutrisno, MT, pada waktu Kotamadya Cilegon berdiri, sekitar tahun 2003-2004 pihaknya telah berusaha mengembangkan kerja sama antara kedua pemerintah daerah dalam hal kepemilikan dan pengoperasian PDAM dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kedua daerah akan air minum. Sudah beberapa kali diadakan pertemuan kedua pihak, dan semula tampaknya ada harapan kerja sama tersebut akan terlaksana, yang memang dimungkinkan berlandaskan peraturan yang ada. Singkatnya, kerja sama dalam hal ini berupa kepemilikan bersama atas PDAM yang sudah ada di antara kedua pemerintah daerah. Di dalamnya telah pula mulai diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk mengenai pembagian laba. Tetapi entah kenapa, katanya, rencana kerja sama itu batal.

Kerja sama yang pernah ditawarkannya itu menurut Djoko Sutrisno didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain bahwa masing-masing pihak mempunyai keunggulan dan kelemahan. Dari segi air baku katanya, Kabupaten Serang memilikinya, sementara Cilegon tidak memiliki sumber air baku tetapi punya kekuatan berupa pasar yang potensial. Alangkah baiknya kalau kekuatan-kekuatan atau keunggulan yang ada pada masing-masing pihak disinergikan untuk memberi hasil yang maksimal. Triple-win. Tetapi karena Pemerintah Kota Cilegon rupanya lebih "afdol" memiliki sendiri PDAM, maka sekitar pertengahan 2003 lahirlah PDAM Kota Cilegon.

Gagal menggalang kerja sama antar kedua Pemda, pihak PDAM Kabupaten Serang masih mencoba melakukan pendekatan kepada direksi PDAM Cilegon untuk bekerja sama. Semangat kerja sama itu didorong pula adanya tumpang tindih pelayanan sejumlah pelanggan di kawasan Kota Cilegon yang masih dilayani oleh PDAM Kabupaten Serang. Tetapi bagaimanapun, kerja sama yang didambakan itu tidak bisa diwujudkan, karena PDAM Cilegon Mandiri tidak bisa lepas dari kebijakan Pemko Cilegon selaku pemilik. Harus pisah.

Maka satu-satunya yang dapat dilaksanakan adalah pemberian kompensasi atas aset PDAM Kabupaten Serang yang berada di Cilegon, yang sayangnya menurut Djoko Sutrisno belum mencapai kesepakatan, berapa harganya.

Triple Win

Dalam mengupayakan kerja sama yang ternyata gagal itu, pihak PDAM Kabupaten Serang bersikap hendaknya jangan ada pihak yang dirugikan. Sebaliknya ia berprinsip hendaknya terjadi triple-win solution, kedua PDAM sama-sama untung, dan masyarakat pelanggan dapat dilayani dengan lebih baik. Tetapi kenyataan sekarang menurut Djoko, sementara PDAM Kota Cilegon belum mempunyai jaringan di sekitar pelanggan yang masih dilayani PDAM Kabupaten Serang, Pemerintah Kota Cilegon melarang PDAM Kabupaten Serang mengadakan sambungan baru. Padahal banyak masyarakat di sekitar kawasan itu ingin berlangganan PDAM. Nah, mereka itulah yang dirugikan, katanya.

Tetapi di sana sini katanya, karena akses air minum itu begitu vital, ia pun terpaksa juga mengadakan sambungan baru, walaupun itu dilarang oleh Pemko Cilegon.

Di sisi lain lagi menurut Djoko, kalau aset tersebut diserahkan begitu saja, apalagi para pelanggan yang berjumlah 7.500 itu, itu akan merupakan suatu kehilangan yang sangat besar bagi PDAM Kabupaten Serang. Jumlah itu hampir 30% dari jumlah pelanggan yang ada, yakni sekitar 26.000. Itu akan sangat mempengaruhi kinerja secara keseluruhan, mengingat potensi itu termasuk dalam desain awal. Di antaranya kehilangan pendapatan, terjadi penurunan rasio karyawan berbanding jumlah pelanggan. "Bisa-bisa nanti PDAM Kabupaten Serang menjadi tidak sehat," ujarnya.

Tetapi kalau PDAM Kabupaten Serang mendapat kompensasi yang layak, dana itu akan sangat berarti dalam pengembangan PDAM agar tidak terlalu anjlok sebagai akibat kehilangan tadi.

Dijelaskannya, perbedaan penilaian aset tersebut sangat besar. Termasuk cara penilaian yang dilakukan BPKP yang pernah dilibatkan dalam perhitungan aset tersebut menurut Djoko sangatlah tidak wajar. Sebagai contoh katanya, masakan suatu reservoir dinilai hanya satu rupiah karena sudah mengalami penyusutan. Begitu juga jaringan, dan yang lebih penting lagi jumlah pelanggan yang begitu banyak, yang tentu saja tidak mudah mendapatkannya. Begitu juga dengan aset berupa tanah, adalah tidak wajar kalau harganya dihitung berdasarkan metode perhitungan yang digunakan oleh BPKP.

Yang penting menurut Djoko, PDAM Kabupaten Serang perlu modal untuk mengembangkan skala usaha sebagai kompensasi atas potensi kehilangan sebanyak 7.500 pelanggan tersebut.

Menyimpulkan pengalaman PDAM Kabupaten Serang atas pemekaran yang terjadi itu, Djoko Sutrisno berharap agar Pemerintah dalam pembuat peraturan tentang pemekaran tidak bersikap menyamaratakan, tetapi hendaknya mempertimbangkan hal-hal yang bersifat spesifik, agar ke depan jangan terjadi halhal seperti yang dialaminya. Sebab ujungujungnya, katanya lagi, masyarakat juga yang akan dirugikan.

Contoh yang Baik

Bahwa pemekaran suatu wilayah pemerintahan tidak mesti harus diikuti pemekaran PDAM-nya dapat dibuktikan melalui pengalaman beberapa PDAM. Contohnya PDAM Intan Banjar seperti pemah diceritakan oleh Direktur Utamanya Drs. M. Rifqie Basri.

Ketika wilayah pemerintahan Kabupaten Banjar di Kalimantan Selatan mekar dengan berdirinya Kota Banjar Baru yang mandiri, sang direktur mendekati Walikota Banjar Baru. Kepada sang walikota, Rifqie melakukan pendekatan yang halus dengan memberi dasar-dasar pertimbangan, bahwa kalau ingin memiliki sendiri PDAM, diperlukan dana setidaknya Rp 20 miliar, padahal APBD kotamadya itu di awal berdirinya sekitar tahun 2005 hanya sekitar Rp 10 miliar.

Pertimbangan yang lebih hakiki, jika harus mendirikan sendiri PDAM, maka apa yang sudah ada sebagai hibah dari bekas induknya, bukannya semakin baik, tetapi semakin buruk karena mengecil. Termasuk di antaranya karyawan yang sudah ada pasti akan dirugikan. Karena boro-boro untuk memberi gaji yang memadai, untuk menghidupi diri sendiri saja PDAM yang mengecil itu sudah sulit.

Maka sang walikota yang punya pandangan luas dan logis itu pun memilih untuk menikmati saja apa yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain ia memilih untuk memiliki bersama PDAM yang sudah ada bersama Pemerintah Kabupaten Banjar. Pilihan yang cerdas itu pun kemudian dikukuhkan dengan dipayungi oleh suatu perjanjian bersama antara kedua pemerintahan selaku stakeholder utama. Namanya pun dimodifikasi begitu rupa sehingga kedua wilayah pemerintahan itu "terikat" dalam nama yang dipilih, yakni PDAM Intan Banjar. Nama Banjar sama sama diusung oleh kedua wilayah pemerintahan tersebut, begitu pula dengan nama Intan. Seperti diketahui, intan selaku batu permata atau batu mulia didulang di kawasan Cempaka yang masuk wilayal Kota Banjar Baru, sedangkan intan itu kemudian diasah dan diperdagangkan di Martapura yang merupakan ibu kota Kabupaten Banjar.

Alhasil, PDAM tersebut berjalai dengan mulus, dan yang terpenting pelayanan kepada penduduk kedua wilayah pemerintahan itu berjalan dengan optimal. Setiap investasi baru harus dikoordinasikan antara kedua pemerintahan, termasuk juga kerja sama dengai pihak ketiga. Yang juga menarik, sesuai dengan persetujuan bersama, kalau PDAM tersebut sudah mempunyai laba yang cukup, pembagian laba dilakukan secar proporsional sebagai Pendapatan Asli Daerah.

Singkat cerita, semua sama-sama diuntungkan. PDAM itu sendiri tidak harus repot-repot membagi diri dengan segal konsekuensinya, karyawan pun tidak sampai dirugikan, begitu juga pelanggan

Pengalaman Kabupaten Bogor

Seperti diketahui, Kotamadya Depok berdasarkan UU No. 15 tahun 1999 mulai berdiri sendiri lepas dari bekas induknya Kabupaten Bogor. Namun sampai sekarang, Pemerintah Kota Depok tampaknya tidak bernafsu untuk memiliki sendiri PDAM. Sampai sekarang, penduduk Kota Depok masih tetap dilayani oleh PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.

Apa yang dilakukan oleh Direktur Utama PDAM Intan Banjar rupanya sudah lebih dulu dilakukan oleh Direksi PDAM Kabupaten Bogor karena Kabupaten Bogor sudah lebih dulu mekar.

Menurut Direktur Utama PDAM Kabupaten Bogor Dra. Ina Gustina Agoes sejak awal mereka memang telah melakukan pendekatan dengan Pemerintahan Kota Depok dengan menjelaskan bahwa bila PDAM itu dibagi dua, pastilah akan lebih kecil dan merugi dan tidak efisien Pendekatan atau pertemuan-pertemuan katanya tidak cukup sekali dua kali, tetapi sering. Begitulah, walau berdasarkan UU No. 15 semestinya aset yang ada di wilayah Depok diserahkan, mereka hingga kini masih tetap bersatu.

Dijelaskan, antara kedua pemerintah daerah memang telah dibuat suatu kesepakatan bersama atau MoU (Memorandum of Understanding), di mana dijelaskan bahwa kedua pemerintah daerah sama-sama memiliki saham di PDAM. Dan berdasarkan kesepakatan itu pula 20% dari laba yang diperoleh PDAM diserahkan kepada Pemerintah Kota Depok.

Dalam pada itu, menurut Ina, tahun ini mulai dilakukan peninjauan ulang atas kesepakatan itu, tetapi bukan dimaksudkan untuk membagi PDAM, melainkan penghitungan kembali berapa sesungguhnya aset yang ada di Depok, termasuk penyusutannya. Dengan demikian akan diketahui berapa bagian laba yang seyogianya dibagi kepada mereka.

Sementara itu bagi pihak Pemerintah Kota Depok tidak tertutup kemungkinan melakukan pelayanan di luar unit yang sudah ada sejak awal di wilayah itu. Proyek-proyek tersebut memang mendapat bantuan dari Departemen Pekerjaan Umum, namun pelaksanaannya pun tidak dilakukan begitu saja, melainkan dengan berkonsultasi dengan PDAM Kabupaten Bogor.

Direksi PDAM dalam hal ini tidak merasa keberatan, bahkan merasa hal itu perlu agar pihak Depok merasakan sendiri bagaimana seluk-beluk investasi baru, termasuk juga memulai suatu organisasi baru. Dengan begitu pihak Depok diharapkan akan memiliki pertimbangan yang sebaik-baiknya dan sematang-matangnya, apakah akan memiliki sendiri PDAM ataukah cukup dengan memiliki bersama PDAM yang sudah ada. "Kita sih tidak apa-apa, kalau mau memisahkan diri silakan saja. Wong UU No. 15 tahun 1999 saja sudah mengisyaratkan penyerahan aset yang ada di Depok," ujarnya. Namun tetap dijelaskan, bahwa memulai sesuatu itu tidaklah gampang, dan berinvestasi itu memang cukup berat.

Pelayanan Jadi Kunci

Berjalan seiring melalui PDAM yang satu, bagi pihak Depok tidak tertutup kemungkinan untuk menambah investasi pengembangan pelayanan air bersih di wilayahnya.

Ikhwal aset yang mestinya dihibahkan pun berlaku antara PDAM Kabupaten Bogor dengan PDAM Kota Bogor. Dijelaskan, ada suatu wilayah di Kota Bogor yang dulu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten. Di situ terdapat 13.000 lebih pelanggan. Mestinya, aset itu pun harus dihibahkan kepada PDAM Kota Bogor, tetapi karena kawasan pelayanan bersang kutan dulu dibangun atas dasar pinjaman, maka tidak mungkin begitu saja aset itu dihibahkan. "Pinjaman itu kan harus dibayar, jadi lunas dulu pinjaman itu baru dilakukan pemisahan," katanya menjelaskan.

Demikianlah, untuk wilayah pelayanan tersebut baik PDAM Kota Bogor maupun PDAM Kabupaten Bogor masih sama-sama melayaninya.

"Yang penting kan pelayanan. Kuncinya di situ. Kalau pelayanan kita lebih bagus, tentu pelanggan akan memilih kita, dan sebaliknya kalau pelayanan kita lebih jelek, pelanggan tentu akan berpindah," katanya lagi.

Hal serupa juga berlaku dengan Depok. Katanya, terserah kepada pelanggan apa mau pindah, tetapi karena Kabupaten Bogor sudah lebih lama, sudah lebih berpengalaman, sepertinya pelanggan merasa lebih nyaman dilayani pihaknya. Hasil kerja selama ini pun menurut Ina memberi gambaran bahwa yang lebih berpengalaman itu lebih unggul. Contohnya, walaupun pengembangan di wilayah Depok agak direm, nyatanya tiap tahun pertambahan pelanggan di situ lebih banyak daripada yang dikembangkan sendiri oleh pihak Depok.

Secara keseluruhan ada sekitar 42.000 pelanggan air bersih di Depok. Kalau yang dikembangkan oleh pihak Depok sendiri hanya sekitar 3.000 pelanggan dalam 6 tahun, yang dilakukan PDAM Kabupaten Bogor di Depok rata-rata 6.000 dalam setahun. Tetapi kembali ditegaskannya, sama sekali tidak ada niat untuk menahan-nahan. "Jika mau memisahkan diri ya silakan saja. Yang penting, mereka memang harus merasakan beratnya mengelola sendiri pelayanan air bersih tersebut, perlu merasakan sendiri betapa beratnya investasi di bidang air minum," katanya.

Investasi yang dikeluarkan pihak Depok katanya lebih dari Rp 4 miliar dengan hasil yang tidak terlalu signifikan. Ketika tiba-tiba mereka mendapat sekian miliar sebagai pembagian keuntungan, kan lebih enak daripada memodali sendiri, dan begitu berat dan sulitnya mengelola sendiri, termasuk memikul biaya operasional.

Sampai sekarang Depok masih dipersatukan dengan Kabupaten Bogor oleh PDAM. Entahlah di masa-masa yang akan datang, bila pemerintah yang akan datang memutuskan lain. Hanya saja seperti selalu dijelaskan Ina kepada mereka, kalau perusahaan itu dibagi, pastilah akan merugi. Sangat berbeda bila dua atau lebih pemerintahan sama-sama memiliki saham seperti yang terjadi atas Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat. "Kan tidak jadi masalah?" katanya. Memang, bersatu kita kuat, bercerai kita lemah. Victor Sihite



Post Date : 01 April 2008