Besipae yang Terabaikan dan Terlupakan

Sumber:Kompas - 30 September 2009
Kategori:Lingkungan

Rius Lapung (17), tukang ojek remaja itu, tidak tahu di mana Besipae. Padahal, ia sedang duduk di tepi kawasan hutan dengan jalan berliku, tempat Besipae berada. Padahal, dulu namanya sangat tersohor.

Kawasan pertanian terpadu berbasis peternakan sapi pada tahun 1980-an itu, apa mau dikata, telah musnah sejak beberapa tahun silam. Di persimpangan Jalan Oeloni di Desa Mio, Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, itu, Rius bahkan tidak tahu bahwa kampung dan desanya adalah bagian dari kawasan Besipae, yang berjarak sekitar 100 kilometer sebelah timur Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Yang lebih mengherankan lagi, sepasang suami istri tua, pencari buah asam di hutan Besipae, pun tidak tahu bahwa dua karung asam yang mereka kumpulkan adalah asam sisa-sisa kemurahan kawasan Besipae.

”Besipae masih di depan lagi,” tutur Rius yang sempat membingungkan rombongan Kompas dan Kupang Pos setiba di kawasan itu, Minggu (26/9) siang.

Untunglah, Benyamin Nomleni (49), warga Desa Linamnutu—juga bagian dari kawasan Besipae—masih ingat di kawasan itu pernah dibangun belasan embung hingga sempat menjadi sumber air minum bagi warga dan ternak. Namun, bagaimana kondisi embung itu kini, ia tak tahu lagi. Yang pasti warga dan ternak di kawasan itu sejak 1990-an kembali ke Sungai Noelbaki—berjarak sekitar 15 kilometer—seperti sedia kala untuk mendapatkan air.

Besipae, dengan dukungan lahan seluas 4.000 hektar, sebagian besar kawasannya telah gundul akibat penebangan atau perambahan kebun serta permukiman. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan sejak 2007 memanfaatkan beberapa bagian kawasan sebagai lokasi penghijauan melalui proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Lokasi itu ditanami anakan kayu merah, jati lokal, gamalina, mahoni, dan kemiri.

Penggalan kisah ini adalah bagian dari gambaran yang menunjukkan betapa kawasan Besipae kini terlupakan dan terabaikan. Padahal, Besipae pada periode 1982-1987 pernah melambungkan mimpi bakal menjadi pusat pertanian terpadu yang menyejahterakan masyarakat setempat melalui peternakan sapi, tanaman pangan, penghijauan, bahkan usaha perikanan air tawar.

Proyek kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia itu mengawali kegiatannya dengan membangun 14 embung di dalam kawasan guna menampung air hujan selama setahun. Konstruksi embung berlapiskan bobnaro clay, sejenis lumpur kedap air, sehingga tidak akan terjadi perembesan. Air embung hanya akan menyusut oleh pemanfaatan untuk minum manusia dan ternak, serta penguapan.

Kehadiran proyek hampir 30 tahun lalu itu sempat melegakan warga setempat yang meliputi lima desa, antara lain Mio, Linamnutu, Pollo, dan Oe Ekam. Itu karena mereka tidak lagi harus pergi jauh hingga Sungai Noelbaki untuk kebutuhan air. Sementara hewan peliharaan seperti sapi tidak lagi mengalami kesulitan pakan karena padang penggembalaan di dalam kawasan ditanami berbagai jenis pohon atau rumput pakan dengan dukungan air dari belasan embung tersebut. Bahkan, petugas proyek dan warga sekitar saat itu sempat menikmati lauk ikan air tawar dari belasan danau buatan di Besipae.

Kini, kelegaan warga itu telah menjadi kisah masa lalu. Itu terjadi setidaknya sejak awal 1990-an setelah pengelolaan proyek sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia tahun 1987.

Kami beruntung bertemu Thimotius Nubatonis (53). Kebetulan, warga Desa Mio itu pernah secara resmi menjadi pengawas embung Nuna di kampungnya, pada 1982-1987, dengan gaji Rp 18.000 per bulan. Meski kini tak lagi berpenghasilan—sejak Australia pergi dari proyek 22 tahun lalu—ayah enam anak itu tetap berperan sebagai pengawas hingga embung Nune terselamatkan. ”Di dalam kawasan Besipae dulu ada 14 embung, semua berisi air. Saat ini embung berisi air hanya dua, satu lainnya adalah embung Manufonu, juga di dalam wilayah Desa Mio. Dua belas embung lainnya sudah kering, bahkan tak berbekas lagi,” papar opa (kakek) delapan cucu itu.

”Orang Australia dulu bilang, embung akan tetap menjadi sumber air untuk jangka waktu lama sampai 25 tahun kalau dijaga. Warga atau hewan tak boleh masuk ke dalam danau. Kalau larangan itu dilanggar, usia embung hanya delapan tahun,” kata Thimotius mengisahkan.

Pengawasan terus diterapkan dengan tambahan sanksi yang disepakati di tingkat desa. ”Warga yang kedapatan atau ketahuan menerobos ke dalam danau atau menangkap ikan menggunakan pukat akan dikenai denda Rp 25.000,” kata Thimotius.

Kawasan Besipae yang terabaikan seakan turut menegaskan perihal usaha peternakan sapi di NTT kini yang mengalami kemerosotan dari sisi mutu dan populasi. Sebagai contoh, berat badan hidup sapi di NTT pada musim kemarau saat ini rata-rata kurang dari 250 kilogram sehingga lebih mirip rusa besar yang berat maksimalnya sekitar 150 kilogram. Begitu pula dari sisi populasi mengalami kemerosotan dari 700.000 lebih ekor hingga tahun 1990-an, kini hanya sekitar 500.000 ekor.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Jumat lalu, kembali menegaskan tekadnya mengembalikan NTT sebagai gudang sapi secara nasional. Frans Sarong dan Kornelis Kewa Ama

Menyinggung Besipae yang kini telantar, Frans Lebu Raya mengatakan, kawasan itu akan kembali dikelola sebagaimana seharusnya. Ia tengah menyiapkan tim teknis yang akan membahas persiapan dan pengelolaan Besipae ke depan.

Salah satu anggota DPRD NTT periode 1987-1999 menyarankan agar Besipae diberdayakan lagi, tetapi dengan pola agropolitan berbasiskan peternakan. Konsep pengembangan itu disampaikan Dr Thomas Ola Langoday dalam diskusi yang diselenggarakan Kompas bersama Pos Kupang dan Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira), Kupang, di Kupang, akhir pekan lalu. (Frans Sarong dan Kornelis Kewa Ama)



Post Date : 30 September 2009