Bio-toilet Atasi Krisis Air Bersih

Sumber:Kompas - 23 April 2008
Kategori:Sanitasi

Kelangkaan air bersih dan sanitasi yang buruk juga banyak dihadapi penduduk di kawasan perkotaan yang berpenduduk padat. Masalah lingkungan ini menyebabkan merebaknya penyakit diare dan infeksi saluran pernapasan. Mengatasi masalah itu, kini dikembangkan jamban kering berwawasan lingkungan, bio-toilet.

Pengolahan air kotor terpadu di perkotaan di Indonesia nyatanya memang hanya bisa melayani 1,31 persen populasi perkotaan atau 0,5 persen total populasi di negeri ini. Pengolahan limbah terpusat hanya ada di tujuh kota—data dari Departemen Pekerjaan Umum. Sebanyak 400.000 meter kubik limbah domestik langsung dibuang ke sungai atau dibuang tanpa pengolahan. Diperkirakan 70-75 persen polutan adalah limbah domestik.

Kondisi itu, menurut Neni Sintawardani, Kepala Biro Kerjasama dan Pemasyarakatan Iptek LIPI, butuh pendekatan teknologi berwawasan lingkungan. Neni dan tim peneliti dari Pusat Penelitian Fisika Terapan mengembangkan bio-toilet untuk menjawab tantangan itu.

Bio-toilet sebenarnya bukan teknologi baru. Di Eropa Barat, terutama di kawasan Skandinavia, pengembangannya telah seabad lalu. Namun, belakangan ini bio-toilet dikembangkan menjadi produk yang bisa dijual.

Bio-toilet dipasarkan berupa satu unit ruang kompak. Pembeli dapat memilih desain ruangan dalam yang diinginkan, termasuk kelengkapannya, seperti sistem pemanas ruangan. Bio-toilet ini untuk daerah terpencil atau yang tidak memiliki saluran sanitasi atau perpipaan. Di Jepang, unit bio-toilet untuk melayani tiga keluarga atau 10-15 orang per hari, dijual dengan harga 2,5 juta yen.

Di negara maju, jamban ini digunakan kalangan menengah ke atas yang peduli terhadap lingkungan. Sedangkan di Indonesia, penerapan bio-toilet, jelas Neni, pendekatannya berbeda. Di sini untuk membantu masyarakat di kawasan kumuh untuk memperbaiki sistem sanitasi yang buruk dan menghadapi minimnya akses ke air bersih.

Teknik dari peneliti LIPI merupakan modifikasi bio-toilet di negara subtropis dan disesuaikan dengan budaya lokal. Pada bio-toilet ini penggunaan air dimungkinkan untuk membersihkan diri. Di negara Barat hanya digunakan kertas tisu.

Meski masih menggunakan air, bio-toilet dapat menghemat air hingga 80 persen lebih, jelas Neni. Penggunaan toilet konvensional memerlukan air sekitar 40 liter per hari—untuk penggelontoran dan membilas. Dengan bio-toilet hanya butuh 5 liter air per hari.

Kerja sama penelitian

Teknologi bio-toilet dikembangkan Tim Bio-toilet di Pusat Penelitian Fisika LIPI, diketuai Neni sejak delapan tahun lalu. Penelitian ini melibatkan peneliti dari Hokkaido University dan Tokyo Institute of Technology. Sebelumnya, Neni dan timnya mencoba sistem pengolahan sampah organik rumah tangga dengan menggunakan serbuk gergaji untuk mengurai sampah menjadi kompos. Setelah berhasil, mereka menerapkan sistem penguraian itu di jamban.

Di Wonogiri yang sulit air, sebenarnya telah dikenal jamban yang disebut cubluk, yang berupa lubang pembuangan tinja. Lubang itu lalu ditimbun bila telah penuh. Dengan cara konvensional tersebut, kotoran itu tidak cepat terurai dan menimbulkan bau tak sedap.

Hal ini menginspirasi Neni dan timnya menerapkan serbuk gergaji pada jamban kering itu. Serbuk gergaji kayu digunakan sebagai pencampur karena bersifat menyerap bau dan memiliki porositas tinggi (85-90 persen ruang udara), penahan air (35-40 persen), ringan dan tidak mudah rusak bentuknya, serta mudah diurai secara alami.

Pada penggunaan bio-toilet, kotoran yang masuk harus diaduk dengan serbuk gergaji itu. Dalam lima bulan, kotoran itu telah terurai sempurna hingga menjadi pupuk kompos, yang dapat digunakan sebagai penyubur tanah. Pupuk ini mengandung unsur mineral seperti natrium, kalium dan fosfor serta nitrogen.

Selain diisi serbuk gergaji atau ligno selulosa, sistem jamban yang disebut kotak reaktor itu juga dilengkapi pengaduk otomatis yang berputar setiap 15 menit. Pada satu reaktor terdapat dua lubang kloset. Bila tak ada listrik, dipasang pengaduk manual.

Ia mengakui biaya pembuatan bio-toilet tidak tergolong murah. Untuk unit bagi lima keluarga biayanya Rp 20 juta-Rp 25 juta. Sebagai WC umum, bio-toilet cukup ekonomis.

Pengoperasian bio-toilet perlu biaya pemeliharaan dan daya listrik, sekitar Rp 100 setiap kali penggunaan. Bila setiap pengunjung memberi uang jasa Rp 500-Rp 1.000, maka ada keuntungan lumayan.

Kini karya inovasi itu tengah diajukan ke lembaga HAKI untuk memperoleh hak paten. Neni berharap pihak industri mau memproduksinya menjadi produk komersial.

Lima tahun pengembangan teknologi, tiga tahun terakhir LIPI melakukan uji coba, sosialisasi, dan pendekatan kepada masyarakat. Kini bio-toilet dipasang di tiga lokasi di Bandung, yaitu Pusat Penelitian Fisika Terapan LIPI, Pesantren Daarut Tauhid, dan di Kiara Condong.

Uji coba di Kiara Condong selama setahun ini, jelas Neni, telah mendapat respons positif dari masyarakat. Kiara Condong dipilih mengingat daerah ini merupakan kawasan kumuh termasuk paling padat di Indonesia—15.000 orang per kilometer persegi.

Selama ini penduduk di daerah krisis air itu umumnya membuang hajat di selokan. Sanitasi yang buruk berdampak pada tingginya kasus diare. Dengan keberhasilan uji coba di Kiara Condong, LIPI akan melanjutkan di Kampung Bali, Jakarta, yang kondisinya serupa.

Neni berharap bio-toilet dapat menjadi solusi tuntutan Tujuan Pembangunan Milenium, yaitu meningkatkan akses masyarakat miskin pada sanitasi yang memadai dan air bersih. (Yuni Ikawati)



Post Date : 23 April 2008