Bloomberg Usulkan Pajak Karbon

Sumber:Koran Sindo - 14 Desember 2007
Kategori:Climate
NUSA DUA(SINDO) Wali Kota New York Michael R Bloomberg menegaskan, pertumbuhan industri perdagangan karbon yang menciptakan korupsi harus digantikan dengan pajak karbon langsung.

Usulan Bloomberg tersebut telah dikaji sejumlah pakar. Sebagian besar pihak akan menyetujui bahwa untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan pajak karbon, ujar Bloomberg di sela Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali,kemarin. Protokol Kyoto mewajibkan 37 negara industri mengurangi karbon dioksida dan emisi pertanian,transportasi serta industri. Sejauh ini, sistem perdagangan karbon telah dipraktikkan di sejumlah kawasan Eropa dan negara lain.

Dengan sistem perdagangan karbon itu, pelaku industri yang melebihi kuota diizinkan menjual kredit karbon ke pihak lain. Sistem itu menurut analis menciptakan industri global bernilai triliunan dolar. Bloomberg menjelaskan bahwa pakar lingkungan dan banyak politisi tertarik dengan konsep perdagangan karbon karena tidak ada pajak di dalamnya. Tapi ini sangat tidak efisien untuk memenuhi target karena pajak karbon tidak ada. Ini juga membuka peluang terjadinya korupsi, kepentingan khusus, dan ketidakefisienan, katanya.

Banyak pakar lingkungan berpendapat, pajak karbon lebih baik dan menjadi cara langsung untuk mengatasi emisi gas rumah kaca.Pajak karbon juga dapat digunakan untuk mendanai kebijakan dan teknologi ramah lingkungan. (Jika) Anda benar-benar ingin ada pajak pada produsen batu bara, hal itu dapat mengurangi pajak dalam investasi teknologi dan membuat batu bara lebih bersih, kata Bloomberg. Bloomberg menyadari, sebagian pakar berpendapat, mengesahkan pajak karbon ini sangat sulit secara politis karena akan meningkatkan biaya konsumsi energi.

Tapi ini tentang kepemimpinan di seluruh dunia untuk melakukannya, kata dia. Bloomberg berharap dapat mengurangi emisi gas rumah kaca di Kota New York sebesar 30% pada 2030. Untuk memenuhi target itu, Bloomberg akan meningkatkan efisiensi dalam gedunggedung dan mengganti taksi dengan bahan bakar hibrida. Pada bagian lain, Pemerintah Norwegia menyatakan komitmennya untuk menyumbang dana sebesar USD100 juta bagi kelompok negara pemilik hutan hujan tropis (F-11). Menurut Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda,dana tersebut tidak hanya untuk Indonesia, tapi dibagi dengan negara lain yang tergabung dalam F-11.

Dari anggaran USD100 juta itu sendiri akan dialokasikan untuk pendidikan, hutan, konservasi hutan. Jadi ya bagus, kita tidak perlu bayar utang kita kepada mereka. Tapi dari uang kita dengan kerangka debt swap kita bisa membiayai proyek yang telah disepakati itu, ungkap Hassan seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon di Jimbaran kemarin.

Hassan juga mengatakan, dalam hal ini pada gilirannya Norwegia akan mendapat kredit karbon. Namun, jelas Menlu, hal tersebut belum bisa dipastikan karena akan disepakati dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM). Di luar itu kita kan boleh melakukan kerja sama secara bilateral, misalnya pada upaya forestasi.

Nanti kan bisa dihitung berapa karbon yang dikurangi, papar Menlu. Dalam pertemuan antara SBY dan PM Norwegia Jens Stoltenberg di Hotel Intercontinental kemarin,kedua kepala negara sepakat pada dua hal. Pertama, masalah kehutanan harus lebih integral dan dimasukkan ke dalam kesepakatan baru pasca-Protokol Kyoto. Alasannya, pakta itu tidak banyak memuat masalah-masalah kehutanan. Maka ini harus lebih pas, lebih fair, lebih memadai masukan untuk aspek kehutanan.

Apa yang dinamakan dengan carbon sink karena hutan yang utama menyerap karbon,terang Juru Bicara (Jubir) Kepresidenan Dino Patti Djalal. Kedua, Indonesia-Norwegia sepakat untuk mendukung program reducing emissions from deforestation and Forest Degradation (REDD) Indonesia.SBY,kata Dino,telah menugasi pejabat tinggi di tiap departemen untuk menindaklanjuti kerja sama tersebut.

Di samping itu, Norwegia juga menyatakan kesiapannya untuk melakukan transfer teknologi penangkap dan penyerap karbon (CCS) kepada Indonesia. Norwegia dikenal memiliki teknologi yang bagus dalam masalah hutan ini. Mereka mempunyai teknologi CCS yang bisa menangkap emisi di udara, lalu dimasukkan ke dalam tanah, ungkapnya. (syarifudin/maya sofia)



Post Date : 14 Desember 2007