Bumi Memanas, Kuman Penyakit Mengganas

Sumber:Majalah Gatra - 22-28 November 2007
Kategori:Climate
Perubahan iklim membuat nyamuk demam berdarah dan malaria lebih berbahaya. Siklus hidup mereka makin pendek. Masa inkubasi kuman lebih singkat. Populasi mereka lebih mudah meledak. Di daerah selatan, warga menghadapi paparan ultraviolet dosis tinggi.

Dari titik pusar Kutub Utara ke garis ekuator, terbentang suhu ekstrem antara -40 sampai +40 derajat celsius. Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air terkandung di dalamnya. Pada suhu + 40 derajat celsius, kandungan uap airnya 470 kali lebih besar dibandingkan dengan udara bersuhu -40 derajat. Kenaikan kelembapan udara itu adalah akibat langsung dari pemanasan global.

Para ahli kesehatan berkepentingan terhadap masalah ini. Pemanasan global yang kini hadir diiringi perubahan iklim secara nyata telah meningkatkan risiko berbagai penyakit. Keprihatinan itu terungkap dalam pertemuan Masyarakat Mikrobiologi Amerika Serikat, September lalu. Infeksi virus, bakteri, jamur, dan kuman pembawa penyakit lainnya diperkirakan akan makin merajalela.

Ancaman itu sudah mulai berjangkit satu dasawarsa terakhir. "Tahun-tahun sebelumnya kita mungkin tidak pernah membahas topik ini," kata Prof. Anthony McMichael, epidemiolog Universitas Canberra, Australia, yang memimpin diskusi simposium bertajuk "Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan Manusia" itu. Influenza yang dahulu hanya muncul di musim dingin (di daerah empat musim) atau musim hujan (tropis) kini menyerang di semua musim. Menurutnya, pemanasan global menyumbang hingga 5 juta tambahan pasien setiap tahunnya.

Paradoks Korban Banjir

Pemanasan global membuat penumpukan uap air di udara semakin besar. Awan hujan lebih mudah terbentuk. Sejumlah tempat akan menerima hujan lebih banyak dan lebih deras. Tapi, sejumlah tempat lainnya akan lebih kering. Indonesia cenderung masuk ke katagori pertama.

Hujan mulai mengguyur Jakarta sejak medio Oktober lalu dan diperkirakan intensitasnya akan menguat hingga dua bulan ke depan. Beberapa wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi akan kembali tergenang. Tak ada jaminan pula bahwa peristiwa ''Februari kelabu'' 2007 tak terulang. Ketika itu, menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, 70% wilayah ini tergenang. Tercatat 57 orang meninggal oleh sebab langsung atau tidak langsung. Lebih dari 400.000 jiwa harus mengungsi.

Di daratan Cina banjir lebih keterlaluan, membuat 130 juta penduduk menderita pada tahun 2003 lalu. Sebagian mereka kehilangan tempat tinggal, sebagian lagi terserang penyakit, atau kombinasi keduanya. Banjir dalam intensitas yang paling dramatis tercatat di tahun 1999 di Venezuela. Sekitar 30.000 orang tewas oleh sebab langsung atau tak langsung.

Ketika daerah perkotaan tergenang, muncul paradoks yang khas. Penduduk kehausan di tengah genangan air. Di wilayah sekitar Jakarta, misalnya, banjir membuat sumur-sumur terendam. Pasokan dari Perusahaan Air Minum (PAM) terganggu atau tercemar. Pemerintah pun mengirim air bersih dengan tanki air. Namun, mobil-mobil tanki tak bisa merapat ke lokasi pengungsian warga karena terhadang genangan air.

Dari situlah berjangkit penyakit diare. Saat Jakarta tergenang Februari lalu, beribu-ribu warga terserang diare. Di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta Timur, dalam satu hari menerima lebih dari 150 pasien diare yang berobat. Pada masa banjir ketika itu, tercatat ada 390 orang yang harus menjalani rawat inap, di seluruh Jakarta, karena diare.

Leptospirosis menjadi penyakit kedua yang suka menumpang di antara genangan banjir. Penyakit ini menyebar melalui airseni tikus yang mengandung bakteri Leptospira. Kuman ini tergolong mikroba yang berbahaya, karena bisa menyebabkan kematian (lihat: Beberapa Penyakit Akibat Pemanasan Global). Jumlah korbannya pada peristiwa banjir Jakarta 2002 mencapai 44 kasus, dan sebanyak 13 di antaranya meninggal dunia.

Nyamuk

Udara panas dan lembap itu paling cocok buat nyamuk. Dalam kondisi semacam itu, serangga kecil ini hidup dan berbiak, tidak terkecuali nyamuk malaria, Anopheles, dan demam berdarah alias Aedes aegypti. Dulu, jenis kedua nyamuk penebar maut ini lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau.

Namun, kini rentang waktu serangan kedua serangga itu hampir di sepanjang tahun. Udara panas lembap berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu menyediakan genangan air bening untuk mereka bertelur. Maka, kini virus malaria yang dibawa Anopheles dan virus dengue dari nyamuk Aedes aegypti dapat menyerang sewaktu-waktu secara ganas. Iklim telah bergeser.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) aktif mencermati pola adaptasi baru serangga pembawa virus tadi akibat perubahan iklim global. ''WHO mengatakan, kontribusi perubahan iklim terhadap kasus malaia mencapai 6% di sejumlah negara," kata Sri Irianti, peneliti madya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan.

Pola serangan virus pun berubah. Suhu yang lebih hangat, menurut Irianti, rupanya bisa mempercepat perkembangbiakan nyamuk sekaligus mengurangi periode matang kuman di dalam tubuhnya. Siklus hidup nyamuk makin pendek, populasinya gampang meledak. Penularan makin cepat. Malaria sangat peka terhadap perubahan iklim. Bila curah hujan tinggi, risiko penularan malaria makin besar. Sirkulasi air yang buruk di lingkungan rumah pun akan meningkatkan resiko serangan nyamuk.

Di luar ''penyakit lama'' itu, Wan Alkadri, Direktur Penyehatan Lingkungan di Departemen Kesehatan, mengatakan ada 35 jenis penyakit infeksi baru yang muncul akibat perubahan iklam. Ia menyebut flu burung, ebola, dan penyakit hewan lain yang potensial menyerang manusia. "Ini dapat berkembang pesat sering kondisi gizi yang kurang baik dan kesehatan lingkungan yang memrihatinkan," katanya dalam talk show di salah satu televisi swasta, awal Oktober lalu.

Karena itu, upaya pencegahan penyakit harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya menangani penyakitnya, memperbaiki kualitas lingkungan fisik dan biologi. "Faktor lingkungan fisik dan biologis harus pula dikendalikan dengan cara memodifikasi lingkungan agar vektor malaria tak bisa berkembang biak," ujar Sri Irianti.

Namun, Irianti mengakui bahwa perkembangan dan adaptasi kuman patogen itu tidak hanya dikendalikan oleh kondisi lokal. Kondisi global ikut berbicara. Perubahan Iklim, misalnya. Dalam konteks ini, ia mengatakan bahwa persoalan berskala global haruslah diselesaikan di tingkat global pula.

Kebakaran Hutan

Secara rata-rata, kenaikan suhu udara global ''hanya'' 0,8 derajat celsius. Namun, bisa muncul variasi yang tajam dari satu ke tempat lain. Di beberapa tempat, temperatur udara naik cukup tinggi, termasuk pada suhu air laut, hingga melahirkan daerah tekanan rendah. Maka, bertiuplah angina kencang.

Tiupan angin kencang berkombinasi dengan udara kering sering memantik kobaran api. Itulah yan terjadi di California Selatan, Amerika Serikat, medio Oktober silam. Api mengamuk di hutan belukar, merambat ke mana-mana, bahkan menyerang daerah permukiman. Sebanyak tiga orang tewas, 400 cedera, dan hampir 500.000 warga mengungsi. Sekitar 172.000 hektare hangus dimangsa si jago merah.

Udara kering, terik matahari, dan tiupan angin juga sering mengakibatkan kebakaran di hutan tropis basah seperti di Indonesia. Pemanasan global yang kadang menghadirkan cuaca panas itu menambah potensi ancaman api. Sialnya, situasi rawan tadi diperburuk oleh kebiasan membakar semak untuk menyiapkan lahan pertanian atau perkebunan.

Kebakaran hutan pun sering melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada setiap kemarau. Tahun lalu, api muncul dari kawasan hutan Riau, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Tengah. Asapnya terbang ke mana-mana, bahkan menyeberang hingga ke Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan itu mengusik ekosistem bumi dari dua segi. Material kayu dan serasah yang terbakar itu menghasilkan gas-gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global. Sedangkan asap hitamnya menganggu secara langsung kehidupan manusia.

Ketika api merajalela di Kalimantan Tengah, klinik-klinik kesehatan di kota Palangkaraya kebanjiran pasien. Tak kurang dari 1.200 warga silih berganti menghuni ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Asap yang mengandung debu halus dan pelbagai oksida karbon itu menyebabkan gangguan pernapasan, mulai asma hingga penyakit paru obstruktif kronis (COPD). Asap tersebut juga membawa racun dioksin yang bisa menimbulkan kanker paru dan gangguan kehamilan. Di Cina, seperti dilaporkan koran Financial Times, 460.000 bayi meninggal karena pencemaran asap hasil pembakaran batubara setiap tahunnya.

Gelombang Panas dan Lubang Ozon

Gejala perubahan iklim ini diwarnai pula munculnya gelombang udara panas yang tiba-tiba menyerang sejumlah daerah. Pada awal musim panas, Juni lalu, Rumania dilanda sengatan hawa panas sampai 45 derajat celsius. Sebanyak 29 orang tewas karena mengalami dehidrasi, yang pada sebagian orang berlanjut ke stroke atau serangan jantung.

Gelombang panas di India pada tahun 2000 juga dikabarkan menewaskan 3.000 orang. Gelombang panas dahsyat juga menerjang Prancis Selatan selama beberapa pekan di musim panas 2003 lalu. Tercatat 14.800 orang meninggal karena sebab langsung atau tak langsung. Pada tahun berikutnya, gelombang panas serupa menyerang Belgia, Ceko, Jerman, Italia, Portugal, dan Swiss. Sebanyak 35.000 orang meninggal dunia. Terpaan gelombang panas kini menyumbang 0,5%-2% kematian di kawasan Eropa.

Frekuensi serangan gelombang panas belakangan terasa semakin tinggi. Para ahli tak ragu untuk menghubungkan gejala tersebut dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gas rumah kaca telanjur bertumpuk di atmosfer, dengan CO2 menyumbang porsi sampai 80%. Di antara rombongan gas rumah kaca itu ada keluarga karbon-fluor yang jahatnya berlipat-lipat. Selain menyumbang intensitas global warming, mereka juga merusak lapisan ozon di puncak atmosfer.

Jika dalam kondisi normal, atmosfer menahan 95% radiasi ultraviolet matahari. Hanya 5% yang lolos ke bumi. Itu berkat adanya lapisan ozon. Namun, kini lapisan pelindung itu hancur sebagian, terutama di sekitar langit di Kutub Selatan. Kerusakan terpusat di langit kutub yang dingin, karena senyawa karbon-fluor itu punya daya rusak tinggi pada suhu di bawah -43 derajat celsius.

Akibatnya, penduduk di bagian selatan Argentina, Cile, Selandia Baru, dan Tasmania (Australia) harus hidup tanpa pelindungan ozon. Mereka rawan terhadap kanker kulit akibat sengatan ultraviolet. Bukti valid muncul dari Punta Arenas (Cile), kota paling selatan di bumi ini. Di sana, angka penderita kanker kulit meningkat 66% selama satu dasawarsa, dari 1994-2004.Aries Kelana dan Elmy Diah Larasati



Post Date : 22 November 2007