Cara Bijak Mengelola Air

Sumber:Koran Tempo - 22 Februari 2007
Kategori:Air Minum
Banjir bandang yang melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya pada awal Februari 2007 menjadi indikator atas tidak bersahabatnya alam terhadap manusia. Banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau, khususnya di daerah subur seperti Jakarta dan sekitarnya, merupakan akibat buruknya sistem pengelolaan sumber daya air. Kesalahan pengelolaan air komunitas dan rumah tangga serta komersialisasi air melalui pengemasan dan pipanisasi dari pegunungan ke perkotaan menjadi sebagian faktor penyebab yang tidak kalah penting. Berbagai kesalahan tersebut menjadikan tanah kehilangan kemampuannya menyimpan air dan hilangnya kantong-kantong air dalam tanah.

Meski sudah banyak analisis yang menyebutkan bahwa semua penyebab bencana air adalah ulah tangan manusia, agaknya pemerintah, bersama semua elemen masyarakat, tidak kunjung melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan yang jitu. Bahkan berbagai dalih dikemukakan, di antaranya adanya siklus banjir lima tahunan dan perubahan iklim global. Sekali lagi alam dipersalahkan untuk menutupi ketidakmampuan manusia menjalani kehidupan secara bijaksana dan bersahabat dengan alam.

Dengan berbagai fenomena makin tidak bersahabatnya air terhadap kehidupan manusia, kini sudah saatnya ditumbuhkan kesadaran dan gerakan mengelola sumber daya air secara lebih bijak. Berikut ini beberapa gagasan awam, yang patut dipertimbangkan demi mencegah bencana karena banjir di kala hujan ataupun kekeringan di musim kemarau.

Pertama, hentikan komersialisasi air. Penjualan air dengan pengemasan melalui botol ataupun dengan pemipaan adalah salah satu sumber utama bencana. Ada tiga modus yang dipakai dalam industri air minum yang menjadikan mereka sumber bencana. Perusahaan air minum dalam kemasan mengambil air yang masih jernih langsung dari mata air di hulu. Padahal, jika air tersebut dibiarkan secara alamiah mengalir melalui sungai-sungai di permukaan ataupun dalam tanah, tanah di sepanjang aliran yang dilalui menjadi subur dan kelestarian alam akan terjaga. Selain itu, air tersebut bisa mengisi kantong-kantong air yang ada di dalam tanah.

Selain mengambil air dari hulu, modus lain yang dipakai oleh perusahaan air minum adalah dengan mengambil air dari sumur artesis, yang dalamnya bisa mencapai puluhan meter. Cara ini tentu akan menguras air tanah dalam radius yang cukup luas, dan akhirnya sumur-sumur konvensional lain yang lebih dangkal akan langsung kering. Dalam wilayah yang terbatas, sumur artesis ini akan menyebabkan kekeringan. Cara lain, yang lazim dilakukan oleh PDAM, adalah mengolah air sungai. Ini pun akan menjadi persoalan, karena sungai menjadi kering dan tidak bisa menjadi penyeimbang bagi kondisi alam di kala kemarau.

Dengan pandangan yang demikian, komersialisasi air merupakan praktek perampokan air dari satu komunitas (dan lingkungan) untuk komunitas lain yang mampu membayar mahal. Penghentian komersialisasi air ini bisa dilakukan pada dua level, yaitu dengan kebijakan pemerintah atau dengan perilaku konsumen untuk mengurangi konsumsi air kemasan dan kembali mengonsumsi air tanah (sumur). Untuk cara yang kedua, bisa dimulai kapan saja dan oleh siapa saja.

Kedua, mengelola air secara komunal. Gagasan dasarnya adalah mengelola perputaran air yang digunakan dan dibuang oleh sebuah komunitas dalam komunitas tersebut. Dengan konsep ini, yang harus dilakukan adalah mengefektifkan sumur tanah bagi rumah tangga yang bersangkutan dan mengelola air kotor secara mandiri oleh lingkungan. Agar kebersihan dan kesehatan air yang diambil dari sumur terjamin, bisa jadi harus ada pengelolaan air kotor bersama dalam lahan yang terkonsentrasi agar terdapat jarak aman antara pembuangan air kotor dan sumur.

Praktek yang selama ini lazim dilakukan adalah membuang air kotor melalui got, kemudian ke sungai, dan akhirnya bermuara ke laut. Cara ini, selain menyebabkan polusi sungai dan laut, tidak sustainable. Air yang berasal dari tanah tersebut, setelah digunakan, dibuang ke tempat yang jauh dari asalnya. Dengan demikian, secara kalkulatif, akan ada defisit air di suatu wilayah, dan hal ini telah terbukti dengan adanya kekeringan parah di Jakarta pada musim kemarau.

Pertanyaan yang muncul jika harus mengelola air secara komunal dan menghindari impor air bersih dari daerah lain, bagaimana dengan lokasi-lokasi yang tidak memiliki sumber air bersih? Jika ini yang terjadi, kita harus sadar bahwa boleh jadi tempat tersebut bukan lokasi yang baik untuk permukiman. Lokasi-lokasi tersebut pasti dapat digunakan untuk keperluan lain, yang lebih ramah dan aman bagi semuanya. Dengan pendekatan ini, misalnya, perumahan-perumahan mewah di daerah pantai utara Jakarta yang airnya payau semestinya dikosongkan untuk dijadikan hutan bakau sebagai daerah penyangga banjir.

Dengan pendekatan itu pula, sudah saatnya dilakukan relokasi lahan di Jakarta, dengan menyediakan lokasi-lokasi jalur hijau. Menimbang ketersediaan sumber air pula, ketika sudah banyak rumah tangga yang bergantung pada air komersial dari PDAM ataupun dari air kemasan dan isi ulang, mungkin bisa ditarik kesimpulan bahwa Jakarta sudah tidak kuat lagi menampung lebih dari 10 juta manusia. Pemindahan pusat tarikan orang (tempat orang bekerja: pemerintah, bisnis, pabrik, pendidikan, dan sebagainya) ke tempat lain yang masih lebih longgar juga perlu diintrodusir.

Ketiga, konservasi hutan dan sumber-sumber air. Hal ini juga mutlak adanya segera dilakukan. Pemicu utama musibah besar, seperti banjir bandang, yang dari tahun ke tahun makin parah, adalah hilangnya kemampuan hutan menyerap air hujan. Akibatnya, air hujan akan mengalir begitu saja tanpa bisa diserap kembali oleh tanah. Sudah banyak ajakan untuk melakukan hal ini, tapi realisasinya ternyata tidak gampang. Bahkan ucapan Wakil Presiden pun berlalu begitu saja, sama nasibnya dengan kritik dan keluhan masyarakat biasa.

Dengan tiga pendekatan, yang tentu saja awam dalam ilmu pertanahan dan hidrologi tersebut, diharapkan air akan selalu menampakkan wajah bersahabatnya ketimbang jahatnya. Untuk pendekatan pertama dan kedua, bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bisa dimulai dari diri sendiri. Adapun untuk menjalani pendekatan ketiga, agaknya kekuatan pemerintah yang lebih menentukan. As'ad Nugroho, Direktur Program Lembaga Konsumen Jakarta



Post Date : 22 Februari 2007