Ceritanya..Deritanya

Sumber:Kompas - 10 Januari 2004
Kategori:Sampah Jakarta
CERITANYA Gubernur Sutiyoso menganggap persoalan penutupan TPA Bantar Gebang tidak akan bikin masalah bagi DKI Jakarta. Sebab sejauh ini, Pemprov DKI merasa pihaknya sudah fair meski sempat "dipermainkan" Pemerintah Kota Bekasi. Kini DKI Jakarta tidak usah khawatir lagi, kalaupun Pemerintah Kota dan DPRD Bekasi mau menutup TPA Bantar Gebang itu selama-lamanya. Kini sudah ada lokasi tempat pembuangan sampah di Nagrak seluas 7,5 hektar berdaya tampung 2.000 ton sampah per hari, Cakung Timur empat hakter-1.000 ton per hari, dua di Rorotan berkapasitas 10 hektar-2.000 ton per hari.

Pokoknya, selama enam bulan ke depan, warga Jakarta tidak usah ngeper soal sampah. Sementara itu, ceritanya, sampah buangan asal Jakarta yang tiap hari 6.000 ton per hari, yang setara 25.650 meter kubik, bakalan aman terbuang meskipun diecer-ecer ke beberapa tempat yang umumnya di sekitar Jakarta Utara. Sementara itu, katanya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dengan segala pendekatannya akan merampungkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong meskipun hingga kini masih mendapat tentangan keras dari warga sekitarnya karena takut terkena deritanya sampah Jakarta.

Namun, upaya pembuangan sampah bertarget enam bulanan itu dianggap cuma cerita yang akan bikin deritanya saja. Sebab, kemampuan daya tampung dan daya dukung sampah kotor bau busuk di keempat pelbak itu amatlah terbatas dan tidak akan mampu bertahan selama setengah taonan. Sebab, dari hitungan kasar saja, semua tempat pembuangan akhir (TPA) sampah akan teruruk sampah organik dan non-organik itu cuma dalam beberapa puluh hari saja.

Bobot dan volume sampah yang buanyak itu, menurut cerita pakar sampah, seharusnya dikelola dengan teknologi tinggi. Misalnya, dengan sistem bala pres yang membungkus sampah dengan plastik teknologi pengolahan sampah itu juga memilah jenis sampah, serta mengepres sampah agar berkurang limbah cairnya. Sampah yang dipadatkan kemudian dibalut lembaran plastik dan plastik jaring, baru kemudian diangkut menuju ke TPST. Katanya, gaya bala pres ini bisa memperpanjang umur lahan, mengurangi air sampah, meminimalkan gas beracun, menghindari kebakaran, mengurangi bau dan lalat, juga mencegah pencemaran air tanah. Begitulah ceritanya.

RUPANYA orang dines DKI Jakarta itu, ceritanya lagi panik berat dan nekat, lalu membuang sampah ke rawa-rawa di sekitar Kecamatan Cilincing gara-gara sebal dan bosan menerima ancaman penutupan TPA Bantar Gebang. Daripada di-kerjain terus-terusan, ribuan ton sampah setiap harinya disebar dan ditumpuk di rawa-rawa dengan sistem open dumping. Cara pembuangan sampah yang "primitif" sekali itu, menurut pakar lingkungan hidup, nanti akan mengundang segala macam bakteri dan zat kimia beracun yang akan meresap masuk ke dalam air tanah.

Warga kota, yang 10-an juta jiwa, setiap saat tetap membuang sampah dengan tertib dan kurang ajar, ini mulai memikirkan ancaman tumpukan sampah kalau TPST Bojong cuma masih dalam tahap "ceritanya" saja, serta TPA Bantar Gebang benar-benar ditutup selama-lamanya.

Sedangkan ribuan warga di sekitar TPA open dumping, yang terbuka dan tanpa diuruk-uruk tanah, kini mulai menimba derita gara-gara sampah. Kerubungan jutaan lalat menjadi pemandangan jijik sehari-hari. Bau busuk menusuk hidung dan paru-paru, mengancam datangnya penyakit maut. Derita ini bakal makin mendera, mengingat setiap hari sampah terus datang bertumpuk, tanpa pedulikan gangguan dan ancaman kesehatan orang-orang yang mau sehat.

Sayangnya, soal sampah bau dan tidak sehat ini tidak ditangani seserius Pemprov DKI Jakarta membereskan soal three in one dan busway. Makanya, sambil menanti peluncuran proyek jalur bus wae dan suksesnya "3 in 1", sebaiknya ikuti laporan selanjutnya soal TPA di Cilincing. Apakah proyek nekat-nekatan buang sampah di rawa-rawa itu bakal sukses ceritanya atau sukses deritanya. (BD)

Post Date : 10 Januari 2004