Cuma Bikin Basah, Tak Masalah

Sumber:Kompas - 30 November 2009
Kategori:Banjir di Jakarta

”Banjir cuma bikin rumah basah. Kami masih bisa tinggal di sini. Kalau mengungsi pun, masih bisa balik. Masya Allah, kalau kebakaran susah. Semua hilang. Jangan deh,” kata Martini (61), warga RW 01 Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu (18/11). Martini, nenek enam cucu ini, mengaku, lebih dari separuh hidupnya tinggal di bantaran Ciliwung. Banjir sudah rutin menyambangi tempat tinggalnya sejak kawasan Bukit Duri masih lapang hingga menjadi super padat seperti saat ini.

Rumah Martini hanya sekitar enam meter dari sungai. Saat ditemui, di tengah gerimis, ia bersama seorang cucu yang masih balita asyik mencuci panci, penggorengan, dan perabot dapur lainnya. Setumpuk baju sepertinya telah selesai dicuci dan diperas. Sambil menunggui neneknya, sang cucu bermain air. Sesekali anak balita ini memasukkan air ke dalam mulutnya.

Seorang laki–laki di seberang sungai jongkok di atas rakit bambu, sibuk menyikat giginya. Padahal, di balik bilik rendah, masih di rakit itu, seorang wanita yang mungkin istrinya tengah buang air.

”Airnya, kan ngalir, Neng. Ini juga air mulai banyak karena banyak hujan. Enggak terlalu kotor,” komentar Martini soal air coklat Ciliwung.

Rasa nyaman memang sudah membelit warga tepi Ciliwung. Tidak cuma di Bukit Duri, tetapi juga di Kampung Melayu, Kampung Pulo, atau kampung lain di sepanjang sungai ini. Mereka begitu permisif terhadap banjir dan segala dampaknya. Keberadaan rumah-rumah yang memakan badan sungai pun dianggap bukan dosa.

Narudin, warga RT 3 RW 01, mengatakan, melewati banjir di awal 2009, kemudian pada 2008, dan terparah pada Februari 2007, sudah tiga kali dia kehilangan dua tiang penyangga lantai satu. Jangan pernah berpikir rumah lantai tiga Narudin bertulang beton dan bertembok bersih. Rumahnya terdiri dari susunan atau boleh dibilang tambalan tiang kayu, lantai, dan dinding papan.

Rumah-rumah serupa mungkin ribuan jumlahnya apabila menelusuri Sungai Ciliwung di perbatasan dengan Depok, Lenteng Agung, Pasar Minggu, hingga mencapai Jakarta Timur (Jaktim). Jurus andalan mereka menghadapi banjir memang dengan membangun rumah berlantai lebih dari satu meskipun ukuran panjang dan lebar tempat tinggal mereka bisa saja hanya 3 x 4 meter. Siasat ini menyelamatkan mereka saat air menggenang, entah sedalam 10-15 sentimeter atau bahkan hingga 1,5 meter.

”Sekarang di sini sudah ada sistem alarm penanda banjir mau datang. Senang sekali karena membantu kami lebih dini bersiap-siap menghadapi banjir. Itu sudah cukup. Sudah jangan ditanya lagi soal kita mau dipindahkan atau tidak. Kita enggak mau pindah. Apalagi kalau jauh,” kata Nawi (36), tetangga Martini.

Hal serupa disampaikan Herry (27), salah seorang warga RT 3 RW 3 Kampung Pulo, Jatinegara, Jaktim. ”Saya lahir dan besar di sini. Saya sudah mengenal betul tabiat air di sini. Kalau musim hujan, banjir datang dua pekan sekali. Banjir bandang datang lima tahun sekali. Kalau belum kiamat seperti di tayangan film, maka tahun 2012 daerah ini akan kembali dilanda banjir bandang,” ucapnya.

Sarbiati (49), warga RT 3 RW 3, yang menjual gado-gado di ujung gang, menambahkan, ”Paling kita mengungsi ke depan sini dan tidur sekitar dua tiga jam. Begitu bangun, genangan sudah surut. Kami bisa kembali ke rumah,” tuturnya. Agar mengungsi menjadi mudah, sebagian besar perabot rumah warga Kampung Pulo berbahan plastik. ”Tidak rapuh dan bertambah berat oleh air,” ucap Herry.

Warga yang selalu dicap sebagai korban banjir ini memang tidak merasa menjadi korban. Bahkan, rencana penataan pinggir kali dianggap hanya strategi menyingkirkan mereka.

”Mungkin tanah kita ini mau dibangun apa gitu, Neng. Lokasi ini, kan strategis, dekat pusat kota. Kalau mau menata, ya tata saja, jangan main gusur,” kata Nawi. ”Kalau saya menolak pindah karena ’habitat’ saya, ya di sini. Kalau saya dipaksa pindah, saya bisa ibarat ikan air tawar dipindah ke laut. Ya mati,” kata Herry.

Boleh jadi masyarakat tepi sungai susah percaya bahwa rencana menata kawasan bantaran Ciliwung demi menyelamatkan Jakarta dari bahaya banjir rutin. Hal ini dikarenakan beberapa sebab, antara lain, belum pernah ada rencana solid dan pelaksanaan yang tegas.

Di sisi lain, program pembangunan rusun juga dipertanyakan daya tampungnya. Rasa pesimistis warga ini pantas karena untuk kawasan Bukit Duri yang memiliki luas wilayah 101,7 hektar saja dihuni sekitar 9.400 kepala keluarga. Sementara itu, warga bantaran kali tersebar hingga kawasan Jaktim dan Jakarta Pusat. Entah berapa ribu keluarga atau berapa juta warga yang mesti dipindahkan.

Basa basi

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sejak tahun 2002 menyatakan siap membangun rumah susun sederhana milik (rusunami) di tepi sungai, yakni di Kelurahan Bidara Cina. Namun, hingga kini hal itu masih sebatas janji.

Pada tahun 2009 ditargetkan pembangunan 14 menara kembar (twin block) rusunawa berkapasitas 80-100 unit dengan tipe 30-36 meter persegi. Rusunawa itu tersebar di Kelurahan Cipinang Besar Selatan (2 menara kembar), Cakung Barat (6 menara kembar), dan Penggilingan (6 menara kembar) di Jaktim. Hingga akhir 2008 sudah terbangun 10 menara kembar, tetapi belum dilengkapi fasilitas listrik dan air bersih. Sampai akhir tahun ini nyaris tidak terdengar lagi progres pembangunan rusunawa tepi sungai.

Padahal, pembangunan rusun direncanakan diikuti dengan pemindahan penduduk. Kemudian, bantaran kali akan dinormalisasi dari lebar kini yang cuma delapan meter dikembalikan seperti semula, antara 20 dan 30 meter. Normalisasi sungai menjadi kunci penanggulangan banjir di Jakarta. Menurut Narti (54), warga RT 09 RW 06 di Cipinang Besar Selatan, Jaktim, masyarakat kelas bawah seperti dirinya tak ingin pindah ke rumah susun sebab ”Biaya hidup di sana tak akan terjangkau oleh kami,” ujarnya.

Pakar sosiologi, yang juga Rektor Universitas Indonesia, Gumilar Rusliwa Somantri, mengemukakan bahwa penanganan masyarakat kumuh di bantaran Sungai Ciliwung harus dilakukan secara manusiawi. Hal itu karena sebagian dari mereka sudah menetap turun-temurun di bantaran sungai.

Perkampungan warga di bantaran Ciliwung, tambah Gumilar, sudah dikenal sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu penduduk di tepian Sungai Ciliwung diistilahkan dengan masyarakat berpengha- silan rendah yang sebagian besar merupakan masyarakat pendatang.

Menurut Gumilar, pemerintah harus memiliki perencanaan yang matang terkait solusi menangani permukiman kumuh di bantaran Ciliwung. Penanganan masyarakat di bantaran Ciliwung harus dilakukan secara tegas, tetapi manusiawi.

Selama program pemerintah tidak jelas pelaksanaannya, berarti tidak serius. Bantaran kali akan tetap tak terurus. Kampanye terkait bersih kali yang kerap dilakukan Pemprov DKI selama setahun terakhir pun lebih tepat disebut sekadar basa basi. Basa basi tak akan mampu menggugah kesadaran masyarakat agar menertibkan dirinya sendiri. Jadi, kapankah pemerintah serius menangani masalah ini? NELI TRIANA dan WINDORO ADI



Post Date : 30 November 2009