Dahaga Global Mengancam Dunia

Sumber:Majalah Gatra - 13 Agustus 2008
Kategori:Air Minum

Dunia terancam krisis air yang bisa memicu peperangan. Setiap 20 detik, satu orang tewas akibat sanitasi yang buruk. Butuh biaya besar untuk mengelola air.

Kota dunia. Mungkin itu julukan yang pas berkaitan dengan perkembangan metro di dunia. Kini sekitar 400 juta kota menyesaki dunia. Padahal, pada awal abad ke-20 hanya ada 16 juta kota. Berbarengan dengan itu, pertumbuhan penduduk meningkat tajam. Arus migrasi dari desa ke kota tidak tertahankan. Para peneliti memperkirakan, pada 2030 sebanyak 80% penduduk bumi tinggal di kota.

Kondisi demikian membuat air bersih menjadi langka. Misalnya, Mexico City, Jakarta, dan Bangkok mengalami krisis air. Persediaan air tanah disedot besar-besaran dan tak bisa diperbarui, karena palung-palung air tanah terisi rembesan (intrusi) air laut. Bahkan penyedotan air membuat Jakarta melorot.

Keadaan yang sama melanda Beijing, dengan 16 juta penduduknya. Penyedotan air tanah membuat tanah anjlok lebih dari 12 meter dalam 30 tahun terakhir. Pemerintah Cina mengalokasikan dana trilyunan dolar Amerika untuk mengalirkan air dari Sungai Yangtze di selatan ke daerah utara yang kering. Kebutuhan air bersih memang sangat vital. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap hari 4.000 orang tewas akibat penyakit menular lewat air.

Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mengatakan bahwa kematian itu akibat sanitasi yang tidak memadai, ditambah kurangnya air bersih dan tingkat kesehatan yang buruk. Setiap 20 detik, satu anak tewas akibat sanitasi buruk yang dialami sekitar 2,6 juta orang di seluruh dunia. Ban Ki-moon menyatakan hal itu ketika mencanangkan Tahun Sanitasi Internasional 2008, Maret silam.

''Bila dulu saja air yang terjamin dengan harga yang terjangkau sangat sulit disediakan, maka kecepatan perkembangan di dunia membuat tantangan ini lebih besar lagi,'' kata Lee Hsien Long, Perdana Menteri Singapura, pada saat membuka Konferensi Dunia tentang Air. Lee menegaskan, akses pada air sebagai kepentingan keamanan berpotensi menimbulkan konflik. Lebih dari semilyar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih.

Pemecahan kurangnya sumber air harus dimulai dari pemahaman bagaimana tiap-tiap orang memerlukan air bersih. Malin Falkenmark dari Institut Air Internasional Stockholm menghitung, kebutuhan tiap orang minimum 1.000 meter kubik air per tahun untuk minum, mandi, dan makan. Dengan mengetahui sedemikian besar kebutuhan air per tahun, diharapkan manusia sadar untuk memelihara sumber-sumber air bersih.

Menurut para ilmuwan, kelangkaan air sebagian besar karena populasi naik, perubahan iklim global, dan banyak berkurangnya daerah sumber air. Sumber air bersih juga terancam oleh pemborosan, ketidakstabilan politik, bahkan konflik bersenjata. Kegagalan mengambil tindakan dapat berdampak luas.

Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih mungkin bisa mengacu pada langkah Saline Water Conservation Corp, organisasi yang melakukan konversi air laut di Arab Saudi. Fehied Al-Sharef, Gubernur Saline Water Conservation Corp, mengungkapkan bahwa terobosan teknologi memungkinkan negara-negara melakukan daur ulang air kotor dan menghilangkan kadar garam dalam air laut.

Toh, hal itu tidak menyelesaikan masalah, karena teknologi semacam ini bisa sangat mahal. Menurut dia, cara jitu menghadapi persoalan air bersih adalah dengan menghemat air dalam rumah tangga. Menurut Al-Sharef, Arab Saudi menghemat 40% hingga 50% air bersih dengan melakukan kampanye anti-pemborosan air.

Kampanye itu diikuti upaya nyata dengan menambal pipa-pipa air yang bocor. Organisasinya juga membagi-bagikan alat penghemat air secara cuma-cuma. Dalam kurun waktu dua minggu, aksi itu menunjukkan hasil. Tentu, tanpa penghematan, sangat sulit menekan krisis air dunia.

Sebuah studi bertajuk ''Water for Food, Water for Life'' (''Air untuk Makan, Air untuk Hidup'') menunjukkan, semakin tinggi penghasilan, semakin besar kebutuhan airnya. Sebagai contoh, pada akhir 1990-an, dimulai penggunaan air secara global dari tahun 2000 sampai 2050. Studi itu menunjukkan, kebutuhan air dunia melonjak dari 3.350 kilometer kubik (setara dengan volume air Danau Huron di Amerika Utara) hingga 4.900 kilometer kubik seiring dengan makin makmurnya manusia. Padahal, satu kilometer kubik air setara dengan 400.000 kolam renang standar Olimpiade.

Jika peningkatan kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi, akan timbul krisis yang akut. Dunia yang dahaga akan mendorong berbagai tindakan, dari migrasi penduduk secara besar-besaran hingga perang. Hal ini hanya bisa dihindari dengan menemukan cara untuk menyediakan air bersih.

Namun, sementara para ilmuwan dan pemerintah mencari cara untuk memuaskan bumi yang dahaga, ancaman lain membayang di depan mata. Apa lagi kalau bukan pemanasan global. Naiknya permukaan air laut mendesakkan air asin ke simpanan air tawar bawah tanah. Selain itu, berubahnya pola cuaca memperhebat kekeringan di Afrika, selatan Eropa dan Asia, seperti disebutkan badan PBB, Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).

Para ahli dan pembuat kebijakan menunjuk tiga kategori besar inisiatif untuk meredakan masalah kekurangan air bersih layak minum, terutama di kawasan-kawasan paling miskin di dunia, yaitu: sanitasi, penyulingan, dan manajemen air. Air bersih dan sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Namun, sayang, pemenuhan kebutuhan itu belum sepenuhnya berjalan baik di berbagai belahan dunia.

Laporan WHO pada Desember 2006 menunjukkan, sekitar 1,6 juta balita meninggal akibat air yang tidak aman dan lingkungan hidup yang tidak higienis. Artinya, terjadi kematian 4.500 anak setiap tahun. Penyakit yang terkait sumber air kotor yang menimpa masyarakat, antara lain, diare dan penyakit lain akibat parasit. Sanitasi yang tidak terjamin juga meningkatkan risiko penyakit kolera, tifoid, dan disentri.

Wilayah Sub-Sahara, Afrika, masih menjadi fokus perhatian dunia. Sebanyak 80% penduduk di sana diperkirakan tidak memiliki akses pada sumber air. Hal yang sama terjadi di Asia Timur dan Asia Tenggara. Tahun 2000, dunia berjanji menurunkan separuh orang yang tidak memiliki akses pada air minum dan sanitasi dasar. Laporan berjudul "MDG Drinking Water and Sanitation Target-The Urban and Rural Challenge of the Decade" menyatakan, butuh upaya dua kali lipat dari yang ada pada saat ini untuk memenuhi target pemenuhan air minum dan sanitasi dasar di seluruh dunia.

Sementara itu, biaya untuk memperbaiki dan memodernisasi prasarana air di Amerika Serikat dan Kanada untuk menjamin kelangsungan upaya itu cukup tinggi. Booz Allen Hamilton dari perusahaan konsultan memperkirakan, kedua negara itu memerlukan US$ 3,6 trilyun untuk membangun dan memelihara sistem pengelolaan air dalam kurun waktu 25 tahun. Mengingat mahalnya biaya untuk mengelola air, sudah waktunya kita untuk menghematnya. Rohmat Haryad



Post Date : 13 Agustus 2008