Dari Tetangga Limbah Mengalir

Sumber:Majalah Tempo - 02 Februari 2009
Kategori:Air Limbah

KOLONEL Laut Muhammad Faisal kini punya tugas tambahan. Komandan Pangkalan Angkatan Laut Batam itu tak hanya menjaga laut Indonesia, tapi juga memburu kapal yang dicurigai akan menumpahkan limbah ke perairan sekitar Riau.

Pada Desember lalu, pasukan Muhammad menangkap kapal Arowana. Kapal itu disergap pada saat menggelontorkan limbah ke perairan Batam. Menurut Muhammad, kapal tanker berbendera Singapura itu kerap digunakan mengangkut limbah. ”Kami sudah lama mengincarnya,” katanya.

Kasus Arowana kini tengah ditangani para penyidik Angkatan Laut. Selain memeriksa isi perut Arowana, para penyidik memeriksa lokasi PT Sentek Indonesia Shipyard Sagulung, tempat Arowana docking. Ikut bergabung dalam menelisik kejahatan limbah ini para penyidik dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam. ”Kami memeriksa bagaimana cara mereka menangani limbah itu,” kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam Dandy Purnomo.

Tak hanya perairan Riau yang dijadikan tempat empuk membuang limbah. Pekan lalu, kejadian serupa menimpa perairan Majene, Sulawesi Barat. Sepanjang enam kilometer perairan pantai itu tertutup sludge oil (endapan minyak berwarna hitam pekat) yang tidak diketahui asalnya. Sampai saat ini polisi masih memeriksa kasus ini. ”Sudah tiga nelayan kami mintai keterangan,” ujar juru bicara kepolisian Sulawesi Selatan, Komisaris Besar Hery Subiansauri. Polisi kini tengah memeriksa sampel limbah di laboratorium forensik.

Menurut Muhammad, limbah sludge oil merupakan ladang bisnis tersendiri di tengah laut. Muhammad menghitung, sedikitnya ada 20 kapal tanker yang wira-wiri melintasi perairan sekitar Batam dengan tujuan utama membuang limbah. ”Mereka mengangkut limbah dari kapal asing di perairan internasional,” katanya.

Dalam kategori limbah, sludge oil termasuk limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Menurut Dandy, pembuangan limbah jenis ini tidak bisa sembarangan. Perlu izin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. ”Tapi sebagian memilih jalan pintas, langsung membuang ke laut atau membayar para nelayan agar mau membuang limbah,” kata Dandy.

LIMBAH sludge oil hanyalah satu dari sekian limbah berbahaya yang, diam-diam, terus masuk ke Indonesia. Kendati Konvensi Basel telah melarang pengiriman limbah jenis ini dan undang-undang melarang praktek tersebut, toh pelanggaran terus terjadi.

Pada Desember 2007, misalnya, aparat Bea-Cukai Tanjung Priok menemukan satu kontainer berisi kondom bekas. Limbah seberat 26 ton ini dinilai berpotensi menimbulkan penyakit (patogen). Kondom bekas itu, belakangan, dikirim kembali ke negeri pengirimnya, Jerman.

Menurut sumber Tempo di Kementerian Lingkungan Hidup, limbah semacam itu hanya bisa masuk berkat kongkalikong para pengusaha dan bagian perizinan Kementerian Lingkungan Hidup. Caranya, kata sumber itu, dengan memanipulasi dokumen, yakni mengkategorikan limbah itu sebagai jenis limbah yang boleh diimpor. ”Dengan demikian, barang itu dengan leluasa masuk ke Indonesia,” ujarnya.

Banjir limbah beracun marak sekitar awal 1990. Saat itu Kementerian Lingkungan Hidup mengungkap masuknya sekitar 2.500 ton limbah timah bekas dan sekitar 100 ton aki bekas. Belakangan, muncul lagi kasus baru: mengalirnya 29 ribu ton baterai bekas dari Australia pada 1996. Semuanya mengandung bahan berbahaya dan beracun.

Jika pemerintah kemudian mencegah mati-matian limbah itu masuk ke Indonesia, itu masuk akal. Selain berbahaya untuk kesehatan manusia, limbah ini pun, jika ditanam atau bercampur dengan tanah, tetap berbahaya. Pintu larangan inilah yang kemudian diterobos: dengan memalsukan dokumen impor.

Menurut sumber Tempo di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, para pengimpor mendapat sedikitnya dua keuntungan dengan mengimpor limbah B3 ini: selain bisa menjual kembali limbah itu, mereka mendapat bayaran dari perusahaan luar negeri, sang pemilik limbah. ”Karena mengirim limbah itu ke negara lain lebih murah ketimbang mereka mengelola di negara sendiri.”

Kendati keran impor limbah B3 tertutup, bukan berarti pengusaha Indonesia tak bisa sama sekali mengimpor limbah. Pada Oktober lalu, misalnya, Departemen Perdagangan merilis kembali peraturan baru tentang jenis limbah yang tak mengandung bahan berbahaya beracun yang boleh masuk ke negeri ini.

Menurut Kepala Bidang Agroindustri Kementerian Lingkungan Hidup Iyan Suwargana, impor limbah non-B3 ini hanya diperuntukkan bagi importir produsen. Seperti industri peleburan baja dan industri peleburan plastik. Tapi masuknya limbah non-B3—demikian istilahnya—membawa dampak lain. Memberi peluang masuknya limbah B3.

Sejumlah syarat ketat juga dibuat bagi mereka yang akan mengimpor limbah non-B3. Selain mendapat izin Departemen Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup, pengiriman limbah itu harus di bawah pengawasan surveyor negara asal yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup. Limbah itu berasal, antara lain, dari Jepang, Cina, Korea, dan Singapura.

Nah, menurut sumber Tempo, izin limbah inilah yang diselewengkan, digunakan juga untuk memasukkan limbah beracun. Caranya, antara lain, dengan mencampur limbah beracun ke dalam kontener limbah non-B3. ”Mereka ini tergiur oleh uang yang ditawarkan pemilik limbah,” ujar Iyan.

Tindakan kriminal semacam ini bukannya tidak pernah terungkap. Sekitar dua tahun silam, para penyidik dari Markas Besar Kepolisian dan polisi Batam membongkar kasus impor B3 berkedok pupuk cair oleh PT Asia Pacific Eco Lestari (Apel). Sampai kini kasus yang disebut-sebut menyangkut nama seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu belum selesai. Beberapa tersangkanya masih jadi buron.

Menurut Andy Nababan dari Dewan Penasihat Indonesia Hazardous Materials and Waste Research—lembaga yang aktif mengamati perdagangan limbah antarnegara—para pengimpor dan juga pengekspor limbah B3 memang memakai berbagai cara untuk memasukkannya ke Indonesia. Misalnya diselundupkan lewat produk mereka atau mencampur limbah itu dengan limbah non-B3.

Andy mencontohkan limbah dry cell atau baterai yang tidak layak pakai. Baterai bekas ini, ujarnya, di-charge ulang lalu disisipkan ke produk elektronik seperti remote control. ”Jadi, baru dipakai, beberapa saat kemudian habis,” katanya. Ada juga cara lain yang pernah dipergoki Kementerian Lingkungan Hidup. Jual-beli limbah dikamuflase dengan penjualan barang. Misalnya penjualan kapal bekas murah yang ternyata berisi limbah.

Ada pula ”tren” baru yang dipakai para produsen limbah: mendekati kepala daerah. Menurut Iyan, jika ini berhasil, produsen limbah langsung mengirim limbahnya—dengan wujud apa pun—ke daerah itu. Pendekatan ini mulai marak sejak akhir tahun 2000, tatkala otonomi daerah mulai diberlakukan. ”Nilai satu kontraknya mencapai Rp 30 miliar,” kata Iyan.

Beberapa daerah memang pernah dilobi untuk menampung limbah semacam itu. Pemerintah Kabupaten Cilacap, misalnya, mendapat tawaran dari Korea Selatan untuk menerima 20 ribu ton limbah material organik, yang menurut mereka bisa dimanfaatkan untuk reklamasi kawasan industri.

Hal yang sama diterima pemerintah Batam pada 2002. Daerah ini mendapat tawaran limbah copper sludge—sejenis pasir silika—dari Taiwan dan Vietnam yang jumlahnya 100 ribu ton. Seperti pemerintah Cilacap, pemerintah Batam menampik tawaran itu. Ini lantaran, belakangan, diketahui limbah itu mengandung bahan beracun dan berbahaya.

Menurut Andy, kendati di atas kertas aturan itu ketat, faktanya limbah B3 tetap masuk ke Indonesia. Menurut dia, wilayah Indonesia yang luas ini memang masih menjadi surga negara maju untuk melempar limbah. Karena itu, ujarnya, satu-satunya cara untuk membuat jera para pelaku kejahatan limbah ini adalah mengusut tuntas kasus penyelundupan limbah dan mengganjar berat pelakunya. Ramidi, Rumbadi Dale (Batam), Irmawati (Makassar)



Post Date : 02 Februari 2009