Dari Zaman Van Breen hingga Bang Yos

Sumber:Kompas - 11 Desember 2006
Kategori:Banjir di Jakarta
Setelah sebagian warga Jakarta sempat menjerit gara-gara musim kemarau yang cukup panjang, musim hujan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang pada awal Desember ini. Namun, hujan di Jakarta bukan cuma membawa berkah karena mengakhiri musim paceklik air, tetapi juga bisa mendatangkan derita baru, banjir!

Meski hujan belum turun habis-habisan, dari berbagai penjuru Ibu Kota sudah muncul macam-macam kabar terjadinya genangan air menyusul turunnya hujan. Genangan air setinggi betis akibat hujan di kawasan Jakarta Timur, Senin (4/12), misalnya, sempat membuat banyak mobil mogok yang lantas memicu kemacetan lalu lintas di Jalan Pemuda.

Sering terjadinya genangan air pada awal musim hujan ini adalah semacam peringatan dini bahwa Ibu Kota bakal kembali diserbu banjir. Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cepat tanggap, dengan mendistribusikan alat-alat yang pasti diperlukan dalam kondisi darurat banjir, termasuk jaket pelampung dan tambang, ke daerah-daerah permukiman rawan banjir, seperti di sepanjang pinggiran Sungai Ciliwung, Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Meski tak datang tiap tahun, banjir besar cukup sering melanda Jakarta. Semua tentu masih ingat pada banjir besar terakhir pada awal 2002. Waktu itu, tak ada satu pun wilayah yang selamat. Banjir menyergap mulai dari daerah Kedoya, Kebon Jeruk, dan Daan Mogot di Jakarta Barat; Pondok Pinang, Tanah Kusir, Radio Dalam, Kemang, Mampang, Pasar Minggu, dan Kuningan di Jakarta Selatan; Cipinang, Kampung Melayu, dan Jatinegara di Jakarta Timur; Tanjung Priok, Pluit, Muara Karang, dan Kelapa Gading di Jakarta Utara; sampai ke Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman di Jakarta Pusat.

Waktu itu, untuk pertama kali dalam sejarah, banjir juga merendam halaman Istana Merdeka dan jalan-jalan di sekitarnya. Padahal sebagai tempat tinggal resmi presiden, istana yang dibangun pada awal abad ke-19 itu dibentengi salah satu sistem drainase terbaik di Jakarta.

Banjir 2002 disebut-sebut lebih dahsyat dari dari banjir-banjir besar sebelumnya, juga merenggut nyawa manusia, yang kalau diurut mundur berturut- turut terjadi pada 1996, 1979, 1918, 1654, dan 1621.

Tak mungkin

Dalam sebuah lokakarya yang digelar sekitar sebulan setelah banjir besar 2002 itu, Siswoko, Inspektur I Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, menyatakan, Jakarta tak mungkin bebas banjir. "Apa pun yang dilakukan, Jakarta akan masih berisiko tergenang air," kata Siswoko saat itu.

Sebelumnya, pendapat senada dan seirama juga disampaikan beberapa pejabat dan pakar soal pengairan lainnya.

Jakarta pada dasarnya memang amat rentan pada ancaman banjir. Selain berlokasi di daerah dataran rendah, bahkan sebagian lebih rendah dari permukaan laut, Jakarta juga dilewati 13 sungai yang semua bermuara di Teluk Jakarta. Daerah aliran sungai-sungai ini tersebar merata di seluruh wilayah Jakarta. Di Jakarta Timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang; di tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut, sementara di sisi barat ada Sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggarahan, Mookervaart, dan Angke.

Faktor tingginya curah hujan juga punya andil besar pada terjadinya banjir di Jakarta dan kawasan-kawasan di sekitarnya. Risiko banjir semakin tinggi karena ketidakdisiplinan pemerintah dan warga dalam memelihara lingkungan. Pelanggaran tata ruang, langsung atau tak langsung ikut pula memberi sumbangan pada terjadinya banjir.

Diawali Van Breen

Tidak diketahui apakah di zaman pra-kolonial juga sudah pernah ada usaha penanggulangan banjir di daerah rawa-rawa pantai utara Jawa, yang sekarang menjadi bagian dari Jakarta. Namun yang sudah pasti, perang melawan banjir secara konsepsional dan besar-besaran baru mulai dilakukan pada zaman kolonial Belanda, persisnya pada awal abad ke-20, pada waktu Jakarta masih bernama Batavia alias Betawi.

Seorang tokoh yang namanya tak bisa dipisahkan dari sejarah awal perjuangan Jakarta melawan banjir adalah Herman van Breen. Dialah yang memimpin tim penyusun rencana pencegahan banjir, yang dibentuk kantor dinas pengairan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918.

Itu dilakukan setelah Batavia alias Betawi, sebutan Jakarta waktu itu, dilanda banjir besar yang merenggut banyak nyawa warganya bersama timnya, Van Breen yang bertitel profesor doktor, ditugasi menyusun konsep terpadu penanggulangan banjir di seluruh wilayah Batavia yang luasnya 2.500 hektar. Luas Jakarta sekarang mencapai 65.000 hektar.

Seperti pernah dinyatakan pengamat masalah-masalah Jakarta, Paulus Londo, lewat tulisannya di harian ini, setelah mempelajari dengan saksama berbagai faktor penyebabnya, Van Breen berhasil menyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup spektakuler untuk ukuran masa itu.

Konsep Van Breen dan kawan-kawan intinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air yang masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, yang selanjutnya dialirkan ke laut lewat sisi barat kota.

Saluran kolektor itulah yang kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat, yang membelah Jakarta mulai dari Pintu Air Manggarai sampai ke Muara Angke. Manggarai dijadikan titik awal karena daerah itu merupakan batas selatan kota yang masih cukup aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan pengendalian air di musim hujan.

Banjir kanal itu mulai dibangun pada 1922 dan dikerjakan secara bertahap, mulai dari Pintu Air Manggarai ke arah barat, memotong Sungai Cideng, Krukut, Grogol, sampai ke Muara Angke.

Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, sungai buatan itu dilengkapi beberapa pintu air, termasuk Pintu Air Manggarai untuk mengatur debit air Kali Ciliwung Lama, dan Pintu Air Karet, untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah. Dengan adanya Banjir Kanal, beban sungai di utara saluran kolektor jadi relatif terkendali.

Tak ada kemajuan

Sejak Indonesia merdeka pada 1945, belum ada lagi tambahan saluran air sekelas Banjir Kanal Barat, yang sudah terbukti mampu mengatasi masalah banjir Jakarta.

Gagasan untuk membangun Banjir Kanal Timur (BKT) memang sudah ada sejak lebih dari 30 tahun lalu, tetapi Ali Sadikin, Gubernur Jakarta ketika itu, tak sanggup mewujudkannya. Demikian pula empat gubernur berikutnya, yakni Tjokropranolo, Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, dan Soerjadi Soedirdja.

Baru pada tahun 2002 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai membangun BKT, setelah tertunda selama lebih dari 30 tahun.

Rencana lama ini baru mulai terwujud pada tahun 2002. Tepat di Hari Ulang Tahun Ke- 475 Jakarta, 22 Juni 2002, Gubernur Sutiyoso yang biasa dipanggil Bang Yos meresmikan dimulainya pembangunan saluran air sepanjang 23,6 kilometer itu. Pembangunan BKT yang akan melewati 13 wilayah kelurahan itu diperkirakan seluruhnya akan menghabiskan dana sebesar Rp 4 triliun.

Namun seperti sudah diduga sejak awal, kegiatan pembangunan BKT sampai kini masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu soal yang paling serius adalah masalah pembebasan lahan.

Sebanyak 75-80 persen lahan yang diperlukan bagi proyek ini adalah tanah milik masyarakat. Kenyataan ini berpotensi besar menimbulkan ketegangan antara warga dan pemerintah akibat tarik-menarik dalam penetapan harga.

Pertengahan November lalu dikabarkan bahwa para warga pemilik lahan yang terkena proyek BKT menghentikan secara paksa aktivitas kontraktor di daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur. Warga menyatakan baru akan mengizinkan dilanjutknnya lagi pekerjaan jika sudah ada kepastian pembayaran ganti rugi.

Kalau persoalan-persoalan semacam ini terus muncul dan menghambat pembangunan BKT, bisa jadi proyek luar biasa penting ini tak bakal memenuhi target penyelesaian selama lima tahun. Proyek bahkan bisa terancam terhenti sama sekali akibat biaya yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Dan BKT pun hanya tinggal nama.

Entah sampai kapan, Jakarta masih akan terus diserbu banjir besar-kecil, saban tahun. Hal yang pasti membuat Herman van Breen menangis, andai ia masih hidup. Mulyawan Karim



Post Date : 11 Desember 2006