Datang Menerjang Tanpa Isyarat Alam

Sumber:Kompas - 04 Maret 2012
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Hamparan dataran rendah pada tiga kecamatan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, tersebut menembus batas pandang. Hamparan terbentang luas hingga ke pantai selatan, Laut Timor. Dataran itu merupakan Daerah Aliran Sungai Benanain dengan 11 subdaerah aliran sungai. Hampir setiap tahun banjir menerjang wilayah tersebut. Kali ini bencana itu datang tanpa diawali tanda-tanda alam.
 
Wilayah dataran itu mencakup tiga kecamatan, yakni Malaka Tengah, Malaka Barat, dan Weliman, di Kabupaten Belu. Total luas datarannya mencapai 49,67 kilometer persegi. Wilayah paling parah diterjang banjir Daerah Aliran Sungai (DAS) Benanain adalah Kecamatan Malaka Barat.
 
Terdapat 16 desa di kecamatan itu menjadi langganan tetap banjir setiap musim hujan. Dari ke-16 desa itu, tujuh desa dengan kondisi paling parah, yakni Lasaen, Umatoos, Sikun, Fafoe, Oanmane, Mota Ulun, dan Mota Ain. Desa yang hancur adalah Lasaen, Umatoos, dan Sikun.
 
Air Benanain telah mengubah jalur masuk ke tiga desa itu. Penduduk ketiga desa tersebut sudah mengungsi ke berbagai wilayah yang dinilai lebih aman.
 
Hanya rumah panggung
 
Berdasarkan pengamatan di Desa Lasaen, Senin (20/2), misalnya, terdapat reruntuhan dan bongkahan bangunan berserakan di sejumlah tempat akibat terjangan banjir.
 
Sebanyak 148 rumah penduduk di desa itu tertimbun endapan sedimentasi tanah berlumpur. Hanya delapan rumah panggung dengan ketinggian 5 meter yang masih tampak utuh.
 
”Lihat, sebagian besar bangunan ini berbentuk panggung. Setiap tahun terjadi pendangkalan akibat timbunan sedimentasi tanah berlumpur dari Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS) hingga setinggi 40 sentimeter. Material banjir ini terus merangkak naik mendekati dinding rumah. Para penghuni mengungsi untuk menyelamatkan diri,” kata Alo Bria, warga Desa Lasaen, Belu, Senin (20/2).
 
Alo Bria mengaku sudah membangun lima rumah di lokasi berbeda di Lasaen, tetapi semuanya hancur disapu banjir atau tertimbun sedimen. Satu rumah butuh biaya Rp 20 juta-Rp 30 juta. Rumah ini berdinding bebak (dari tulang daun gewang), atap seng, dan tiang dari balok kayu.
 
Tidak hanya rumah, tanaman warga, seperti pisang, mangga, kakao, kelapa, nangka, padi, jagung, dan umbi-umbian, pun ikut tertimbun lumpur. Banyak tanaman mati. Padahal, tumbuhan-tumbuhan itu menjadi sandaran hidup warga setempat, termasuk untuk menyekolahkan anak dan membangun rumah.
 
Terdapat 11 sub-DAS di wilayah Kecamatan Malaka Barat, Malaka Tengah, dan Weliman. Sub-DAS itu adalah Noni (34,311 hektar), Laku (17,427 hektar), Fatu (20,607 hektar), Bunu (19,017 hektar), Boen (18,154 hektar), Muti (64,183 hektar), Bikomi (31,399 hektar), Maubesi (24,594 hektar), Tubino (53,603 hektar), Okan (12,888 hektar), dan Kutun (25,519 hektar).
 
Ke-11 sub-DAS itu kemudian bertemu di DAS utama Benanain yang luasnya mencapai 548,490 hektar. Air dengan volume besar akibat hujan lebat itu akhirnya mengalir tak hanya pada alurnya. Air juga meluber sampai puluhan kilometer di kiri dan kanan hingga menerobos permukiman warga, lahan pertanian, serta kawasan perkantoran dan sekolah.
 
Kerusakan Gunung Mutis
 
Luapan air DAS yang begitu besar itu karena peningkatan volume banjir disertai bahan material dari TTU dan TTS. Telah terjadi penebangan liar, penggundulan hutan, dan penambangan mangan di kedua kabupaten itu, terutama di Cagar Alam Gunung Mutis, yang tidak terkendali.
 
Kerusakan lingkungan yang semakin parah tersebut menyebabkan banjir di wilayah Malaka Barat semakin tidak terkendali dan cenderung mendadak. Apalagi jika terjadi hujan lebat di wilayah TTU dan TTS.
 
Jika warga di Belu Selatan (Malaka Barat, Malaka Tengah, dan Weliman) mengetahui hujan lebat turun di kedua kabupaten itu, mereka langsung siaga. Bahkan, kaum pria menggelar ronda malam untuk memantau banjir.
 
Warga dataran rendah di Belu Selatan sering mengalami kondisi buruk tersebut. Meski tak mengalami atau merasakan air hujan, karena berada di dataran rendah, secara tiba-tiba terjadi luapan banjir besar dan menerjang seluruh wilayah di dataran tersebut.
 
”Setiap memasuki musim hujan, warga yang berdiam di dataran rendah Belu Selatan selalu tidak tenang. Kami dihantui banjir bandang,” kata Sekretaris Camat Malaka Barat Yohanes Klau.
 
Banjir bandang pernah terjadi di daerah itu tahun 1999 dan menewaskan 150 orang. Saat itu tidak pernah ada hujan di wilayah tersebut. Sebaliknya, kabut tebal dan awan hitam tampak di wilayah Gunung Mutis (TTU dan TTS).
 
Tak ada solusi
 
Kendati bencana banjir telah menjadi langganan bagi warga Belu Selatan, pemerintah belum memiliki cara tepat untuk mengatasi banjir. Ini termasuk mengalihkan jalur banjir dari areal permukiman, lahan pertanian, atau kawasan sekolah dan perkantoran.
 
Sebelumnya, jalur banjir Benanain berada sekitar 10 kilometer dari ketiga desa itu. Namun, jalurnya terus mengalami pergeseran, sampai merambat masuk ke permukiman warga.
 
Jenis tanah di DAS itu terdiri dari aluvial, grumosol, kambisol, latosol, mediteran, podsolik, regozol, dan renzna, dengan sifat berbeda-beda. Kombinasi tanah-tanah itu mudah tergerus air, sulit mengendapkan air, dan cenderung mengerdilkan tanaman berakar pendek.
 
”Di Desa Lasaen, lebar jalur Benanain terus meluas, dari 40 meter tahun 2010 menjadi 85 meter tahun 2012. Masyarakat dan pemerintah telah memperbaiki tanggul itu, tapi roboh lagi setelah diterjang banjir. Pembangunan tanggul itu berupa upaya menutupi jalur banjir, tetapi tidak berupaya mengarahkan jalur air banjir sehingga begitu terjadi hujan di TTU dan TTS banjir datang dan menerjang tanggul itu,” kata Klau.
 
Kini, warga seakan memulai kehidupan baru di lokasi penampungan di Kecamatan Weliman, 10 kilometer dari Lasaen. Tetapi, saat tidak hujan, mereka datang membersihkan lumpur rumah dan kuburan leluhur.
 
Wakil Bupati Belu Ludovikus Taolin mengatakan, pembangunan tanggul di DAS Benanain butuh dana sampai Rp 10 triliun. Itu pun harus dibangun oleh tenaga ahli dari luar.
 
”Kami sudah bertemu Bupati TTU dan TTS, membahas DAS Benanain. Kami minta pemerintah daerah kedua kabupaten ini agar melarang warganya melakukan penebangan dan perusakan hutan di Cagar Alam Mutis,” katanya.
 
Namun, penanganan sesungguhnya bukan dengan rekayasa teknologi. Yang terpenting adalah menghentikan perusakan lingkungan di wilayah hulu sungai dengan reboisasi dan penyetopan penambangan. KORNELIS KEWA AMA


Post Date : 04 Maret 2012