Demi Air, Sungai Kering Pun Digali

Sumber:Kompas - 29 Juli 2008
Kategori:Air Minum

Matahari terasa terik menyengat di sepanjang jalan di pesisir pantai utara Serang, Provinsi Banten, Senin (28/7) siang kemarin. Pucuk-pucuk padi di kanan-kiri jalan terlihat menguning, terbakar panas matahari. Tanah sawah pun kering kerontang.

Bahkan, tanah tampak retak-retak. Itu karena sebagian besar saluran irigasi di daerah utara Banten sudah mengering. Hujan tak lagi turun. Padahal, bagi sebagian besar warga pantai utara (pantura), irigasi bukan sekadar mengairi sawah. Sudah sejak lama saluran irigasi menjadi sumber air untuk keperluan mandi, mencuci, bahkan minum sekalipun.

Empat bulan terakhir, saluran irigasi primer, sekunder, maupun tersier mulai mengering. Misalnya, saluran irigasi yang melintas di sepanjang Desa Wanayasa hingga Desa Domas di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang.

Saluran irigasi sepanjang lebih kurang tiga kilometer itu tak lagi dialiri air. Menurut warga, kondisi itu sudah terjadi selama empat bulan terakhir. Saat ini yang terlihat hanyalah sisa-sisa air yang mengendap membentuk kubangan-kubangan kecil berwarna hijau kehitaman.

Meski terlihat kotor dan penuh lumut, masih ada saja warga yang mandi maupun mencuci pakaian dan perabotan rumah tangga di kubangan air sisa irigasi itu. Bahkan, warga juga tak segan menggunakan air hitam pekat itu untuk berkumur dan menggosok gigi.

Selain memanfaatkan kubangan air sisa, warga dua desa itu juga terpaksa ”mengejar” air dengan menggali sungai kering, tetapi air terus ”menjauh”, turun ke dalam tanah. Lubang-lubang dengan diameter sekitar satu meter dan kedalaman satu hingga dua meter terlihat berjajar di sepanjang aliran irigasi di daerah ini.

”Kalau dapat, airnya lumayan bening,” tutur Arsinah, warga Desa Wanayasa. Warga menggunakan air galian itu untuk keperluan mandi, mencuci, memasak, dan minum sehari-hari. Mereka tak memiliki cukup uang untuk membeli air bersih.

Padahal, kondisi air galian itu tak jauh berbeda dengan air sisa di dalam kubangan. Air terlihat keruh, berwarna coklat, dan agak berbau tidak sedap. Bila dicermati, air masih mengandung lumpur dan kotoran.

Agar terlihat lebih bening dan dianggap layak dikonsumsi, biasanya warga mengendapkan air galian selama semalam. Setelah itu, mereka bisa langsung memasak air itu untuk diminum.

Kesulitan air juga dialami sebagian warga Kecamatan Tirtayasa, yang berada di sebelah timur Kecamatan Pontang. Sama dengan warga Wanayasa, ratusan warga Desa Sujung, Tirtayasa, pun terpaksa memanfaatkan saluran air di tepi Jalan Cincin Utara yang tak lagi mengalir.

Sepanjang siang kemarin, terlihat sejumlah warga mencuci pakaian, perabotan rumah tangga, dan bahan pangan di sungai kecil yang juga mulai mengering.

Padahal, air sudah berwarna hijau pekat. ”Masih untung, airnya masih sisa. Coba kalau kering semua, bisa susah nyuci, susah mandi,” kata Masnah, warga Desa Sujung.

Mencuci di lapangan

Lain warga Sujung, lain pula dengan nasib warga Desa Lontar, masih di Kecamatan Tirtayasa, yang berbatasan langsung dengan pantai utara. Sudah lebih dari empat bulan warga kembali menggali tanah lapang di tepian pantai untuk mendapatkan air resapan.

Dalam satu bulan terakhir, sumur galian dengan kedalaman kurang dari dua meter itu tidak banyak mengeluarkan air sehingga warga harus menunggu lebih dari satu jam untuk mendapatkan air satu ember kecil.

”Sudah dua jam menunggu, baru dapat dua ember kecil. Kalau diambil airnya langsung habis, jadi harus nunggu sampai keluar air lagi,” ujar Rahma, salah seorang warga Lontar.

Karena sulit mendapatkan air, warga pun terpaksa mencuci pakaian di tengah tanah lapang yang berjarak sekitar satu kilometer dari permukiman penduduk. Hujan yang tak lagi turun membuat air resapan di sumur galian itu pun berubah rasa menjadi asin. Namun, air itu tetap saja dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci karena menjadi satu-satunya sumber air pada pada musim kemarau.

Warga Desa Lontar tak sanggup membeli air untuk mandi atau mencuci karena sebagian besar tergolong warga kurang mampu.

Musim kemarau telah membuat kondisi warga pantura menjadi serba sulit. Pengeluaran mereka membengkak untuk membeli air bersih.

Di Pontang, warga harus mengeluarkan uang Rp 1.000 untuk memperoleh satu jeriken berisi 20 liter air bersih langsung dari tempat penjualan. Apabila ingin diantar, harganya menjadi Rp 2.500 per jeriken. Padahal, dalam satu hari, satu keluarga membutuhkan 2-5 jeriken air bersih.

Begitu pula di Lontar, warga harus mengeluarkan uang Rp 3.500 untuk membeli dua jeriken air bersih untuk keperluan air minum. Sebenarnya kesulitan air semacam itu selalu dialami warga pantura Serang, setiap musim kemarau tiba. Mereka menjadi terbiasa menggunakan sisa air irigasi.

Sementara pemerintah belum memberikan solusi apa pun untuk mengatasi krisis air tahunan tersebut. Bahkan, seolah-olah kondisi warga yang mengonsumsi air kotor itu dibiarkan menjadi sebuah budaya. Anita Yossihara



Post Date : 29 Juli 2008