Desember dan Januari Banjir Akan Lebih Besar

Sumber:Suara Pembaruan - 29 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
[JAKARTA] Dampak banjir yang terjadi akibat pasang laut (banjir rob) di wilayah utara Jakarta beberapa hari belakangan ini, diprediksi akan bertambah parah bulan depan jika disertai curah hujan dengan lebat.

Ahli Oseanografi Institut Teknologi Bandung, Dadang K Mihardja, saat dihubungi SP, Kamis (29/11) mengatakan, banjir yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan tiga faktor dominan. Faktor pertama, fase bulan, di mana posisi bulan tanggal 23 November merupakan titik terdekat dengan bumi (perigee) ditambah lagi keesokan harinya terjadi bulan purnama.

Faktor kedua, terjadi penurunan muka tanah dari arah Monas sampai pantai utara Jakarta dengan laju penurunan 1-10 sentimeter per tahun. Di Cengkareng, menurut Dadang, dalam 27 tahun terakhir (1980-2007) terjadi penurunan muka tanah sekitar 2 meter.

Faktor ketiga, adanya kontribusi pemanasan global yang menaikkan elevasi muka laut sekitar 5 milimeter per tahun. "Jadi, ketiga faktor ini yang menyebabkan banjir rob di utara Jakarta kemarin. Bisa dibayangkan kalau hujan di bulan Desember turun, maka banjirnya akan lebih parah," katanya.

Dia menerangkan, banjir yang lebih parah tersebut, kemungkinan besar terjadi sekitar tanggal 22 Desember 2007, karena untuk fase perigee terjadi tanggal 19 Desember dan purnama tanggal 22 November. Jika curah hujan turun dengan lebat, diprediksi ketinggian kenangan di bagian utara Jakarta akan semakin hebat.

Dadang juga memprediksi, banjir di Januari 2008 yang akan jauh lebih besar dibanding bulan Desember, karena menurut perhitungan tanggal 2 Januari posisi bulan dan bumi akan mencapai titik terdekat dengan matahari.

Tidak Biasa

Air pasang yang terjadi baru di kawasan utara Jakarta yang membawa akibat tergenangnya sejumlah kawasan perumahan dan jalan tol bandara dinilai tidak seperti biasanya. Kepala Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Tanjung Priok, Ponco Nugroho, saat dihubungi SP, Rabu (28/11) mengatakan, dalam catatan BMG Tanjung Priok, air pasang yang terjadi Senin (26/11) siang tersebut setinggi 1,7 meter atau lebih tinggi 20 sentimeter dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Selama tiga tahun terakhir, kami mencatat secara intensif kondisi pasang surut air laut. Dua tahun sebelumnya, tinggi air pasang hanya 1,5 meter, tetapi sekarang mencapai 1,7 meter. Keadaan ini tidak pernah terjadi selama ini," katanya.

Ketika ditanya apakah kenaikan gelombang pasang ini akibat adanya kontribusi perubahan iklim global, Ponco tidak bisa memastikannya. "Kita tidak berani memastikan penyebabnya. Tapi saya kira, kondisi ini dipengaruhi fenomena astronomi biasa," tambahnya.

Sementara itu, pakar meteorologi Institut Teknologi Bandung, Armi Susandi, melalui penelitiannya tahun lalu mengungkapkan, kenaikan elevasi muka air laut Teluk Jakarta salah satu disebabkan adanya kontribusi perubahan iklim. Dalam hasil pengukuran dan proyeksi kenaikan muka laut Teluk Jakarta, Armi mengatakan air laut Teluk Jakarta naik rata-rata 57 milimeter per tahun.

Kerentanan Banjir

Saat pertemuan penanganan banjir di wilayah Jabodetabek di Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup, di Jakarta, Senin lalu, terungkap, kerentanan Jakarta terhadap bahaya banjir semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu diduga seiring dengan terjadinya perubahan iklim global. Hal itu harus diwaspadai agar dapat meminimalkan dampak banjir yang kemungkinan terjadi.

Saat banjir tahun 2002, curah hujan yang turun berkategori lebat selama lima hari berturut-turut telah membuat hampir 70 persen daratan Jakarta terendam. Tetapi, banjir Februari 2007, dengan intensitas yang hampir sama dengan waktu hanya dua atau tiga hari, dampaknya lebih besar.

Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman mengatakan, untuk mengantisipasi dampak banjir yang semakin buruk di kemudian hari, harus ada langkah-langkah antisipasi yang dilakukan semua komponen masyarakat.

"Membuat sumur resapan. Itu hal yang sederhana tetapi sangat membantu," katanya.

Menurut dia, penutupan lahan terbuka dengan bangunan-bangunan membuat laju limpasan ari hujan semakin tinggi dan mengurangi infiltrasi air hujan ke dalam tanah.

Akibatnya, selain berpotensi banjir, kapasitas air tanah semakin berkurang, yang bisa mengakibatkan krisis air bersih.

Dia berharap, setiap rumah memberi ruang untuk membangun sumur resapan, karena selain berguna untuk lingkungan sekitarnya, juga bermanfaat bagi pemilik lahan khususnya dalam ketersediaan air.

Data dari Masyarakat Air Indonesia menyebutkan, jika berpatokan pada limpasan banjir Sungai Ciliwung sebesar 160 m3/detik atau 13 juta m3/hari, maka diperlukan sekitar 25.000 sumur resapan yang masing-masing mampu menampung sekitar 500 m3/hari. [E-7]



Post Date : 29 November 2007