Diare dan Sulitnya Akses Air Bersih

Sumber:Kompas - 01 Februari 2007
Kategori:Sanitasi
Siapa yang tidak pernah terserang diare? Kebanyakan di antara kita kadang mengalaminya, namun tidak sedikit yang meremehkan penyakit ini. Padahal, kenyataannya diare itu bisa mematikan.

Data dari Departemen Kesehatan menunjukkan, dari 1.000 bayi yang lahir, 50 di antaranya meninggal dunia karena diare. Di seluruh dunia, setiap tahun 1,6 juta anak meninggal dunia karena diare. Ini artinya setiap 30 detik, satu anak meninggal dunia karena sakit perut ini.

Diare bukan sembarang sakit perut. Penyakit ini menyerang anak-anak karena mereka biasanya mengonsumsi air minum yang terkontaminasi kotoran manusia.

"Seorang anak balita di Indonesia bisa terkena diare satu- dua kali dalam setahun," kata I Wayan Widaya, Kepala Subdit Diare dan Penyakit Pencernaan Departemen Kesehatan, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh USAID-Environment Services Program (ESP) dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bagi masyarakat miskin perkotaan, air bersih adalah sesuatu yang terbilang mewah. Karena tidak bisa mengakses air bersih inilah, mereka terpaksa menggunakan air sungai untuk segala keperluan. Termasuk mandi, buang air, dan bahkan mencuci pakaian dan mencuci peralatan dapur, seperti yang dilakukan ibu-ibu di Manggarai Utara, Jakarta Selatan, yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung.

Mereka hanya membeli air untuk minum dan masak. Untuk satu ember air, mereka harus membayar Rp 1.000. Harga ini terbilang mahal bagi mereka.

Ati (29), warga RT 01 RW 12 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, setiap hari mau tidak mau terpaksa membeli air. Begitu pun Suherni, yang tinggal di gang sempit itu, selama dua tahun ini juga kesulitan mengakses akses air bersih.

Setiap hari Ati membeli satu gerobak air yang terdiri atas enam jeriken. Setiap jeriken dihargai Rp 250, sehingga untuk satu gerobak ia harus membayar Rp 1.500. Air ini ia pakai untuk mencuci pakaian, mencuci piring, memasak, minum, dan mandi. Terkadang ia mandi dan buang air besar di MCK (sarana untuk mandi, cuci, dan kakus) umum yang ada di dekat rumahnya. Setiap kali datang ke MCK, ia harus membayar Rp 500.

Suherni yang tinggal di RT 01, RW 12 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, dalam seminggu harus merogoh kocek Rp 20.000 untuk membeli air keperluan sehari-hari. Ia tidak bisa memakai air sumur karena umumnya sumur di wilayah Penjaringan agak berbau.

Warga di Penjaringan memang tidak mengakses air sungai karena sungai yang ada di sekitar mereka mampet, berwarna hitam, dan berbau sehingga sangat tidak layak untuk dipakai.

Namun, Charles Surjadi dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Atma Jaya Jakarta pernah menyaksikan warga Penjaringan menyikat gigi dengan menggunakan air yang sangat hitam. Ini terpaksa mereka lakukan karena penghasilan mereka terbatas. Bagi mereka, yang terpenting ialah konsumsi makanan. Padahal, air pun sangat berpengaruh terhadap kesehatan.

Keterbatasan lahan bagi warga yang menyewa rumah petak di wilayah Penjaringan ini memunculkan "bisnis" MCK bagi yang memiliki modal. Bahkan, seorang warga di sana punya MCK umum di lantai dasar rumahnya, sedangkan rumah tinggalnya sendiri berada di lantai atas. Dalam sehari, menurut Aziz, yang bertugas menjaga MCK umum tersebut, penghasilan rata-rata bisa Rp 60.000.

Penyebab utama diare

Hasil riset USAID-ESP yang dipaparkan oleh Nona Pooroe Utomo mengonfirmasikan bahwa perilaku kebersihan dan sanitasi yang buruk menyebabkan diare. Meski demikian, banyak orang cenderung meyakini bahwa penyebabnya adalah hal-hal yang tak terkait dengan perilaku bersih dan sanitasi. Misalnya, keracunan makanan, musim, tanda-tanda pertumbuhan bagi bayi, atau faktor-faktor klenik.

Mereka yang melihat hubungan antara kebersihan dan diare, akan melihat bahwa sampah dan lalat menjadi penyalur penularan diare yang utama. Selain air yang terkontaminasi, penyebab diare antara lain karena masyarakat tidak disiplin menerapkan perilaku bersih. Perilaku umum adalah saat mencuci tangan tidak menggunakan sabun, padahal di tangan mereka banyak kuman yang menempel. Sangat sedikit orangtua yang mengajari anaknya mencuci tangan dengan sabun, terutama di level ekonomi bawah.

Penanganan makanan yang tidak benar juga menjadi penyebab diare. Mencuci makanan mentah adalah hal yang umum dilakukan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, banyak orang melakukannya dengan cara yang tidak benar sehingga berisiko terkontaminasi bakteri kembali. Bahkan, masih ada yang tidak mau mencuci makanan menggunakan air mengalir, tetapi lebih memilih menggunakan air dalam baskom.

Faktor kognitif

Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya memiliki beberapa pilihan akses, yang digunakan secara bergantian, sebelum dialirkan ke sungai. Khusus bagi masyarakat rural dan peri-urban, meski memiliki toilet di rumah, mereka juga masih memanfaatkan "toilet terbuka", taruhlah seperti sungai atau empang. Faktor kognitif, emosi, dan ekonomilah yang menjadi dasar perilaku ini.

Sejumlah hambatan dalam sanitasi terkuak lewat studi yang dilakukan USAID-ESP. Bahwa masyarakat rural tak memiliki septic tank umumnya karena alasan ekonomi, masyarakat urban tidak menyukai septic tank karena takut terjadi kontaminasi terhadap air tanah serta tidak tersedianya layanan yang baik untuk penyedotan septic tank.

Masyarakat peri-urban menjadikan kepraktisan dan norma umum (semua orang melakukannya) sebagai alasan utama untuk menyalurkan kotorannya ke sungai. Tidak heran jika sungai-sungai di Indonesia bisa disebut sebagai "jamban raksasa" karena masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan sungai untuk buang air.

Masyarakat urban di perkotaan yang tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan besar untuk membangun septic tank. Karena itu, mereka biasanya tak memiliki jamban.

Kalau kemudian mereka memiliki sumur, umumnya banyak sumur yang tidak "berbibir" alias tak diberi pembatas semen. Kala hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa oleh air hujan masuk ke dalam sumur. Tidak heran jika kemudian banyak yang terserang diare, terutama anak-anak.

Jadi, benar kiranya pesan kunci dari Laporan Pembangunan Manusia 2006, yang menyatakan bahwa masyarakat miskin membayar lebih banyak untuk air dan tidak tersedianya sanitasi dibayar dengan kematian. Mestinya, masyarakat miskin bisa mendapatkan air gratis.... Elok Dyah Messwati



Post Date : 01 Februari 2007