Dibutuhkan IPA di Lokasi Pengungsian

Sumber:Kompas - 13 Januari 2005
Kategori:Air Minum
Jakarta, Kompas - Bantuan terhadap korban gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara terus mengalir. Akan tetapi, belum banyak muncul bantuan -terutama di NAD-yang mendukung ketersediaan air bersih dalam kapasitas besar di lokasi-lokasi pengungsian.

Hingga kini, kebutuhan air bersih para pengungsi masih disuplai lewat truk-truk tangki dan belum mencukupi kebutuhan ideal penduduk.

Di Kabupaten Meulaboh, delapan truk tangki air berkapasitas 5.000 liter setiap hari mendatangi 13 lokasi pengungsian hingga 30 trip. Air bersumber dari sumur bor berkapasitas 5 liter per detik yang lolos dari bencana. Di Aceh Barat, palang merah Spanyol membangun empat pengolah air mini berkapasitas 300 liter per jam konsumsi siap minum.

Bantuan juga datang dari instansi pemerintah, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Sumatera Utara, Medan. Hampir semuanya dipusatkan di kawasan Meulaboh dan Banda Aceh. "Jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan ideal. Kami membutuhkan instalasi pengolah air (IPA) di lokasi pengungsian," kata Koordinator Tim Teknis Rehabilitasi Instalasi Produksi dan Jaringan Pipa serta Penyaluran Air Bersih untuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Azhari Ali di Jakarta, Rabu (12/1).

Kekurangan air bersih dikhawatirkan dapat memperburuk kesehatan lingkungan dan penduduk, terutama yang berkaitan dengan aktivitas memasak, mandi, dan buang air besar atau kecil.

Menurut Azhari yang juga Direktur PDAM Aceh Utara, sebagian besar jaringan pipa air dari Aceh Utara, Banda Aceh, hingga pesisir Barat Aceh, seperti Meulaboh, hancur. Begitu pula PDAM dan IPA di kawasan yang sama.

Ketersediaan air pun kritis. Sebagai contoh, debit air eksis pascatsunami untuk mencukupi kebutuhan penduduk Meulaboh tinggal 5 liter per detik karena instalasi produksinya hancur. Sebelumnya, mencapai 80 liter per detik. "Sekarang bahan kimia pengolahan air bersih tinggal untuk tiga hari," kata Azhari.

Berdasarkan catatan Departemen Pekerjaan Umum (PU), sebelum diterjang gelombang tsunami, 26 Desember 2004, Banda Aceh dialiri air bersih berkekuatan 439 liter per detik, setara dengan 28.000 sambungan rumah. Tsunami menghancurkan 17.000 sambungan.

Berkaitan dengan itu, Asosiasi Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) berkoordinasi dengan Departemen PU bergabung untuk membantu mengatasi persoalan ketersediaan air bersih.

Ketua Umum IATPI Ir Poedjastanto CES DEA mengatakan, pihaknya mengirim sejumlah relawan untuk diperbantukan mengoperasikan IPA yang rusak. Mereka juga membawa sepuluh IPA portabel berkapasitas 250 liter per jam. Semuanya tersebar di Indrapuri dan Lambaro, Banda Aceh.

Menurut rencana, beberapa relawan dengan tugas sama akan dikirim ke Meulaboh pada 16 Januari 2005. Selain memfungsikan instalasi air bersih, mereka juga mengidentifikasi persoalan untuk rencana rehabilitasi dan rekonstruksi.

Kapasitas besar

Bantuan IPA berkapasitas 4.000 liter per jam digagas Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Jakarta. Kapasitas itu dapat mencukupi 3.000 orang per hari dengan kebutuhan rata-rata 30 liter per orang.

Menurut salah satu penggagasnya, Muhtadi Sjadzali, teknologi pengolahan air bersih yang dirancang merupakan mobile treatment system bertenaga generator berbahan bakar bensin 50 liter per hari. Instalasi dapat beroperasi 22 jam per hari. "Pengoperasiannya juga mudah," kata dia.

Perangkat tersebut difungsikan untuk mengolah air sungai, sumur, atau rawa. Setelah diolah menggunakan bahan kimia, keluaran air bersih pun siap didistribusikan. "Pekan ini kami akan uji coba satu unit dulu," kata dia.

Biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 280 juta per unit untuk enam bulan operasi. Jumlah itu termasuk biaya bahan bakar, gaji operator, dan bahan kimia enam bulan, kecuali biaya angkut ke NAD. (GSA)



Post Date : 13 Januari 2005