DKI Bisa Jadi Lautan Sampah

Sumber:Koran Jakarta - 30 September 2009
Kategori:Sampah Jakarta

JAKARTA , Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mengalami kerugian sebesar 800 miliar rupiah per tahun akibat sampah yang dihasilkan rumah tangga dan industri. Kerugian tersebut hanya dihitung dari dampak segi sanitasi saja.

Demikian dikemukakan pakar teknologi lingkungan dari Universitas Indonesia Firdaus Ali dalam talkshow “Sarat Pencakar Langit, Jakarta Tak Miliki Tempat Pembuangan Akhir Sampah” di Mayapada Tower, Jakarta, Selasa (29/9).

Kerugian itu ditimbulkan dari sampah yang dibuang ke sungai sehingga mengakibatkan Jakarta tidak memiliki sumber air untuk air minum. “Hanya Sungai Krukut di Cilandak yang masih dipakai untuk sumber air minum, selebihya dari Jatiluhur,” tambah Firdaus.

“Dari tercemarnya air minum, banyak warga di Jakarta beralih mengonsumsi air pabrikan.

Kondisi ini memaksa mereka mengeluarkan dana lebih karena harus berlangganan air dari perusahaan pemerintah. “Firdaus mengatakan hasil penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) peningkatan sampah di Jakarta per tahunnya mencapai 5 persen atau 337 ton.

“Saat ini sampah per harinya di Jakarta telah mencapai 6.736 ton atau 26.945 meter kubik. Jumlah sampah Jakarta selama dua hari bisa mengubur candi Borobudur,” terangnya.

Selama ini, penanganan sampah hanya pada proses mengumpulkan, mengangkut, dan menimbun di TPA Bantar Gebang, Bekasi.

Dari segi armada dari total 850 armada truk hanya 50 persennya saja yang beroperasi. Akibatnya setiap hari tersisa 3,5 persen sampah tidak terangkut yang berada di saluran air dan sungai-sungai.

Tiga Tahun Lagi

Maryanto dari LSM Outreach Service Dana Mitra Lingkungan mengatakan kapasitas Bantar Gebang akan semakin turun dan hanya bisa menampung sampah hingga tiga tahun ke depan.

Dengan lahan di Jakarta yang terbatas dan tergantung dengan daerah sekitar, bukan tidak mungkin suatu saat Jakarta akan kebanjiran sampah.

“Makanya mereka (Dinas Kebersihan) membuka TPA baru di Ciangir,Tangerang,” ujarnya.

Sampah yang terus menumpuk dan tidak bisa dikurangi di Bantar Gebang, menurutnya, karena proses sanitary landfill di sana tidak berjalan. Proses sanitary landfill memerlukan tanah untuk menutup sampah organik.

“Namun kenyataannya sampah organik dan non-organik seperti plastik tercampur dan tanah hasil tumpukan itu tidak bisa digunakan untuk menanam tanaman,” jelasnya.

Ia mengharapakan pola penanganan sampah sudah berada pada tahap reduce, reuse, dan recycle. Ia mengatakan dalam Undang-Undang Persampahan Nomor 18 Tahun 2008 diuraikan harus ada pemilahan sampah sejak dari sumber atau rumah tangga.

Kemudian sampah harus diolah di sumber dan atau di TPS (tempat pembuangan sementara) untuk dimanfaatkan, dan sampah di TPA harus diproses agar ramah lingkungan. “Hal itu belum dilaksanakan di Jakarta,” ujarnya.

Kepedulian masyarakat yang rendah dan partisipasi produsen produk berkemasan yang rendah juga turut menyumbang masalah sampah.

Sikap masyarakat terhadap sampah ini, dalam pandangan Maryanto, dibagi dalam empat kelas. Yaitu, kelas nol, masyarakat yang sama sekali tidak peduli sampah dan membuang sembarangan.

Masyarakat kelas satu, yaitu yang sudah peduli sampah dan membuang pada tempatnya.

Kelas dua, masyarakat yang mau memilah sampah dan masyarakat kelas tiga, yang mampu memilah dan memanfaatkan sampah. “Di Jakarta yang kelas tiga itu masih sedikit, mungkin baru satu persen,” ujarnya.

Kepala Dinas Kebersihan Eko Bahruna menyatakan dalam waktu satu tahun ke depan Bantar Gebang tidak akan memiliki gunungan sampah lagi. Karena Dinas Kebersihan akan mengolah sampah menjadi kompos dan mengubah menjadi tenaga listrik.

Ia juga menyalahkan warga atas banyaknya sampah yang menggenangi sungai dan pinggir jalan.

“Masyarakat turut menyumbang masalah sampah ini,” ujarnya. Untuk itu, jelas Eko, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 ini akan ada kejelasan tugas warga dan pemerintah dalam pengelolaan sampah. wan/M-3



Post Date : 30 September 2009