Dosen Pengagas Lubang Resapan Biopori Yang Kontroversial

Sumber:Majalah Air Minum - 01 Maret 2008
Kategori:Air Minum

Ir. Kamir  R Brata, M.Sc. mengundang kontroversi dengan anjurannya kepada masyarakat untuk membuat lubang resapan biopori guna mengatasi masalah lingkungan, khususnya menyangkut sampah, konservasi tanah, dan resapan air. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menolak gagasan tersebut, tetapi di sisi lain banyak pula yang menerimanya dengan mempraktekkannya sendiri di lingkungan mereka.

Di lingkungan ilmuwan sendiri gagasan itu masih banyak mendapat tentangan, termasuk dari dosen pembimbingnya sendiri dalam rangka penyusunan disertasi untuk meraih gelar doktor. Dalam wawancara dengan Majalah Air Minum baru-baru ini ia mengatakan antara lain, "Saya dibenci orang-orang, dituduh aneh-aneh. Padahal ini adalah hasil penelitian untuk disertasi saya. Pembimbing saya pun jadi bosan, sampai saya resign (mundur - Red) saja."

Diungkapkannya, banyak pula di antara penentangnya yang mengatakan, seakan-akan dirinya mau menang sendiri dengan gagasan itu. Tetapi katanya, tanpa hendak mengecilkan arti sumur resapan biasa yang dianjurkan oleh pemerintah, ia sudah melakukan kalkulasi, bahwa lubang resapan biopori yang dianjurkannya itu mempunyai daya yang 40 kali lebih besar dari sumur resapan biasa. Selain itu, dari segi pemakaian lahan pun, jauh lebih efisien karena tidak memerlukan lahan yang luas, cukup membuat lubang diameter 10 cm dengan kedalaman maksimum 1 meter menyebar di pekarangan yang tersedia.

Namun sebaliknya menurut Kamir yang dosen ilmu tanah, air dan konservasi lahan Fakultas Pertanian IPB (Institut Pertanian Bogor), banyak juga yang menyayangkan kenapa masalah ini tidak dimasukkan dalam disertasinya.

Sewaktu ditanya apakah telah banyak yang menerima gagasannya itu, ia balik bertanya, "Pengakuan dari siapa? Paling-paling dari mereka yang sudah melakukannya."

Yang jelas, memang sudah banyak yang membuat lubang-lubang resapan biopori di berbagai tempat, termasuk ribuan di Kota Bogor, di Jakarta, Bandung dan entah di mana lagi. Sampai-sampai di seputar Istana Jakarta pun, ia bersama salah seorang ilmuwan dari Yogyakarta meneliti apakah bisa membuat lubang-lubang resapan biopori tersebut. Sayang katanya, di seputar Istana, sewaktu dilakukan penggalian, antara 20 hingga 30 cm sudah ada air. "Bagaimana mau meresapkan air lagi?" tanyanya. Lalu ia mengatakan, bahwa di seputar DKI Jakarta, barangkali lubang resapan biopori yang dianjurkannya itu tidak perlu sedalam 1 meter.

Di tempat-tempat yang permukaan air tanahnya agak dalam, lubang resapan biopori yang dianjurkan itu dalamnya maksimum 1 meter dengan diameter 10 cm.

Dapat pula disebutkan, bulan April 2007 ada 3.000 mahasiswa IPB dengan sukarela ikut membantu penduduk Kota Bogor membuat lubang-lubang resapan biopori. Tak kurang dari 5.250 lubang resapan biopori yang dibuat pada hari itu, di antaranya di kawasan Sempur dekat Kebun Raya Bogor.

Ilmuwan IPB yang mendalami ilmu tanah tersebut tampak kukuh pada pendiriannya. Yakin akan kebenaran hasil penelitiannya itu, ia bertekad akan terus mengampanyekannya agar sebanyak mungkin orang menerapkannya, setidak-tidaknya di tempat mereka masing-masing, sehingga semakin banyak air yang dapat meresap ke dalam tanah.

Betapa serius ia dengan gagasannya itu, dapat misalnya dilihat saat menerima wartawan Majalah Air Minum. la berjanji memberi waktu satu jam wawancara. Nyatanya, wawancara itu menghabiskan waktu hampir dua jam. Itu pun sudah mundur satu jam karena gangguan hujan deras dan kemacetan lalu lintas yang parah menuju kampusnya di kawasan Darmaga, Bogor bagian barat.

Usai wawancara, ia masih menyempatkan diri menunjukkan aliran air hujan di pekarangan yang terdapat di depan ruang kerjanya, yang dibuatkan alur, dan di sepanjang alur yang mengelilingi pekarangan yang tak terlalu luas itu, dibuatkan lubang-lubang resapan biopori. Air memang tidak mengalir ke mana-mana, melainkan meresap ke tanah melalui lubang-lubang resapan biopori tersebut.

Kamir yang lahir di Cirebon tahun 1948 berasal dari keluarga petani. Katanya, orang tuanya bukan petani yang memiliki cukup tanah, karena itu terpaksa harus rela mengerjakan tanah orang lain demi kehidupan mereka sekeluarga. Justru karena kehidupan sebagai anak petani itulah ia memilih masuk ke IPB tahun 1968. Dan lagi-lagi karena pentingnya tanah bagi petani, ia merasa perlu mendalami ilmu tanah untuk kelak dapat diabdikan.

Begitulah, salah satu yang ia mau abdikan setelah mereguk banyak pengetahuan tentang tanah, mulai dari yang ia dapatkan di kampusnya, dari kepustakaan, dari universitas di Australia sewaktu mengejar gelar S2, termasuk dari pengalaman para ahli tanah di Amerika Serikat, adalah hasil penelitiannya tersebut yang menjurus pada pembuatan lubang resapan biopori.

Berpikir Keras

Sudah menjadi pengetahuan umum, hutan semakin menipis luasnya. Tanah terbuka pun, tempat air dapat meresap ke dalam tanah semakin sempit karena pembangunan rumah, gedung, jalan raya, bandar udara den sebagainya. Padahal katanya, hanya kawasan hutan yang mampu meresapkan air dengan seutuhnya.

Dalam kondisi seperti itu, semakin sedikit air yang meresap ke dalam tanah. Kata Kamir, akibatnya ada yang hilang. Di satu sisi, ada tanah yang terkikis oleh air hujan hanyut ke sungai. Termasuk bermacam unsur yang ada di dalamnya, yang berfungsi menyuburkan tanah. Maka kesuburan tanah pun sangat berkurang. Di sisi lain, karena semakin sedikit air yang meresap ke dalam tanah, makhluk-makhluk yang hidup di dalam tanah, mulai dari yang dapat dilihat mata seperti cacing maupun yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, yang disebut mikroba atau renik-renik, tidak dapat beranak-pinak. Akibat lebih jauh dari semakin langkanya air masuk ke dalam tanah, ruang-ruang atau pori-pori yang tadinya banyak terdapat di dalam tanah menjadi hilang. Dan ini dengan sendirinya menyebabkan penurunan tanah seperti misalnya dapat disaksikan terjadi di bandara, di jalan tol menuju Bandara Sukarno-Hatta, jalan jalan raya, lapangan-lapangan parkir dan sebagainya.

Kejadian seperti itu menurut Ir. Kamir bukan tidak mungkin bisa terjadi pada rumah siapa saja. Syukur-syukur kalau penurunan tanahnya merata. Tetapi biasanya penurunan tanah tidak merata, maka akan terjadilah retakan-retakan bangunan di sana-sini seperti yang sering ditemukan di lapangan-lapangan parkir atau jalan raya.

Maka menurut Kamir, adalah keharusan bagi kita untuk berpikir clan berupaya keras agar meresapkan air ke dalam tanah.

Ini juga katanya berkaitan dengan kekhawatiran dunia akhir-akhir ini akan krisis air yang sudah mulai terasa akibat pemanasan global dan perubahan iklim.

Perubahan iklim sendiri menyebabkan curah hujan cenderung tinggi, dan ini menimbulkan bahaya banjir. Menghadapi ini katanya, Amerika Serikat sebagai contoh, membuat banyak terowongan bawah tanah yang disebut deep tunnel. Tetapi dalam hal ini, air hujan yang ditampung dalam terowongan itu bercampur dengan air comberan. Itulah yang kemudian digunakan sebagai bahan baku air minum, yang tentu memakan ongkos tinggi untuk mengolahnya. Bukan hanya dari segi ongkosnya yang jadi masalah, cara ini menurut Kamir juga berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.

Maka pertanyaannya, apa yang dapat kita lakukan untuk menghadapinya?
Jawabannya, meresapkan air hujan ke dalam tanah.

Dalam pada itu, drainase yang selama ini kita kenal menurut Kamir, agaknya tidak boleh lagi dibuat secara merata. Harus dipilah-pilah, mana jenis tanah yang memerlukan drainase, dan mana yang tidak boleh lagi dibuat drainase.

Keanekaragaman Hayati

Kamir dalam pada itu menyoroti banyak ahli lingkungan hidup yang sering menyebut-nyebut keanekaragaman hayati, tetapi tidak secara utuh. Ekosistem menurut ilmuwan ini pada hakikatnya adalah keterkaitan antara apa yang hidup dengan yang mati. Yang hidup di atas tanah, dapat menangkap sinar matahari dan menyerap air dari tanah, lalu mengubahnya jadi energi. Karena sinar matahari tidak dapat menembus ke dalam tanah, maka tidak ada yang mungkin membuat oksigen di dalam tanah. Padahal organisme yang hidup di dalam tanah itu memerlukan oksigen pula untuk dapat hidup dan berkembang seperti yang terjadi di kawasan hutan. Maka tidak bisa tidak, kita harus mencari upaya tambahan untuk meresapkan air ke dalam tanah karena air juga mengandung oksigen. Karena sudah menjadi anugerah Tuhan, di mana ada air di situ ada kehidupan.

Jadi, kata Kamir, kalau mau bicara soal keanekaragaman hayati, haruslah seutuhnya. Tidak hanya menyangkut yang hidup di atas tanah, tetapi juga meliputi kehidupan yang ada di dalam tanah.

Sayangnya, katanya lagi, manusia pada umumnya, terutama ibu-ibu, melihat cacing saja merasa takut dan jijik. Kalau kecenderungan seperti itu dibiarkan terus, bagairnana nanti anak-cucu kita tidak ikut-ikutan membenci cacing? Padahal telah menjadi keyakinan kita semua, segala yang terdapat di bumi ini adalah makhluk ciptaan Tuhan, dan tidak ada satu pun di antaranya yang tidak berguna.

Jadi keanekaragaman hayati itu juga meliputi makhlukrnakhluk yang ada di dalam tanah, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Mereka itu perlu makanan, dan juga perlu rumah alias lubang-lubang atau terowongan yang cukup sehingga mereka dapat bergerak, dapat makan, dapat beraktivitas dan berkembang biak.

Terowongan-terowongan itulah yang disebut sebagai biopori. Dan itu akan dibentuk sendiri oleh rnakhluk-makhluk di bawah tanah itu bila mereka diberi cukup air dan makanan. Terowongan-terowongan biopori itu, selain sebagai rumah bagi makhluk-makhluk bawah tanah, sekaligus juga berfungsi sebagai terowongan bagi air.

Kewajiban Moral

Masih dalam kaitan perlunya peresapan air ke dalam tanah, ada teori yang menyatakan, bahwa setiap kapling umpamanya kalau mau dibangun harus disisakan 30% untuk peresapan air.

Menurut Kamir, teori tersebut tidak dapat lagi diandalkan. Alasannya, sepanjang tanah mendapat sinar matahari, lahanlahan terbuka tersebut akan ditumbuhi oleh lumut, dan lumut itu akan menutupi permukaan tanah sehingga menyulitkan air meresap. Jadi harus ada upaya ekstra agar air hujan dapat masuk ke dalam tanah, tidak terbuang begitu saja. Ini merupakan suatu kewajiban moral kalau kita mencita-citakan lingkungan hidup yang sehat.

Begitu pula dengan masalah sampah. "Kita kan tidak mau orang lain membuang sampah ke tempat kita? Maka adalah pula kewajiban moral kita, bahwa kita tidak boleh membuang sampah ke tempat orang lain," ujarnya.

"Nah dalam rangka tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan hidup yang nyaman, maukah kita memakai tempat kita untuk pembuangan itu?" tanyanya.

Tanpa tanggung jawab moral itu katanya, maka manusia bisa kena musibah terus-menerus. Saat air hujan turun deras, maka tempat-tempat yang lebih rendah pasti akan kebanjiran. Banjir akan membawa pula sampah dan segala macam kotoran. Ada air kiriman, dan air itu membawa sampah dan kotoran.

Nah, lubang-lubang resapan biopori itu juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah organik. Sisa-sisa makanan, bahkan bangkai tikus sekali pun dapat dibuang ke situ, yang kelak akan disantap oleh renik-renik dan makhluk-makhluk hidup bawah tanah lainnya. Sampah-sampah organik itu kelak akan diubah menjadi kompos, pukup yang bermanfaat untuk tanaman bunga umpamanya.

la menjamin, sampah yang dibuang ke dalam lubang resapan biopori itu tidak akan menebarkan bau ke mana-mana. Ini telah diujinya sendiri di tempatnya.

Hasil pemikiran kerasnya juga menyimpulkan, kita sadar diri bahwa di bawah bangunan kita ada tanah, dan perlu memasukkan air ke dalamnya. Kita hanya memerlukan pembongkaran kecil, karena tidak mungkin melakukan pembongkaran besar. Dengan pembongkaran kecil, kita dapat membuat lubang diameter 10 cm dengan kedalaman maksimum 100 cm.

Pembuatan lubang resapan biopori ini pada hakikatnya sama dengan memperluas permukaan tanah sebagai pintu bagi air untuk lewat dan meresap ke dalam tanah. Hanya saja permukaan tanah yang dimaksud adalah perrnukaan tanah vertikal. Dari segi pemakaian lahan, jauh lebih efisien dan daya resapnya 40 kali lebih besar dari sumur resapan biasa.

Dalam perhitungannya, ada yang ia sebut sebagai beban resapan, yakni volume dibagi luas permukaan yang bisa meresapkan. Sebuah lubang resapan dengan ukuran 10 cm (diamater) dengan kedalaman 100 cm memiliki beban resapan 25 liter per meter persegi.

Dibandingkan dengan sumur biasa yang memiliki beban resapan 250 liter per meter persegi, beban resapan lubang resapan biopori jauh lebih ringan, 1:10 karena pada sumur, yang umumnya dindingnya disemen supaya tidak longsor, jauh lebih banyak air yang "antre" untuk meresap.

Sumur resapan seperti yang dianjurkan pemerintah menurut Kamir, beban resapannya pun lebih besar dari beban resapan sumur biasa, karena di dalamnya selain air yang masuk, terdapat pula kerikil dan ijuk yang dianjurkan ditaruh di dalamnya. Jadi secara logika maupun ilmiah dapat dibuktikan, bahwa sumur resapan biopori jauh lebih unggul.
Ia juga menunjukkan kelemahan lain dari sumur resapan, yakni air yang mengalir ke situ biasanya air keruh yang mengandung tanah-tanah halus, dan tanah halus ini akan menutup pori-pori permukaan tanah pada sumur resapan itu.
Dalam hal inilah Kamir mempertanyakan tidakkah metode-metode yang lama itu perlu diubah dengan cara lain?

Tetapi katanya lagi, "Ada orang mengatakan, 'mau menang sendiri'."

Yang penting, katanya menambahkan, kita perlu menyediakan cara yang akrab lingkungan.

Tidak salah memang. Kalau kita sungguh-sungguh prihatin dengan pemanasan global dan perubahan iklim serta kesadaran bahwa semakin banyak lahan telah beralih fungsi, maka apa yang ditawarkan Pak Kamir adalah sesuatu yang perlu kita lakukan. Satu rumah katanya memerlukan antara 10 hingga 20 buah lubang resapan biopori. Dan untuk Kota Jakarta, perlu dibuat 76 juta.  Victor Sihite



Post Date : 01 Maret 2008