Drainase Bandung Tak Memadai

Sumber:Kompas - 16 November 2009
Kategori:Drainase

Bandung, Kompas - Infrastruktur drainase Kota Bandung sudah tidak memadai sehingga perlu dibangun ulang. Langkah ini perlu dibarengi dengan kebijakan mempertahankan daerah tangkapan air.

Hal itu diungkapkan planolog dari Institut Teknologi Bandung, Andi Oetomo, dan ahli hidrologi dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, secara terpisah, Minggu (15/11) di Bandung.

Andi dan Chay mengatakan, drainase Kota Bandung yang dibangun Belanda pada zaman penjajahan tidak lagi memadai untuk Kota Bandung saat ini. Salah satu penyebabnya, jumlah warga Bandung terus bertambah dan menyebar. "Dulu kan Bandung dirancang untuk sekitar 500.000 penduduk. Sekarang jumlahnya sudah 2 jutaan jiwa," kata Chay.

Menurut Chay, dulu drainase Kota Bandung menggunakan sistem drainase sawah dan balong (kolam). Air hujan yang tidak terserap pohon mengalir ke sawah dan balong di daerah Dayeuhkolot, Arcamanik, dan daerah di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta.

Saat ini, lanjutnya, daerah-daerah tersebut telah berubah menjadi permukiman dan banyak lahan dibeton sehingga tidak dapat menyerap air. "Sekarang ini saat curah hujan normal saja sudah banjir cileuncang di mana-mana. Makanya, sistem drainase harus diubah dari drainase persawahan menjadi drainase perkotaan," ujar Chay.

Andi sependapat dengan Chay. Dengan bertambahnya penduduk, tempat penampungan air hujan, seperti Situ Aksan, Rancaekek, dan Sekelimus ikut hilang.

Menurut dia, Pemerintah Kota Bandung harus menghitung ulang jaringan drainase dari Bandung utara sampai Bandung selatan untuk mengetahui kekurangan dan kerusakan jaringan. Sebab, sejak zaman Belanda, jaringan drainase Kota Bandung belum banyak bertambah serta banyak yang kondisinya memprihatinkan. Di beberapa titik, bukan air hujan yang masuk ke selokan, melainkan air dari selokan yang meluap ke jalan.

Bila memungkinkan, lanjutnya, jaringan drainase dibangun ulang. Ini memang butuh waktu lama. Untuk studi ilmiahnya saja dibutuhkan waktu setahun, sementara pembangunannya bisa lebih dari dua tahun. "Namun bila dilakukan sejak sekarang, cileuncang lebih cepat tertangani," ujarnya.

Bagi Andi, langkah tersebut perlu dibarengi dengan upaya mempertahankan daerah tangkapan air di Bandung utara. Dalam konteks ini, dia menyarankan agar Pemkot Bandung menghentikan pembangunan di Bandung utara. Alasannya, ketika kawasan Bandung utara dibangun, banjir di Kota Bandung makin parah.

65 titik

Sementara itu, Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Rusjaf Adimenggala mengatakan, di Kota Bandung setidaknya terdapat 65 titik rawan cileuncang. Penyebabnya, antara lain, saluran yang tersumbat sampah, kapasitas gorong-gorong yang tidak memadai, penyempitan sungai, dan pendangkalan selokan. "Bila warga tidak membuang sampah, saya yakin cileuncang tidak akan separah saat ini," ungkapnya.

Rusjaf mengatakan, saat ini belum memungkinkan untuk membangun ulang drainase karena keterbatasan dana. Pihaknya memaksimalkan fungsi drainase dengan pengerukan, normalisasi gorong-gorong, dan pengawasan drainase. (MHF)



Post Date : 16 November 2009