Gambut Tetap Diolah

Sumber:Kompas - 09 Desember 2009
Kategori:Climate

Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia mengantisipasi kemungkinan menerima kritik tajam terkait pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark.

Sementara itu, pengetahuan lokal dinyatakan akan bisa berkontribusi dan akan bersentuhan jika skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emission from deforestation and forest degradation/REDD) diterapkan sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dari data Global Climate Risk Index 2010 yang dirilis German Watch di sela-sela konferensi di Kopenhagen, Indonesia tidak masuk tiga besar negara paling rentan terkena dampak perubahan iklim.

Isu internasional

Menurut Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian pada Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Irsal Las, Selasa (8/12) di Jakarta, langkah antisipasi terhadap kritik itu perlu dilakukan agar Indonesia bisa terus membangun pertanian yang lestari. ”Jangan sampai kritik itu terus merugikan pembangunan pertanian kita,” katanya.

Menurut Irsal, dalam nomenklatur Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), lahan gambut dikelompokkan dalam lahan basah (wet land) sehingga tidak menjadi isu utama dalam teks negosiasi. ”Namun, pengembangan kelapa sawit di lahan gambut menjadi isu internasional,” katanya. Lahan gambut yang diolah melepas CO ke atmosfer dalam jumlah besar.

Pemerintah tetap akan memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian, terutama untuk kelapa sawit dan pangan serta hutan tanaman industri (HTI), tetapi dilakukan secara selektif dengan mengacu Peraturan Menteri Pertanian No 14/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Itu diikuti pengembangan teknologi yang tepat dan ramah lingkungan, guna menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Terkait dampaknya, pemerintah akan melakukan penelitian dan kajian mendalam, antara lain, melakukan identifikasi dan pemetaan lahan gambut potensial, pengembangan teknologi adaptif, serta konservasi lahan gambut. Dengan memperhitungkan lahan gambut, Indonesia pernah didudukkan sebagai emiter karbon nomor tiga terbesar.

Sementara itu, dikatakan, pengetahuan lokal masyarakat adat diakui akan berkontribusi banyak, terutama tentang sumber daya hayati. Rekomendasi agar pemerintah melindungi pengetahuan lokal ini diberikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui sebuah lokakarya di Jakarta pekan lalu.

Masyarakat adat mendesak pemerintah melindungi pengetahuan lokal dan mempersiapkan mereka sebagai bagian dari program pengurangan emisi gas rumah kaca dalam skema REDD jika skema ini disepakati secara global. ”Program ini melindungi hutan untuk mengurangi emisi. Itu akan banyak bersentuhan dengan pengetahuan lokal,” kata Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Henry Bastaman, kemarin.

Ada kejutan

Ketua DELRI (Negosiasi), yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar tentang suasana negosiasi di konferensi menegaskan, ”Suasana emosi para pihak terlihat sangat optimistis, seperti di Bali, saya yakin di Kopenhagen akan ada kejutan.”

Ada dua masalah, yaitu belum sepahamnya para pihak tentang dimensi waktu dan siapa yang harus mulai lebih dahulu mengurangi emisi GRK. ”Delegasi RI yakin bisa berperan menjembatani tercapainya benang merah berbagai kepentingan, terutama antara negara maju dan berkembang,” katanya.

Adapun tentang kerentanan pada dampak perubahan iklim, tiga besar teratas ialah Banglades, Myanmar, dan Honduras. Tingkat kerentanan diperhitungkan dari cuaca ekstrem 1990-2008. Tahun 2008 Myanmar tertinggi. Indonesia pernah berada di posisi ketiga pada tahun 2007.

”Ancaman cuaca ekstrem terus meningkat sepanjang tahun dan mengancam kehidupan di seluruh dunia,” kata penulis Index pada German Watch, Sven Harmeling. Kian seringnya cuaca ekstrem memunculkan kekhawatiran semakin banyak manusia harus mengungsi, kehilangan rumah, keluarga, dan budayanya. Kemampuan adaptasi perubahan iklim negara berkembang, menuju berkembang, dan miskin tergolong rendah.

”Adalah tugas negara-negara maju mengimplementasikan pendanaan adaptasi bagi negara-negara berkembang. Harus ada skema global yang kuat,” kata Direktur Politik German Watch Christoph Bals. (Gesit Ariyanto dari Kopenhagen, Denmark/ MAS/NAW)



Post Date : 09 Desember 2009