Hak Atas Akses Sumber Daya Air Bagi Masyarakat di Jogjakarta

Sumber:Walhi Yogyakarta - 05 Mei 2006
Kategori:Air Minum
Secara umum, air adalah sesuatu yang sulit untuk disubtitusi, meski oleh produk-produk modern yang berbentuk cairan sekalipun seperti soft drink, juice atau lain sebagai. Air tetap saja memiliki tempat tertentu dalam siklus human needs, yang sulit untuk terganti. Air merupakan sesuatu yang vital bagi kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan akan air, adalah pemenuhan terhadap kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup manusia, dan karena kebutuhan dasar merupakan Hak Asasi Manusia, maka pemenuhan kebutuhan akan air adalah pemenuhan atas hak asasi manusia.

Kesadaran akan hal ini, sejak awal telah diadopsi dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaanya dijamin konstitusi, yakni pada pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dengan kata lain, sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan dasar, termasuk air, dijamin dalam konstitusi negara Indonesia, sebagai sebuah kontrak sosial antara pemerintah dan warganegara.

Penyediaan kebutuhan dasar juga dipertegas pada level global. Pada November 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar "a fundamental rigth". Disebutkan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan tidak hanya komoditi ekonomi. Komite ini menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional Untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses pada air secara setara tanpa diskriminasi.

Ironisnya, pemenuhan atau penyediaan kebutuhan dasar akan air, dari waktu ke waktu terus mengalami tekanan. Di Yogyakarta, beberapa faktor seperti berkurangnya wilayah tangkapan air (cathment area) di wilayah hulu akibat tingginya alih fungsi lahan dan berkurangnya jumlah mata air membawa dampak bagi berkurangnya debit air yang bisa diakses untuk pemenuhan kebutuhan dasar itu. Apalagi privatisasi air oleh BUMD dan perusahaan swasta ikut menguasai beberapa mati air yang tersisa. Mata air tidak lagi bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat disekitarnya seperti dulu.

Permasalahan yang terjadi di Umbul Wadon, adalah sebuah contoh kongkrit dari semakin sulitnya akses masyarakat atas air akibat privatisasi. Meski ada kesepakatan antara masyarakat dengan pelaku privatisasi tentang pembagian penggunaan air dari Umbul Wadon dalam besaran tertentu, tetap saja kepentingan masyarakat untuk dipenuhi kebutuhannya akan air selalu dikalahkan. Fakta-fakta seperti debit air untuk irigasi masyarakat tiba-tiba mengecil dan volume air untuk pelaku privatisasi menjadi over standart bukan lagi hal baru. Penggunaan mata air umbul wadon berkali-kali harus ditertibkan karena berbagai konflik yang muncul antara masyarakat dan pelaku privatisasi.

Tidak hanya di wilayah hulu, didaerah perkotaan Yogyakarta, keberadaan air juga ikut mengalami tekanan. Dari tiga sungai yang melintas dikota Yogyakarta, yaitu sungai Winongo, Code dan Gajah Wong, kalau diamati dengan cermat, kita akan menemukan bahwa pengelolaan ditiga sungai ini, cukup memprihatikan. Taludtisasi dengan memakai beton, sangat mendominasi daerah aliran sungai-sungai ini di wilayah kota. Penggunaan talud terhadap badan sungai justru menyebabkan kecepatan arus air bertambah tinggi sehingga banjir akan banyak terjadi didaerah hulu dan mata air disekitarnya menjadi mati akibat betonisasi dan rendahnya resapan air ke tanah.

Tekanan juga terjadi atas kualitas air. Air sungai sebagai salah satu sumber air masyarakat menjadi terganggu, ketika air sungai tercemar sampah dan limbah dari industri, hotel serta rumah sakit yang dibuang ke sungai. Pengujian laboratorium beberapa instansi terkait menunjukan bahwa kualitas air sungai di perkotaaan Yogyakarta sudah sangat memprihatinkan dan tidak layak untuk di konsumsi. Sungai dengan kualitas air terburuk adalah sungai Code, karena bakteri Coliform Tinja terdeteksi paling tinggi dan kadungan oksingen terlarut paling rendah. Disusul sungai Gajah Wong dan sungai Winongo. Tidak jauh berbeda dari air sungai, pencemaran air tanah di Yogyakarta juga cukup memprihatinkan. Diwilayah kecamatan yang padat penduduknya, seperti kecamatan Kota Gede dan Gondokusuman, kandungan Nitrat dan Coliform Tinja dalam air tanah cukup tinggi. Kandungan Besi dan Mangan yang melebihi syarat, tersebar dibeberapa wilayah kecamatan, antara lain kecamatan Danurejan, Gondokusuman dan Umbulharjo.

Fakta-fakta bahwa wilayah tangkapan air terus berkurang, akses masyarakat atas mata air terganggu oleh privatisasi, sungai dan air tanah diperkotaan Yogyakarta tercemar, menyadarkan kita bahwa kondisi dimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhan airnya dengan mudah kini telah berubah. Air tidak lagi sebatas sumur dipekarangan rumah masyarakat, tidak lagi sebatas sungai atau mata air diujung desa. Kebutuhan akan air adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan setiap bulannya, akses atas air adalah sejumlah kertas yang harus ditandatangani sebagai sebuah kesepakatan. Sadar bahwa tidak semua masyarakat memiliki akses yang sama atas uang dalam jumlah tertentu dan bahwa konflik akan penggunaan air tetap saja terjadi meski telah ada kesepakatan, maka dengan prihatin harus diakui bahwa pemenuhan hak atas akses masyarakat akan air kini terancam, oleh logika uang dan logika pasar. Sebuah ancaman yang seharusnya disikapi bersama, karena akses masyarakat atas air adalah hak asasi, ancaman terhadap hal ini, berarti adalah ancaman terhadap hak asasi manusia.

Mengingat bahwa jaminan akses masyarakat atas air dijamin dalam UUD 1945 dan bahwa kekuasaan negara atas air, sebesar-besarnya harus dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat, maka konsistenlah menerapkannya seperti itu. Regulasi yang unkonsisten terhadap UUD 1945 seperti UU privatisasi air seharusnya dibatalkan. UU Pengelolaan Air yang didalamnya mengandung semangat privatisasi air, No. 7 tahun 2004, sesungguhnya merupakan prasyarat pinjaman World Bank sebesar 500 juta US$. Dalam UU Pengelolaan sumberdaya Air tersebut, pembiayaan atas pengelolaan sumber-sumber air, jaringan irigasi tidak lagi diberikan oleh Pemerintah. Pemerintah Daerah diminta mengupayakan sendiri pembiayaan pengelolaan air tersebut, atau dengan jalan mencari investor. Dengan adanya restrukturisasi pengeloaan air, penguasaan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber air akan berubah total. Pada jaringan irigasi, diantaranya kelak akan dipungut tarif oleh swasta pengelola. Penyediaan air bersih oleh swasta di daerah akan dimungkinkan dengan undang-undang ini. Dalam kondisi krisis ekonomi dan ambruknya swasta nasional, tampaknya investasi swasta asinglah yang akan mengambil peran tersebut.

Padahal investasi swasta pasti akan menaruh keuntungan sebagai tujuan pertama (profit first). Privatisasi akan membuat akses masyarakat terhadap air terbatas, karena akses atas air kemudian dinilai dengan uang. Karena seluruh biaya pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung semata pada pemakai dalam bentuk tarif. Dalam hal penyediaan air bersih, swasta akan memilih untuk melayani daerah-daerah yang menguntungkan. Daerah-daerah di luar P.Jawa yang terpencil-yang membutuhkan biaya pembangunan jaringan air yang besar-tentunya bukan prioritas kecuali dengan tarif tinggi. Kawasan Timur Indonesia yang tertinggal dan termasuk sulit air tentunya akan semakin jauh tertinggal. Jelas kemudian akses masyarakat atas air bergantung kepada seberapa besar akses atas uang. Masyarakat membayar, air menjadi komoditi pasar, bukan lagi sesuatu yang seharusnya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Karena itu tidak ada pilihan lain, selain membatalkan UU No. 7 tahun 2004 tentang pengelolaan sumber daya air dan menghentikan privatisasi atas air di Yogyakarta. Regulasi tentang Air harus kembali dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan negara harus mampu menjamin hak masyarakat dalam mengakses air. Pada level lokal, pemerintah kota atau kabupaten seharusnya membuat beberapa regulasi yang konsisten dengan perannya sebagai aparatur negara yang menjamin akses masyarakat terhadap air. Upaya-upaya lain untuk merehabilitasi kualitas air dari pencemaran juga harus aktif untuk dilakukan, agar air bersih kembali dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Akhirnya, sebagai penyedia jasa lingkungan terhadap kawasan-kawasan disekitarnya, wilayah tangkapan air seperti wilayah Kaliurang (Kab. Sleman), kawasan karst di Kab. Gunung Kidul dan Kulon Progo, perlu dilindungi. Perlindungan kawasan ini secara bijaksana harus juga mampu menjamin hak-hak kehidupan masyarakat lokal dalam melestarikan kawasan itu. Feybe EN Lumuru - Divisi Kampanye dan PSD Walhi DIY

Post Date : 05 Mei 2006