Hasil Kopenhagen Belum Memuaskan

Sumber:Kompas - 20 Desember 2009
Kategori:Climate

Kopenhagen, Kompas - Mundur nyaris 24 jam dari jadwal karena pembahasan yang alot, Konferensi Perubahan Iklim PBB 2009 akhirnya mengakui naskah keputusan ”Copenhagen Accord” bukan perjanjian yang mengikat secara hukum. Hasil itu dinilai ”tinggal seinci” dari kegagalan. Sejumlah pihak menilai hasil itu diambil untuk menghindari proses negosiasi bernilai triliunan rupiah itu tanpa hasil.

Wartawan Kompas Gesit Ariyanto semalam melaporkan, Sidang COP-15 sepakat mengakui naskah Persetujuan Kopenhagen (Copenhagen Accord) yang berisi 12 butir catatan. Namun, sidang tidak mengakui persetujuan itu dalam arti mengadopsi, yang dalam pengertian negosiasi nilainya jauh di atas sekadar ”mencatat hasil” (take note).

”Hasil ini memang tidak mengikat secara hukum (legally binding) seperti harapan beberapa negara. Namun, ini juga bukan berarti bencana,” kata Sekretaris Eksekutif Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB Yvo de Boer saat jumpa pers terakhirnya, Sabtu (19/12) sore.

Ketika transit di Dubai semalam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada pers mengatakan, meskipun saat ini pleno perumusan Persetujuan Kopenhagen belum selesai dan masih disinkronkan dengan hasil kelompok kerja, bagi Indonesia ini melegakan. Sebab, yang ditolak dalam pleno bukan substansi, tetapi prosedur dan proses. ”Padahal, inisiatif ini diambil para pemimpin negara untuk menghindari kebuntuan dan dibawa ke jalur resmi. Memang belum memuaskan, tetapi lebih baik daripada gagal,” kata Yudhoyono seperti dilaporkan wartawan Kompas Nur Hidayati.

Persetujuan Kopenhagen disusun 26 negara, termasuk AS, Inggris, China, Indonesia, Banglades, dan Lesotho, yang disusun hingga lewat tengah malam Jumat, setelah negosiasi buntu. Kepala negara atau pemerintahan ke-26 negara langsung membahas naskah butir demi butir.

”(Ini) Sebuah negosiasi yang belum pernah saya alami sebelumnya, lebih dari 120 kepala pemerintahan berkumpul. Bahkan terlibat langsung menyusun. Saya tak tahu lagi apakah ini akan berulang di lain kesempatan,” kata Yvo. Tiga hari terakhir, para negosiator nyaris tak pernah istirahat karena alotnya negosiasi.

Sebelum akhirnya disetujui sebagai hasil COP-15, keberatan muncul dari beberapa negara seperti Bolivia, Sudan, dan Venezuela. Alasannya, selain persoalan prosedur dan transparansi, butir Persetujuan Kopenhagen kurang ambisius karena tidak mencantumkan target penurunan emisi dari setiap negara dan waktu pencapaiannya.

Yvo mengatakan, sekalipun kurang memuaskan, keputusan itu menjadi pijakan penting bagi upaya mencegah dampak perubahan iklim global. ”Butuh kerja sangat keras untuk memastikan adanya perjanjian yang mengikat secara hukum pada tahun 2010,” ujarnya. Ia tidak menjamin pertemuan COP-16 di Meksiko tahun 2010 memenuhi harapan, sesuai kesepakatan di Bali dua tahun lalu, yang mestinya dicapai di Kopenhagen.

Presiden Maladewa Mohamed Nasheed mengatakan, seburuk apa pun hasil di Kopenhagen, tetap lebih baik daripada tidak ada hasil sama sekali. Maladewa merupakan salah satu dari 42 negara kepulauan kecil yang terancam tenggelam akibat kenaikan muka air laut karena pemanasan global.

Direktur Inisiatif Iklim Global WWF Kim Carstensen menyebut konferensi Kopenhagen tinggal beberapa inci dari ”gagal”. Persetujuan itu terlalu lemah untuk mengatasi dampak mengerikan perubahan iklim. ”Kopenhagen berada di tepi kegagalan akibat kepemimpinan yang lemah dikombinasikan dengan ambisi yang tak meyakinkan,” ujarnya.

Fitrian Ardiansyah dari WWF Indonesia, yang mengikuti persidangan dua pekan, menilai hasil itu tidak maksimal dan sulit mencegah dampak perubahan iklim. Padahal, Indonesia punya kesempatan menunjukkan kepemimpinan untuk mengubahnya menjadi kesepakatan lebih kuat sekaligus membuktikan bahwa komitmen Presiden RI dapat ditransformasi dan diterapkan secara domestik.

Koordinator Civil Society Forum for Climate Justice Giorgio B Indiarto yang baru pulang dari Kopenhagen mengatakan, ”Itu kemunduran signifikan untuk rezim perubahan iklim. Persetujuan itu tidak disepakati semua negara dan cenderung menyimplifikasi masalah. Itu hanya pengisi celah, daripada tanpa hasil.

Di lain pihak, secara umum, kepentingan Indonesia terwakili dalam semua butir keputusan yang dihasilkan. ”Semua tertampung di dalamnya,” kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.

Marty mengakui, keputusan politis Persetujuan Kopenhagen tidak seambisius harapan beberapa negara. ”Tanpa keputusan di sini, tak ada momentum politis sebelum COP-16,” katanya.

Di sisi pendanaan, negara maju setuju pendanaan Rp 300 triliun (sekitar 30 miliar dollar AS) untuk 2010-2012 bagi mitigasi dan adaptasi, termasuk kehutanan. Jumlah itu akan bertambah menjadi 100 miliar dollar AS per tahun pada tahun 2020. (ISW)



Post Date : 20 Desember 2009