HERRY GUNAWAN Berdaulat Air di Lereng Semeru

Sumber:Media Indonesia - 22 November 2012
Kategori:Air Minum
GEMERICIK air jernih mengalir deras dari sela rumpun bambu yang menjulang tinggi di lereng Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Air dari sumber Deling, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, itu menyuburkan tanaman pertanian.
 
Herry Gunawan, 58, berjalan tenang sembari membawa satu kantong jagung di hutan bambu. Dari mulutnya keluar suara menyerupai lenguhan monyet. Tidak lama kemudian, puluhan monyet ekor panjang langsung mendekati Herry, seakan sudah akrab dengan panggilan itu. Segenggam bulir jagung dari kantong plastik lalu disebar Herry untuk monyetmonyet itu.
 
“Di Desa Sumbermujur, kami melestarikan lingkungan dengan mengatur flora dan fauna yang hidup di darat, air, dan udara melalui peraturan desa,“ tegas Herry, membuka pembicaraan dengan Media Indonesia, Kamis (15/11).
 
Laki-laki kelahiran Lumajang, Jawa Timur, itu baru saja menerima penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup. Penyematan tanda kehormatan dilakukan Wakil Presiden Boediono di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (19/11), bertepatan dengan peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional ke-19.
 
Herry ialah satu dari 12 orang dan lembaga penerima penghargaan tersebut. Sepuluh tahun silam, sebagai Ketua Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) Kali Jambe, ia meraih Kalpataru kategori penyelamat lingkungan pada 2002.
 
Herry mengisahkan, pada 1970-an, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, merupakan daerah penghasil padi varietas lokal joko bolot, jawa baru, dewitara, dan melati. Dengan menggunakan teknologi pertanian tanpa pupuk kimia, produktivitas panen maksimal hanya 4 ton per hektare per musim.
 
Hasil panen kurang maksimal tersebut dianggap tidak memuaskan. Karena itu, petani mulai menggunakan pupuk kimia. Hal itu berdampak pada kerusakan tanah dan gangguan kesehatan. Kerusakan lingkungan di desa tersebut pun tidak terhindarkan karena kurangnya kesadaran masyarakat dengan menebang pohon di kawasan konservasi.
 
Banyak pohon dan tanaman ditebang di hutan bambu dan hutan rakyat seluas 400 ha itu. Kondisi lahan menjadi nyaris gundul. Padahal, hutan tersebut ber fungsi sebagai penyangga utama sumber air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum, memasak, mandi, cuci, dan irigasi.
 
Kerusakan lingkungan diperparah dengan semakin berkurangnya tanaman bambu yang ditebang hampir setiap hari. Warga memanfaatkannya sebagai bahan membuat gedek (anyaman untuk bangunan rumah) untuk selanjutnya dijual. Akibat eksploitasi besar-besaran itu, debit air di sumber air Deling menyusut drastis. 
 
Sadar 
 
Warga baru tersadar ketika sawah mereka kekurangan air. Melalui disku si di tegalan sawah dan cangkrukan di warung kopi, Herry memberikan pe nyadaran. Menurut dia, secanggih apa pun teknologi pertanian untuk mening katkan produktivitas hasil panen, tanpa di tunjang air yang cukup, tetap saja berakibat gagal panen.
 
Lantas Harry berinisiatif mengumpul kan kelompok tani. Warga disadarkan bahwa kerusakan lingkungan merugi. kan orang banyak, termasuk mengan cam keberhasilan bercocok tanam. Upa, ya penyelamatan lingkungan dimulai pada 1981 dengan memetakan masalah bersama sejumlah warga. Setelah itu, dilakukan penghijauan di hutan bambu dengan menanam bibit tanaman keras, di antaranya mahoni, damar, jolali, me sosis, dan tanaman buah.
 
“Awalnya sulit menggerakkan masya rakat. Sebelumnya mereka cuek, bahkan terkadang justru menertawakan saya. Tapi saya tidak menyerah. Upaya me nyelamatkan lingkungan terus saya lakukan,“ tegas Herry. 
 
Beragam upaya ia tempuh guna mengembalikan kelestarian lingkungan di desa setempat. Herry pun rajin mengikuti pengajian untuk memberikan masukan, wawasan, dan penyadaran. Termasuk mendekati tokoh masyarakat dan pemuda saat pertemuan warga di rukun tetangga, rukun warga, dan pemerintah desa agar terlibat aktif dalam melestarikan lingkungan.
 
Ritual 
 
Salah satu upaya yang ditempuh yaitu menghidupkan kembali budaya leluhur dengan mengubur kepala sapi melalui ritual maheso suroan. Ritual itu dilakukan setiap 1 Muharam atau Suro (tahun baru umat Islam). Tahun ini, ritual digelar Kamis (15/11).
 
Tradisi itu bertujuan agar masyarakat memaknai sumber mata air sebagai kawasan sakral yang harus dijaga dengan baik dan tidak boleh dirusak.
 
“Ritual maheso suroan sangat membantu sebagai salah satu pendekatan efektif penyadaran kepada masyarakat. Kearifan lokal yang menggabungkan ritual dan kesenian tersebut mampu melindungi sumber mata air,“ tuturnya.
 
Ritual diawali dengan serangkaian doa yang dipimpin dukun desa. Adapun Herry bertugas memimpin jalannya upacara secara keseluruhan, termasuk menyiapkan keperluan untuk larung sesajen dan gunungan menyerupai tumpeng berisi hasil bumi. Tradisi itu setiap tahun dilakukan dengan men gubur atau larung pendam kepala sapi di sumber mata air.
 
Setelah larung pendam kepala sapi dan pelepasan seekor ayam dilakukan di sumber air, ritual dilanjutkan dengan rebut gunungan yang mirip dengan garebek Suro di Jawa Tengah.
 
Herry sengaja menghidupkan tradisi leluhur tersebut untuk menyatukan religi, tradisi, budaya, dan kesenian dengan alam guna melestarikan lingkungan. Cara itu sangat ampuh untuk penyadaran dan meningkatkan kapasitas.
 
Tidak berhenti sampai di situ, Herry juga membina petani dalam mengembangkan ternak sapi perah. Hasilnya bahkan meraih penghargaan juara I nasional dari Presiden RI pada 1984. Selain itu, usaha pertanian juga digarap dengan mengembangkan budi daya cabai dan tomat.
 
Di lahan miliknya seluas 250 m2, Herry mengembangkan teknik budi daya menggunakan mulsa plastik hitam perak. Hasil panen bisa optimal. Teknologi itu pun dikembangkan petani saat ini.

Meningkat 
 
Desa Sumbermujur tempat Herry ting gal memang sangat strategis. Ia berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang berkembang menjadi desa beperspektif ramah lingkungan dan juga desa wisata.
 
Seiring berjalannya waktu, kerja keras Herry membuahkan hasil. Debit sumber air Deling meningkat dari sebelumnya 400 liter per detik menjadi 600-800 liter per detik. Pada puncaknya, debit mencapai 1.350 liter per detik.
 
Masyarakat desa yang berjumlah 6.778 jiwa atau 1.872 kepala keluarga tidak pernah kekurangan air kendati memasuki musim kemarau. Mereka yang berprofesi petani menggarap lahan sawah seluas 426 ha, ladang pertanian 400 ha, dan perkebunan seluas 297 ha.
 
Untuk selanjutnya, warga mengelola secara mandiri sumber daya air guna mencukupi kebutuhan hidup, termasuk irigasi. Desa dengan luas kawasan 1.690 ha dan mencakup 18% luas wilayah Kecamatan Candipuro, Lumajang, itu menjadi satu-satunya penyangga utama TNBTS karena di sana pula terdapat hutan bambu seluas 14 ha yang dikembangkan sebagai objek pariwisata dan pendidikan lingkungan.
 
Desa itu pun menerapkan pertanian organik seluas 10 ha yang lokasinya terpisah dari pertanian nonorganik. Masyarakat pun mengembangkan buahbuahan, seperti pisang, avokad, manggis, dan salak.
 
Air yang mengalir deras dari sumber Deling menjangkau empat desa, yakni Sumbermujur, Penanggal, Tambakrejo, dan Kloposawit. Bahkan pada musim kemarau, sumber air pun memberi manfaat bagi desa tetangga, yakni Pandanwangi, Pasrujambe, Sumberwuluh, Penanggal, dan Tempeh. Itu sebabnya, di lereng Gunung Semeru tersebut tidak terdengar kabar krisis air. BAGUS SURYO


Post Date : 22 November 2012