Hidup di Bantaran Sungai (2) - Perempuan-perempuan Itu Penggerak Perubahan

Sumber:Kompas - 17 Januari 2007
Kategori:Air Minum
Bisakah Anda bayangkan ada orang mencuci piring dan gelas dengan menggunakan air sungai yang begitu kotor? Tak usah heran bila kejadian itu telah menjadi semacam rutinitas yang dilakoni warga yang tinggal di salah satu sudut Ibu Kota. Mau melihat sendiri? Sesekali turun ke bantaran Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta.

Untuk menyiasati pekatnya air sungai, seorang ibu yang tinggal di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, bahkan mencoba mencampurkan cairan kimia pemutih baju ke air sungai yang ditimbanya untuk mencuci piring. Sang ibu, tentu saja tidak sadar akan bahaya lain yang mengancam. Sebab, mencampur air sungai yang kotor dengan cairan kimia pemutih baju jelas tindakan yang membahayakan kesehatan.

Lalu, mengapa tidak menggunakan air bersih? Justru di sana pokok masalahnya. Bagi warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, pertanyaan semacam ini boleh jadi justru terdengar naif. Air bersih harus dibeli. Selain berarti menambah pengeluaran sehari-hari dari pendapatan yang begitu terbatas, bagi mereka, air bersih sudah seperti identik dengan kemewahan. Kalau setiap kali mencuci piring dan peralatan dapur harus membeli air bersih, jelas mereka tak mampu.

Oleh karena itu, memberi pengetahuan dan pemahaman kepada perempuan di bantaran sungai sangat penting untuk dilakukan. Bagaimanapun, perempuan dan anak-anaklah yang menjadi korban utama akibat kotornya sungai-sungai kita. Setiap hari merekalah yang sangat dekat dengan kehidupan sungai. Kaum perempuan itu pula yang lebih banyak bersentuhan dengan sungai kotor itu, lewat aktivitas sehari-hari, seperti mencuci baju dan atau peralatan dapur/makan.

Pada seminar "Perempuan di Bantaran Sungai Ciliwung" medio Desember 2006, salah seorang peserta, Ny Piniwarga Pasar Pintu Air, RT 05 RW 11, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusatmengeluhkan sampah pasar yang menumpuk di depan rumahnya. Letak sampah yang berada di pinggir sungai sangat rawan jatuh ke sungai. Belum lagi penumpang kereta yang kerap melempar sampah keluar jendela dan jatuh ke sungai.

"Kami minta dibuatkan bak sampah yang besar karena sampah tidak setiap hari diangkut," kata Ny Pini. Jika sampah menumpuk, bau tidak sedap pun akan segera tercium. "Untung saja sampah ikan tidak dibuang di depan rumah saya. Kalau ikut dibuang di situ, wah pasti banyak lalat," tambahnya.

Situasi sama juga dirasakan Ny Mariam, yang tinggal di dekat Kali Lagoa Kanal dan Kali Sindang di Kelurahan Koja, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Karena sampah dari Pasar Sindang menumpuk, tidak jarang belatung pun ada di mana-mana.

Hal semacam ini tentu tidak nyaman dan mengganggu kesehatan warga, terutama kesehatan anak-anak. Belum lagi bau busuk "pulau-pulau" sampah yang membuat Kali Lagoa Kanal mampet.

Ketidakadilan jender

Hasil temuan program lingkungan berperspektif jender kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Quadrant Utama dengan Pusat Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa masalah pencemaran sungai diperparah oleh terjadinya ketidakadilan jender dalam masyarakat. Di satu sisi perempuan memiliki potensi positif terhadap pemeliharaan lingkungan dan sungai, tetapi di sisi lain kehidupan mereka masih dinomorduakan oleh masyarakat.

Kemampuan perempuan sering diabaikan oleh masyarakat, padahal perempuan memiliki kualitas sumber daya manusia yang sebetulnya efektif bagi pengembangan kehidupan masyarakat dan lingkungan. Bukankah kelompok perempuan yang hidup di areal bantaran sungai merupakan kelompok masyarakat yang paling dekat dengan sungai, lantaran rutinitasnya di dalam menjalankan dan mempertahankan kehidupan rumah tangga?

Kualitas kehidupan para perempuanyang tinggal bantaran sungaiyang rendah, menempatkan mereka secara mayoritas pada kehidupan marjinal. Ketidakadilan jender itu tidak hanya mengancam keselamatan kelompok perempuan yang hidup di bantaran sungai, tetapi juga mengancam keselamatan lingkungan dan sungai.

Beban kehidupan kelompok perempuan di bantaran sungai yang begitu berat, baik secara sosial ekonomis maupun psikologis, justru membangkitkan kekuatan para perempuan ini dalam menghadapi persoalan mereka secara realistis. Perempuan diyakini mampu bertindak strategis secara ekonomis, mampu menjalankan peran yang bertumpukbaik domestik/reproduktif, maupun produktif meskipun dengan peran bertumpuk itu sangat berisiko bagi keselamatan dan kesehatan mereka.

Sudah enam bulan ini Quadrant Utama mendampingi perempuan di bantaran sungai di wilayah Jakarta. Mereka mengadvokasi, melakukan pendampingan, dan memberi penyuluhan mengenai bagaimana menjaga kebersihan sungai. Sejak didampingi, kini sudah tidak ada lagi ibu-ibu yang mencuci piring dengan air sungai yang dicampur dengan cairan kimia pemutih baju. Setidaknya mereka kian sadar akan bahayanya.

"Getok tular"

Menurut Ny Mariam, Ketua RT 08 RW 08, Kelurahan Koja, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dari 300 perempuan yang ada di dua RW di sana terbentuklah kelompok inti yang terdiri atas 100 perempuan. 100 perempuan di wilayah Koja inilah yang secara intensif mendapatkan pendidikan, pengetahuan, dan makin luas pemahamannya tentang pentingnya fungsi sungai.

Karena tidak semua perempuan teradvokasi, para perempuan di kelompok inti melakukan upaya penyebaran informasi kepada rekan dan tetangga-tetangganya dengan cara "getok tular". Mereka, misalnya, memberi masukan kepada ibu-ibu lain agar sebaiknya tidak membuang sampah dan buang air besar di sungai supaya sungai tidak mampet dan bau busuk.

"Tapi ada saja tetangga yang berkomentar negatif saat diberi saran. Seperti mengucapkan kata-kata belagu loe.... Begitulah, mereka belum sepenuhnya sadar," kata Ny Mariam.

Mereka pun diajak untuk membersihkan lingkungan masing-masing, membuang sampah di tempat sampah yang mereka buat bersama, mengajak anak-anak untuk tidak sembarangan membuang sampah.

Hal yang sama juga dilakukan di Kebon Melati, Pintu Air, di Kelurahan Petamburan, di Manggarai, Jatinegara, dan Kampung Melayu. Bahkan, di Pasar Pintu Air, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, meskipun rumah-rumah yang ada adalah rumah-rumah petak, kini mereka telah memiliki kaleng bak sampah di depan pintu rumah masing-masing.

"Anak-anak di sini pun kami larang untuk berenang di sungai karena berbahaya," kata Ny Pini tentang meningkatnya kesadaran para perempuan di bantaran sungai di sana.

Apalagi menjelang banjir tahunan, mereka harus lebih waspada dan tidak lagi membuang sampah seenaknya. "Kami juga melakukan lomba kebersihan di sini," tutur Ny Pini. Mereka yang tinggal di bantaran sungai tak mau mengulang duka saat kebanjiran, saat perabot rumah tangga merekaseperti kursi, kasur, televisi, dan piringterendam air dan rusak.

"Kalau sudah begitu, mau tidak mau kami terpaksa mengungsi di pelataran rumah susun sampai air surut kembali. Jadi, kami tidak mau kebanjiran lagi," papar Ny Pini, dan diamini para perempuan tetangganya.

Kesadaran perempuan dan upaya memberdayakan perempuan yang hidup di bantaran sungai harus terus-menerus dibangun agar suatu saat kita bisa benar-benar mendapatkan sungai yang bersih. M Puteri Rosalina dan Elok Dyah Messwati

- Hidup di Bantaran Sungai (1) Warga Terpaksa Memakai Air Sungai
- Hidup di Bantaran Sungai (3) Jakarta Tak lagi Pedulikan Ekosistem


Post Date : 17 Januari 2007