Hidup Serasi dengan Alam

Sumber:Kompas - 31 Januari 2005
Kategori:Drainase
AIR tidak dibuat manusia. Ia berasal dari awan yang dibentuk oleh uap hasil pemanasan laut oleh sinar matahari. Awan menurunkan butir-butir air dalam wujud hujan untuk ditangkap hutan dan tumbuh- tumbuhan di pegunungan. Air hujan meresap ke tanah membentuk mata air, mengalir menjadi alur air dalam tanah dan sungai di permukaan tanah.

Mengikuti gravitasi alam, air mengalir dari pegunungan ke dataran rendah menuju laut, menguap membentuk awan dan kembali turun sebagai hujan. Maka, tercipta proses perputaran zat air dalam ekosistem abadi. Selama ekosistem ini terlestarikan, selama itu pula air tawar terus tercipta.

Kawasan Pegunungan Gede Pangrango dan Salak di Bogor merupakan sumber mata air bagi sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta, seperti Cisadane dan Ciliwung. Anak/cabang kedua sungai itu mengalir melalui Jakarta ke Laut Jawa. Selama puluhan tahun, daerah aliran kedua sungai ini sudah diubah dan dipadati bangunan. Sungai-sungai ini kian sempit dan penuh lumpur sehingga mudah melimpah ruah dan menghasilkan "banjir kiriman".

Sementara itu, Jakarta gencar mengubah profil tanah ibu kota. Gedung-gedung bertingkat dibangun dengan tiang beton puluhan meter dalam tanah. Semen dan aspal menutupi sebagian besar tanah, tidak memperhitungkan dampak negatif tata air bawah tanah. Berbagai lekukan tanah sebagai terminal banjir di musim hujan telah menjadi perumahan. Maka, hujan lokal yang turun deras mudah melahirkan "banjir lokal".

Jika hujan deras di hulu sungai, hujan lokal di hilir sungai, dan permukaan laut naik karena suhu bumi meningkat akibat pencemaran udara dan air hujan mengalir melalui sungai yang menyempit, berlumpur, dan penuh sampah, Jakarta akan selalu terkena banjir tahunan dan terus terjadi hingga puluhan tahun mendatang.

Berbagai studi dan rencana sudah disusun, pemerintah giat melaksanakan program pengendalian banjir Jakarta, seperti Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisedane, Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pengendalian Air, dan sebagainya. Meski berbagai program ini perlu dan penting, itu tidak cukup untuk mengatasi tantangan banjir di masa datang.

DALAM orientasi anthroposentris, mekanisme pasar memegang peran penting. Hanya "barang ekonomi" yang memberi kegunaan bagi manusia memperoleh nilai melalui harga pasar. Tetapi, "jasa lingkungan" tidak "ditangkap nilainya" oleh pasar, seperti nilai air tawar, udara bersih, iklim cuaca yang menyenangkan, sinar pagi matahari, dan seterusnya. Jadi, orang rela merusak unsur lingkungan alam demi keuntungan ekonomi yang terukur dalam pasar.

Logika inilah yang mendorong orang membangun real estate di atas tanah resapan air dan kawasan yang diperuntukkan waduk pengendalian banjir, menguruk lekukan tanah terminal banjir, menutup aliran air tanah, atau mengotori sungai. Biaya kerusakan alam baru disadari setelah ada bencana.

Pola pikir ekonomi anthropo- sentris ini tidak sesuai untuk menanggapi tantangan banjir di masa depan. Suatu pandangan ekosentris mendorong kesadaran untuk hidup serasi dengan alam dibutuhkan guna menghentikan kerusakan alam. Untuk ini diperlukan, pertama, suatu "rencana payung" yang mencakup seluruh rencana penyelamatan daerah aliran semua sungai kawasan Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang untuk disinkronkan dengan berbagai rencana tata air agar tidak terbuang percuma. Rencana itu dipadukan dengan rencana penggunaan lahan dari hulu ke hilir untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi dilaksanakan dengan menyelamatkan sebanyak mungkin air, sumber alam hayati dalam ekosistem yang utuh.

Rencana tata ruang Jadebotabek ini perlu memperhitungkan kondisi geologi dalam tanah, tata aliran air bawah tanah, kondisi geomorfologi tanah, curah hujan, dan lainnya. Harus diperhitungkan pula potensi penggunaan permukaan tanah untuk pertanian, permukiman, industri, pariwisata, ruang publik terbuka, dan lainnya. Juga perlu diperkirakan perkembangan penduduk di masa yang memerlukan daya dukung dan ruang alam.

Kedua, perlu menuntaskan institusi organisasi dengan pendekatan lintas sektoral dalam perencanaan dan pelaksanaan tata ruang Jadebotabek. Praktis, semua instansi lintas sektoral dalam pemerintah dilibatkan, seperti departemen terkait dan Pemerintah Daerah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta beserta kabupaten, kecamatan dan kota madya didukung lembaga penelitian dan universitas serta ahli-ahli profesional swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Karena, pola persoalan pembangunan daerah seperti ini tidak hanya dihadapi Jadebotabek, tetapi menjelang 2020 juga dihadapi Bandung, Surabaya, Ujung Pandang, Medan, dan kota-kota yang jumlah penduduknya jutaan. Maka, paling ideal jika pembangunan komprehensif lintas sektoral untuk pertama kali dipimpin presiden, dibantu pejabat setingkat menteri yang diangkat guna mengoordinasikan pembangunan lintas sektor di kawasan Jadebotabek.

Mengingat penyusunan institusi ini memakan waktu, harus dimulai penyusunan rencana tata ruang Jadebotabek oleh para ahli dan profesional lintas sektor yang digerakkan Bappenas bersama BPPT.

Ketiga, pengembangan sumber pembiayaannya. Program komprehensif ini memerlukan biaya triliunan rupiah untuk kurun waktu 25 tahun. Pemerintah DKI Jakarta tidak akan sanggup membiayai sendiri. Maka, berbagai kegiatan yang menderita dampak negatif akibat banjir Jakarta perlu ikut membiayai program Jadebotabek. Jadi, pelabuhan udara Cengkareng, Pelabuhan Tanjung Priok, dan sentra kegiatan ekonomi lain yang menderita banjir dengan dampak kerugian bermiliar rupiah perlu ikut memikul biaya pengendalian banjir melalui program komprehensif Jadebotabek.

Begitu pula real estate dan pemilik gedung bertingkat yang telah mengganggu pola tata air permukaan dan di bawah tanah, perlu dikenakan biaya pengembangan Jadebotabek. Lokasi tanah yang direncanakan bagi pembangunan waduk atau wahana bagi penataan air tidak diberikan izin bangunan perumahan dan komersial kepada siapa pun. Bangunan yang berdiri tanpa izin sehingga memperparah banjir perlu ditertibkan. Prinsipnya, lokasi yang penting bagi kepentingan publik tidak dikomersialkan untuk peningkatan pendapatan asli daerah. Tarif PBB untuk kawasan yang memperparah banjir dilipatkan. Penduduk miskin dipindahkan dengan rangsangan rumah permukiman yang lebih layak. Selain itu, dana anggaran pemerintah pusat yang bersifat multi-year perlu dimungkinkan membiayai program Jadebotabek.

Dengan jumlah penduduk yang kian bertambah menjelang tahun 2020 yang mendorong kebutuhan membangun lebih banyak, tekanan pada sumber daya alam kian meningkat. Untuk menanggapi perlu diterapkan internalisasi biaya lingkungan, mengindahkan secara ketat rencana tata ruang yang bersifat multidimensi mencakup berbagai sektor kegiatan dan terpusat pada penyelamatan lingkungan untuk keberlanjutan kehidupan manusia. Atas dasar ini, paradigma pembangunan diubah dari orientasi serba ekonomi bagi kepentingan manusia semata menjadi pandangan ekosentris mengembangkan hidup serasi dengan alam.

Emil Salim Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

Post Date : 31 Januari 2005