Hijau Tanpa Lahan, Kenapa Tidak?

Sumber:Kompas - 16 April 2008
Kategori:Umum

”Bertanam pohon? Ya, enggak mungkinlah,” seru seorang kawan penghuni rumah susun ketika berbincang tentang tanam-menanam di rumah. Selintas bisa jadi benar, tinggal di ketinggian di rumah susun dan apartemen tanpa halaman berarti steril dari kehijauan tanaman. Namun, pikiran itu ketinggalan zaman.

Santi (46), misalnya, aneka jenis tanaman hias dalam berbagai wadah menghiasi sudut unit apartemennya di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat. Di balkon berukuran 1,5 meter x 3 meter, puluhan pot kecil berisi tanaman hias mungil dijejer rapi, berbagi ruang dengan rak jemuran.

Tanaman dari famili kaktus, sukulen, dan bromelia berjejal rapi. Selain kaktus, beberapa yang mulai dikenal publik antara lain lidah mertua (sanseviera) dan bintang bumi (cryptantus). Semuanya dipilih dari jenis yang berukuran mungil.

Sejak beberapa tahun lalu, ibu tiga anak tersebut menekuni budidaya terarium. Budidaya semacam itu menempatkan satu atau berbagai jenis tanaman hias mungil tertentu di dalam wadah dari kaca. Mirip akuarium, tetapi berisi tanaman.

Santi adalah salah seorang anggota Ikatan Alumni Pelatihan Pertamanan (IAPP) di bawah koordinasi Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta. Budidaya terarium merupakan salah satu jenis budidaya yang dikenalkan pada kursus gratis itu.

Menurut pionir budidaya terarium di Indonesia, Anie Kristiani, budidaya terarium relatif belum terlalu dikenal di Indonesia. Anie sendiri mengembangkannya sejak 13 tahun lalu.

Seperti merancang sebuah taman, terarium pun butuh persiapan menyangkut media tanam, jenis tanaman, dan peralatan pemeliharaan. Hanya saja, terarium mensyaratkan ukuran mini, termasuk berbagai jenis tanamannya.

Air diserap

Tanaman untuk terarium harus yang pertumbuhannya lambat. Perbedaan menonjol dengan bertanam secara konvensional adalah ketiadaan lubang pembuangan (drainase).

Sebagai gantinya, seperti yang dikembangkan Anie, bagian dasar wadah diisi material-material penyerap air. Di antaranya, arang kayu yang sudah dihaluskan, tanaman pakis yang dikeringkan (moos), kompos, dan pasir zeolit.

Pasir zeolit perlu penanganan khusus sebelum digunakan dalam terarium. Tujuannya, agar mampu mengurangi kadar air. Jadi, sebelum dipasang, pasir itu harus disangrai dahulu selama 15 menit.

Selain menyerap air dan penanda waktu menyiram karena sifatnya, pasir zeolit yang berwarna juga berfungsi sebagai elemen dekoratif.

Penambah unsur dekoratif lainnya adalah jenis batu-batuan kecil yang sudah dibersihkan. Bisa juga dengan ranting yang diolesi antijamur.

Menurut Anie, terarium bukan hanya indah dan terkesan mewah, namun sedikit banyak turut menyerap polusi udara di dalam rumah.

Mempertimbangkan jenis tanaman dan model menanam yang tanpa drainase, terarium mensyaratkan hemat air. Penyemprotan air tidak dilakukan setiap hari. Pun, soal sinar matahari yang dibatasi sepekan dalam sebulan.

Perasaan halus

Terarium bukan soal model taman dalam ruangan yang serba mungil pada lahan yang inkonvensional, namun juga menyangkut perasaan halus pemiliknya.

Untuk menanam di wadah yang sempit, seperti gelas, vas, mangkuk, atau akuarium bulat, kehalusan perasaan menjadi mutlak. Sebagai penunjang, diperlukan alat-alat khusus seperti penyemprot, penjepit, sendok, gunting, hingga pembersih kaca.

Menurut Evelina (62), alumnus kursus tahun 2007, terarium memungkinkan siapa saja memiliki taman hijau, tanpa lahan sekalipun. Modalnya, semangat dan rasa sayang terhadap tanaman.

Dari rasa sayang itulah berbagai kendala dan kesan rumit terkait perawatan tanaman menjadi sirna. ”Ada unsur seninya juga lho,” katanya.

Ia mengakui semangat bertanamnya kian tumbuh sejak mengikuti kursus selama sepekan. Tidak hanya asal menanam, ia pun paham cara memotong, mengokulasi, dan memperlakukan tanaman dengan gejala-gejala penyakit tertentu.

Model taman terarium akan ditampilkan dalam Green Festival yang berlangsung tanggal 18-20 April 2008 di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Berbagai informasi seputar taman juga ada di sana.

Pengajar kursus dari Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta, Miki Hermanto, mengatakan, kursus yang dimulai sejak pertengahan tahun 1970 telah menghasilkan ribuan orang. Hanya saja, penggalangan aksi para alumnus intensif dilakukan pada beberapa tahun terakhir.

Materi kursus terarium diajarkan dalam tiga tahun terakhir dengan jumlah alumnus 400-an orang. ”Tujuan besar kursus adalah peduli lingkungan mulai dari rumah,” kata Miki.

Selama kursus, peserta diajarkan membuat desain taman sederhana dan pemeliharaannya. Dalam berbagai kelompok, mereka memelihara taman yang eksis di wilayah Jakarta.

Ruang terbuka hijau

Antusiasme anggota IAPP dan tren permukiman masa kini sejalan dengan kebutuhan akan taman dan ruang terbuka hijau di tengah publik. Tak lagi alternatif.

Di Jakarta, pemerintah provinsi sudah bertekad menambah ruang terbuka hijau dari 9,9 persen menjadi 13,9 persen dari total luas Jakarta, 650 kilometer persegi, sekalipun risikonya menggusur 27 stasiun pengisian bahan bakar umum.

Idealnya, ruang terbuka hijau di setiap kawasan minimal 30 persen total luas wilayah. Angka yang hampir mustahil dilakukan di Jakarta tanpa dukungan politik nyata.

Keinginan kuat memaksimalkan ruang terbuka hijau juga muncul di Kota Surabaya. Upaya penanaman dan pemeliharaannya kian menguat dengan dukungan pemerintah kota.

Seiring dunia yang semakin panas dan semakin tingginya polusi, keberadaan taman dan ruang terbuka hijau yang semakin luas merupakan sebuah tujuan yang harus diperjuangkan. Tak lagi alternatif pilihan yang bisa ditawar.

Untuk itu, dibutuhkan kekuatan gerakan arus bawah. Gerakan-gerakan masyarakat untuk berdekatan dengan alam sebenarnya sudah bermunculan, termasuk dari sudut-sudut kecil apartemen. Sudahkah Anda memulainya...? Gesit Ariyanto



Post Date : 16 April 2008