Ibu Kota Tanpa Harapan

Sumber:Kompas - 16 Januari 2013
Kategori:Banjir di Jakarta
Jakarta, Kompas - DKI Jakarta sebagai ibu kota negara tidak memberi harapan. Jakarta sangat rentan terhadap banjir setiap kali terjadi hujan deras, tingginya pasang, dan banjir kiriman dari Puncak, Bogor, Jawa Barat. Pemerintah pusat tidak bisa membiarkan kondisi ini terus terjadi menahun.
 
Hasil pemantauan Kompas, Selasa (15/1) pagi hingga malam, jutaan warga dari DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi kesulitan beraktivitas di Ibu Kota karena banyak jalan dilanda banjir. Sedemikian menjengkelkannya, suasana di Ibu Kota kemarin benar-benar tak memberi harapan.
 
”Sudah satu jam ngendon di sini, tak bisa juga jalan,” keluh Wira, pengemudi mobil di Jalan Ciledug Raya, Jakarta Selatan. Jarak 2 kilometer harus dia tempuh hingga tiga jam.
 
Para pengguna kereta rel listrik (KRL) jalur lingkar juga terganggu, menyusul banjir yang menggenangi rel di seputar Stasiun Kampung Bandan.
 
Sampai pukul 18.00, stasiun masih tutup. Padahal, setiap hari ada 66 KRL yang melintas dan 28 kereta penghubung dari Jakarta Kota.
 
”Tak bisa dilewati kereta apa pun untuk keselamatan,” ujar Kepala Stasiun Kampung Bandan Agung Saputro.
 
2 tewas, 7.471 mengungsi
 
Hingga semalam, banjir melanda 28 kelurahan dan menggenangi rumah 9.730 keluarga di lima wilayah DKI. Banjir memaksa 7.471 warga mengungsi.
 
Banjir paling parah terjadi di Kampung Melayu setinggi 3 meter dengan jumlah pengungsi 1.370 jiwa.
 
Informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI menyebutkan, seorang anak bernama Angga (13) tewas akibat hanyut di Kali Sekretaris, Jakarta Barat.
 
Semalam juga diinformasikan ada warga RW 008, Kampung Melayu, yang meninggal akibat kedinginan. BPBD juga mencatat lima warga sakit di tempat pengungsian.
 
Banjir juga melanda wilayah sekitar Jakarta. Di Tangerang Selatan, ribuan rumah di berbagai perumahan dan kampung juga terendam. Sejumlah sekolah juga diliburkan karena terendam.
 
Ancaman gunung dan laut
 
Banjir terjadi sedemikian parah. Selain karena hujan deras, banjir juga terjadi karena kiriman air dari Bogor, ditambah tingginya air pasang.
 
Tinggi muka air Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, Kota Bogor, Selasa pukul 07.30, mencapai titik tertinggi dalam dua tahun terakhir, 210 sentimeter atau Siaga I banjir. Padahal, pada pukul 05.00 ketinggian Ciliwung masih 50 cm.
 
”Posisi ini tertinggi selama dua tahun terakhir bila dibanding tahun 2011 dan 2012 yang di bawah 200 cm. Namun, masih lebih rendah dibanding puncak elevasi tahun 2010 yang mencapai 250 cm,” kata Andi Sudirman, penjaga Bendung Katulampa.
 
Kenaikan muka air yang pesat ini dinilai sebagai salah satu tanda kerusakan daerah tangkapan air di kawasan Puncak, selain intensitas hujan yang tinggi.
 
Akibat kiriman air dari Bogor ini, empat sungai di wilayah DKI Jakarta meluap sepanjang hari.
 
”Kami ingatkan kepada warga di bantaran Kali Ciliwung dan pintu air Kali Angke. Lebih baik meninggalkan tempat tinggal sementara waktu, terutama yang tinggal dalam jarak 50 meter dari bibir kali,” tutur Kepala Pelaksana BPBD DKI Arfan Arkilie.
 
Menurut Kepala Bidang Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Rifig Abdullah, ancaman banjir juga datang dari laut seiring tingginya permukaan air di utara Jakarta.
 
Ketinggian permukaan air laut sempat mencapai 200 cm dengan status Siaga 2, sedangkan angka normal di utara Jakarta 110 cm. Akibatnya, aliran air ke utara Jakarta tersendat seperti yang terjadi di Kali Mookevart, Jakarta Barat.
 
Pemerintah pusat alpa
 
Planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengingatkan pemerintah pusat agar tidak membiarkan kondisi ini terus terjadi. Dia menilai pemerintah pusat alpa.
 
”Banjir Jakarta tidak bisa diselesaikan sepihak oleh masing- masing daerah di Jabodetabek. Banjir ini tidak hanya butuh diantisipasi dengan pembangunan infrastruktur, tapi juga harus diiringi kebijakan pengelolaan wilayah Jabodetabek secara bersama-sama,” tegasnya.
 
Menurut Yayat, sebetulnya ada banyak ide untuk mengatasi banjir Jakarta. Dicontohkan, sejak bertahun-tahun silam ada rencana membangun waduk di Ciawi dan tanggul di sepanjang Ciliwung.
 
”Namun, apa yang akan didapat daerah di hulu Ciliwung atau hulu sungai lain ketika lahan di kawasannya diambil untuk konservasi yang keuntungan langsungnya hanya dinikmati Jakarta? Ini yang harus diambil alih dan dikelola dengan tegas oleh pemerintah pusat,” tegas Yayat.
 
Untuk itu, Yayat meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera memanggil menteri-menterinya. Presiden juga harus mengevaluasi kerja sama antardaerah sehingga ide-ide besar untuk antisipasi banjir serta konservasi lingkungan hulu hingga hilir tak pernah bisa terwujud.
 
Kalau perlu, Presiden membentuk kementerian atau badan khusus yang memiliki wewenang setingkat menteri untuk memastikan program antisipasi banjir di Ibu Kota berjalan efektif.
 
Menanggapi ancaman banjir yang mengepung Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyatakan, di tahun 2013 pihaknya akan berkonsentrasi pada pengerukan dan normalisasi sungai. Pemprov DKI telah mengajukan anggaran Rp 450 miliar untuk pembebasan lahan guna menunjang normalisasi sungai besar, seperti Kali Pesanggrahan, Kali Angke, dan Kali Sunter.
 
Jokowi menargetkan setiap tahun bisa mengurangi 8-12 titik banjir di Jakarta. Tercatat saat ini ada 78 titik rawan banjir di Jakarta.(NDY/NEL/GAL/FRO/ART/ MKN/K02/K11/PIN/RAY/WIN)


Post Date : 16 Januari 2013