Ibu Kota (yang) Selalu Didera Wabah Penyakit

Sumber:Sinar Harapan - 16 Mei 2009
Kategori:Lingkungan

JAKARTA - Predikat sebagai ibu kota negara ternyata tidak serta-merta menjadikan Jakarta sebagai sebuah kota sehat yang dapat menjadi panutan kota-kota besar lainnya di negeri ni. Jakarta nyatanya masih dipusingkan dengan kesehatan warganya. Kota ini adalah kota yang sakit. Warganya pun masih kesulitan mendapat jaminan kesehatan dan jaminan hidup sehat.

Pakar perkotaan Nirwono Joga pernah berujar bahwa lima tahun terakhir Jakarta mengalami siklus permasalahan kota yang itu-itu saja. Di masa peralihan dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya, penyakit menular segera menjangkiti ribuan warga, terutama warga miskin kota.

Ironisnya, tegas laki-laki yang akrab dipanggil Yudi ini, bukannya mencari solusi permasalahan rutin yang melanda kotanya, Pemda Jakarta malah berusaha beradaptasi dengan persoalan akut itu selama lima tahun. Hal itu secara tidak langsung ikut memaksa warganya diam saja menghadapi problema ini.

Kasus DBD hanya salah satu contoh bagaimana kota ini memang belum menjadi sebuah kota yang sehat bagi warganya. Tragisnya, kasus DBD selalu terjadi berulang-ulang dan Pemda Jakarta seakan tidak berdaya dibuatnya.

Singkat kata, berbagai epidemi dan penyakit, seperti diare, demam berdarah, dan cacingan, menjangkiti warga Jakarta dengan cepat dan menimbulkan banyak korban. Satu per satu anak-anak dan orang dewasa jatuh sakit terserang penyakit ini. Satu per satu pula korban nyawa berjatuhan karena keterlambatan penanganan atau bahkan tidak tertangani sama sekali.

Mungkin hal itulah yang dialami warga Tanah Merah, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara. Secara administrasi, warga di tanah garapan milik PT Pertamina ini tidak terdaftar sebagai warga Jakarta. Meski telah belasan tahun tinggal di sana, hak sipil sebagai warga tidak juga mereka peroleh. Mereka hidup tanpa kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluaga, bahkan akta kelahiran. Tidak ayal, hak atas jaminan kesehatan adalah hal yang mustahil bagi warga yang kebanyakan datang dari kelas menengah ke bawah ini.

Ketua Foum Masyarakat Tanah Merah Henrico Siahaan mengatakan, warganya mencoba terbiasa menelan pil pahit atas penyakit yang dideritanya. Ketika ada warganya yang menderita penyakit parah, seperti demam berdarah, tidak banyak yang dapat mereka lakukan. "Kalau ada yang sakit, ya, tinggal tunggu mati aja," tukasnya ketus.

Ketiadaan identitas penduduk membuat warga Tanah Merah tidak memiliki jaminan kesehatan. Padahal biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan tidaklah kecil bagi mereka yang kebanyakan memiliki pekerjaan nonformal. Seperti yang dialami Agus (21), warga RT 14/01 Tanah Merah. Dia mengatakan, sekitar Oktober 2008 lalu ia terjangkit penyakit demam berdarah. Pemuda berperawakan kecil ini sempat memasuki masa kritis.

Namun, karena tidak memiliki jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), pengobatan yang dijalaninya cuma minum obat sakit kepala dan demam yang dijual bebas.

Beberapa hari dia harus melawan penyakitnya tanpa mengalami perawatan intensif sampai akhirnya ia mendapat bantuan dana dari kerabat keluarganya. Dengan bantuan itulah ia memberanikan diri dirawat di salah satu rumah sakit daerah di Jakarta Utara.

Lingkungan Kumuh

Kumuhnya lingkungan permukiman warga Tanah Merah memang membuat warganya rentan terjangkit penyakit. Rami (41), seorang warga Tanah Merah, mengisahkan, anaknya sering terserang penyakit diare.

Dia menuturkan, hampir setiap bulan anaknya mengalami buang-buang air. Beruntung dia memiliki KTP yang didapatnya dengan cara menembak di Kelurahan Cilincing dengan membayar hingga ratusan ribu. KTP itulah yang dijadikannya bekal untuk membawa anaknya berobat di puskesmas terdekat. Berkat kartu identitas fiktif itu, ia hanya perlu membayar Rp 6.000 untuk biaya pemeriksaan dan obat-obatan bagi anaknya.

Persoalan yang sama terjadi juga di tanah garapan di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Penyakit sangat dekat dengan warga di pinggir rel kereta api antara Stasiun Cakung dengan Pondok Kopi itu. Warga di sana kerap terserang penyakit demam berdarah dan diare. Penyakit itu kerap menjangkiti warga, terutama anak-anak yang memang sangat rentan dengan penyakit.

Bukan cuma lingkungan permukiman yang kurang sehat, gaya hidup kebanyakan warga yang telah memiliki surat-surat kependudukan ini relatif tidak sehat. Rendahnya penghasilan dan keterbatasan pengetahuan warga membuat kesehatan bukanlah masalah penting bagi mereka. "Yang penting urusan perut terpenuhi," ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Sekitar seminggu lalu, dilakukan pengasapan di permukiman ini. Hal itu dilakukan karena mulai banyaknya warga yang terjangkit penyakit yang diduga adalah demam berdarah. Bukan cuma anak-anak, orang dewasa juga tidak luput dari penyakit yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti ini.

Agustina (27), misalnya. Perempuan berambut keriting ini mengatakan, tiga bulan lalu, ketika Jakarta mulai memasuki masa pancaroba, beberapa penyakit menyerangnya, mulai dari demam berdarah, tifus, hingga infeksi lambung.

Sebulan lamanya, pegawai swasta di sebuah perusahaan di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat, ini mengidap penyakit secara bergantian. "Habis tifus, kena demam berdarah. Demam berdarahnya baru sembuh, kena maag (infeksi lambung)," kisahnya. Akibat penyakit yang dideritanya itu, Agustina harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit swasta di bilangan Salemba, Jakarta Pusat, selama hampir dua minggu. Beruntung perusahaan tempatnya bekerja memberikan jaminan kesehatan bagi karyawannya. Semua biaya pengobatan dan perawatan ditanggung oleh perusahaan yang memperkerjakannya.

Tidak lama setelah ia pulih dari penyakitnya, ganti adik perempuannya yang terserang penyakit. Angel (23) tidak tahu dengan tepat penyakit apa yang menyerangnya beberapa waktu lalu. Gejala yang dialaminya saat itu adalah demam tinggi dan bercak-bercak merah di seluruh bagian tubuh, terutama punggung.

Sekali berobat ke puskesmas ternyata tidak serta-merta membuatnya sembuh. Obat yang diberikan dokter tidak cukup ampuh melawan penyakitnya. Penyakit itu pun terus bersarang di tubuhnya sedikitnya selama 10 hari. Di hari ketujuh, dia pun melakukan pemeriksaan lagi ke puskesmas, dengan pulang tanpa kepastian penyakit yang dideritanya, hanya beberapa jenis obat.

Yayat Supriatna, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Jakarta, mengatakan, wabah penyakit yang terjadi di Jakarta setidaknya memberi gambaran kegagalan koordinasi manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dan pemeliharaan lingkungan kota. Dalam kasus wabah DBD, misalnya, Pemda Jakarta memang telah melakukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), bahkan menerjunkan juru pemantau jentik (jumantik). Namun, hal itu belum membuahkan hasil yang memuaskan.

Buktinya, pasien DBD di sejumlah rumah sakit, terutama rumah sakit umum daerah (RSUD) milik Pemda Jakarta masih cukup tinggi. Ini mencermikan bagaimana penataan hanya untuk "kosmetik" wajah kota dan hanya dilakukan pada lingkungan tertentu saja. (deytri aritonang)



Post Date : 18 Mei 2009