Indonesia, Emiter atau Penyerap?

Sumber:Kompas - 07 Desember 2009
Kategori:Climate

Kebijakan nasional mencanangkan penurunan emisi karbon 26 persen sampai tahun 2020. Ini menyiratkan negeri ini seakan terperangkap pendapat dunia bahwa Indonesia adalah negara emiter nomor tiga dunia. Target itu diprediksi tidak mudah dicapai bila hidden common weakness berupa kendala sosial dan kelemahan budaya kesungguhan tidak dapat disingkirkan.

National Communication tentang perubahan iklim yang digelar di Jakarta di bawah UNDP dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (23/11) menyuratkan hal itu. Padahal, keyakinan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon yang besar harus disuarakan pada pertemuan puncak COP 15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.

Dalam konvensi itu, diharapkan Indonesia dapat mematahkan tudingan sebagai emiter karbon, sebaliknya mampu menunjukkan diri sebagai negara kehutanan penyerap karbon yang dibutuhkan dunia. Tercatat angka sementara serapan karbon hutan Indonesia mencapai 25,773 miliar ton, belum termasuk yang tersimpan dalam lahan hutan gambut dan tanah kering (Tim Karbon APHI, 2009).

Perubahan iklim

Perubahan iklim sudah bukan isu lagi. Fenomena iklim yang ekstrem selama satu abad ini menunjukkan perubahan pola iklim, terkait pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

GRK paling dominan adalah uap air (H2O) disusul karbon dioksida (CO2) yang jumlahnya meningkat tajam. Gas rumah kaca lainnya, seperti metana (CH4), dinitro oksida (N2O), ozon (O3), dan gas-gas lain, ada dalam jumlah lebih kecil. Pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukkan, suhu permukaan bumi meningkat rata-rata 0,050 C per dekade.

Pada kurun waktu 25 tahun terakhir, suhu bumi meningkat 0,180 C per dekade. Gejala pemanasan juga terlihat dari meningkatnya suhu lautan, naiknya permukaan laut, terbelahnya gletser, pencairan es, dan berkurangnya salju di belahan bumi utara (Kompas, 25/11).

Pemanasan atau pendinginan global dipengaruhi faktor alam seperti tingkat radiasi matahari, letusan gunung, dan faktor manusia. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Februari 2007 merilis laporan yang memaparkan kontribusi radiative forcing aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas pertanian, pada peningkatan suhu bumi jauh lebih besar daripada kontribusi faktor-faktor lain (sekitar 90 persen dari total).

Nomor tiga

Kini, Indonesia patut merasa dicederai. Pernyataan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Kompas, 28/8/2009) yang mendasarkan hasil studi McKinsey bahwa Indonesia merupakan penyumbang emisi karbon terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China, kian menyulitkan posisi negeri ini di mata dunia. Tuduhan yang pertama kali dilansir Wetland International Belanda itu jelas tak benar. Dasar perhitungannya mendasarkan kejadian kebakaran 4,0 juta hektar tahun 1997 tak dapat dipertanggungjawabkan karena bersifat kasuistis dalam era badai El Nino.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada Workshop Carbon Capture Storage (30- 31/10/2008) juga menyebutkan, Indonesia termasuk 10 besar penyumbang emisi GRK di dunia dengan kontributor terbesarnya adalah sektor kehutanan 85 persen, antara lain akibat kebakaran gambut atau ladang. Sektor kehutanan yang selayaknya mendapat insentif karena kemampuan serap karbonnya kini harus melakukan penjelasan yang pasti sulit diterima.

Pernyataan pejabat resmi RI itu tentu amat mengkhawatirkan dan bisa mengakibatkan salah paham mengingat tidak dilengkapi data akurat, tanpa penelitian memadai. Karena itu, Indonesia harus membuat langkah berani dan bertanggung jawab tentang posisinya. Pertama, bukan sebagai negara emiter karbon nomor tiga dunia. Kedua, penegasan sebagai emiter atau penyerap karbon dengan dasar neraca karbon yang harus dihitung ulang menggunakan metodologi yang benar dan data akurat.

Neraca karbon negara

Membuat neraca karbon oleh tiap negara sebaiknya menjadi usulan resmi Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum global, terutama di COP 15 UNFCCC Kopenhagen. Tiap negara seharusnya menghitung berapa besar penyerapan dan emisi karbon dengan metode yang disepakati.

Isu perubahan iklim dan pemanasan global yang telah merupakan isu strategis selayaknya disikapi secara arif, tidak melemahkan posisi Indonesia, atau saling melemahkan posisi antarsektor pembangunan. Kesiapan sektor kehutanan menurunkan emisi sebesar 14 persen sesuai amanat presiden dengan indikasi pembangunan hutan tanaman 0,5 juta hektar per tahun, penurunan jumlah hot spots 20 persen, pembangunan hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat 4,0 juta hektar (Wandoyo, 2009), serta sektor energi (6,0 persen) dan sampah (6 persen), masih akan diuji masyarakat dunia.

Karena itu, dibutuhkan komitmen yang solid dan perjuangan yang ekstra keras dari seluruh komponen bangsa bukan secara sektoral. Pihak wakil rakyat di DPR pun wajib memahami persoalan aktual yang telah menjadi isu sentral kehidupan dan pembangunan global saat ini. Transtoto Handadhari Rimbawan UGM



Post Date : 07 Desember 2009