Indonesia Perlu Payung Hukum Sampah Elektronik

Sumber:Jurnal Nasional - 04 Januari 2011
Kategori:Sampah Jakarta

Apa yang akan anda lakukan dengan sampah elektronik di rumah, seperti lampu bekas, monitor televisi, monitor komputer bekas, atau bahkan sekedar baterai bekas?

Sebagian besar kita memilih untuk membuangnya begitu saja bersama-sama dengan sampah rumah tangga lainnya. Berharap akan ada pihak-pihak lain yang akan memperlakukan sampah elektronik itu dengan “benar”.

Atau, jika Anda memiliki pengetahuan cukup baik tentang bahaya yang bisa ditimbulkan oleh sampah-sampah elektronik ini, lebih memilih untuk terus menyimpannya di rumah.

Sembari berharap, produsen-produsen barang elektronik di Indonesia akan segera menyadari tanggung jawab mereka untuk segera menyediakan badan pengolahan dan pengelolaan kembali (recycle) sampah-sampah elektronik itu.

Khusus di Indonesia, hukum yang memayungi upaya pengelolaan sampah elektronik (e-waste) ini belum di susun secara khusus. Pemerintah dan anggota dewan merasa bahwa undang-undang pengelolaan limbah bahan berbahaya beracun (B3), cukup mengakomodasi.

Bahkan menurut peneliti dari Center for Environmental Law, Dyah Paramita, Indonesia belum memiliki definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sampah elektronik. Termasuk dengan cara pengelolaan yang tepat.

Ironisnya, Indonesia tidak saja memproduksi sampah-sampah elektroniknya sendiri. Tetapi, juga menjadi Negara tujuan untuk impor sampah-sampah elektronik, khususnya yang berasal dari Amerika dan China. Kondisi yang serupa juga terjadi di India.

Kondisi itu, menurut Direktur Bali Fokus Yuyun Ismawati terjadi karena Indonesia menilai sampah-sampah elektronik itu bagaikan emas yang masih bisa dipoles kembali. Salah satunya menjadi bahan baku industri elektronik di dalam negeri yang kemudian akan diekspor kembali ke Negara lain seperti ke jazirah Arab.

Saat ini, pengelolaan sampah-sampah elektronik di Indonesia baru sebatas peleburan sampah-sampah elektronik menjadi plastik, aneka jenis logam atau dirakit kembali menjadi barang elektronik baru. Namun, terbatasnya jumlah industri pengelolaan sampah elektronik, menyebabkan lebih banyak sampah elektronik yang bertebar di lingkungan bebas ketimbang di industri pengelolaan.

Meski demikian, sebuah artikel yang diterbitkan situs Discovery news, menyebutkan bahwa sebagian besar industri pengelolaan sampah-sampah elektronik minim wawasan lingkungan. Dalam pengertian pengelolaan sampah elektronik masih menghasilkan limbah beracun di hasil akhir. Pasalnya, untuk pengelolaannya sebagian besar industri pengelolaan menggunakan asam dan arsenic sebagai bahan kimia penghancur. Suci Dian Hayati



Post Date : 04 Januari 2011