Inovasi Para Duta Muda Lingkungan

Sumber:Kompas - 14 November 2008
Kategori:Lingkungan

Empat anak muda dari empat perguruan tinggi negeri berbeda tersebut mencoba melakukan dan menciptakan sesuatu yang berguna terkait dengan masalah lingkungan hidup. Aktivitas itulah yang membuat mereka mewakili Indonesia ke forum Bayer Young Environment Envoy di Jerman, 2-7 November lalu.

Empat duta muda lingkungan itu adalah Doni Pabhassaro dari Universitas Indonesia, Fernando Zetrialdi (Institut Teknologi Bandung), Veni Sevia Febrianti (Universitas Jember, Jawa Timur), dan Sri Rezeki (Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat).

”Mereka adalah empat terbaik dari yang lolos ke final untuk mengikuti BYEE di Jerman,” ujar Asmara Pusparani, Corporate Communication Manager PT Bayer Indonesia. Pemenang Bayer Young Environment Envoy (BYEE) 2008 tersebut dipilih dari 15 anak muda yang menjadi finalis dan telah mengikuti kegiatan Bayer Eco-Camp di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Inovasi terkait pemecahan masalah lingkungan yang membawa mereka berjalan-jalan ke Jerman, khususnya di lingkungan kantor pusat Bayer di Leverkusen. Bersama mereka hadir pula 46 duta muda lingkungan dari 17 negara lain, yakni Brasil, China, Kolombia, Ekuador, India, Kenya, Korea Selatan, Malaysia, Peru, Polandia, Singapura, Afrika Selatan, Thailand, Filipina, Turki, Venezuela, dan Vietnam. Kecuali dari Polandia, duta-duta itu berasal dari negara-negara Asia, Amerika Latin, dan Afrika.

Di tempat itu mereka saling berbagi pengalaman, baik tentang kondisi lingkungan negara masing-masing maupun yang telah mereka lakukan untuk ikut berperan menanggulangi masalah itu. Anak-anak muda dari berbagai penjuru dunia urun rembuk masalah sampah, penghijauan, hingga mencari energi alternatif yang sangat dibutuhkan umat manusia.

Doni Pabhassaro, misalnya, mencoba mengubah sampah organik tak berguna menjadi biobriket. Energi alternatif ini dapat digunakan untuk keperluan memasak para ibu rumah tangga. Bentuknya kira-kira seperti briket batu bara.

”Namun, saya jamin harganya jauh lebih murah dan lebih mudah untuk memproduksinya. Bahan baku sampah organik ada di mana-mana, mudah didapat. Kompor untuk menyalakan biobriket ini pun mudah untuk dibuat dan murah,” kata anak muda lulusan Teknik Kimia, yang baru diwisuda pada September lalu tersebut.

Gagasan Doni itu sempat digugat oleh duta muda (envoy) asal Brasil, Carolina Arruda, dalam diskusi di salah satu ruangan di kantor pusat Bayer itu. Mahasiswi Pernmambuco University itu mempersoalkan asap dari pembakaran briket yang mengancam lingkungan. Doni sekali lagi melontarkan gagasan bahwa sebagian besar asap dari pembakaran briket tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk bahan pengawet.

Mencoba menciptakan energi alternatif dilakukan pula oleh Sri Rezeki. Mahasiswi Universitas Tanjungpura Pontianak itu memanfaatkan tandan kosong sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ini adalah buah kelapa sawit yang tidak berisi sehingga tidak dimanfaatkan.

”Sebanyak 23 persen dari tandan buah segar kelapa sawit umumnya kosong dan dibuang. Saya mencoba memanfaatkannya untuk membuat biogas. Bahan bakar ini dapat digunakan ibu rumah tangga untuk memasak,” ujar mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Jurusan Kimia yang tengah menyelesaikan skripsinya tersebut.

Proses pembuatan biogas dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan drum dan pipa. Tandan kosong sawit dimasukkan ke dalam drum, lalu dicampur air dan soda api. Kemudian, untuk mempercepat fermentasi, dicampur pula dengan katalis berupa kotoran ayam. Setelah didiamkan satu bulan, terciptalah gas dari drum yang siap disalurkan menggunakan pipa ke kompor.

Banyaknya sampah yang tidak dimanfaatkan pula yang mendorong Fernando Zetrialdi, mahasiswa semester lima Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, mencoba turut memecahkannya. Berbeda dengan Doni dan Sri, dia mencoba mendaur ulang sampah bungkus teh kotak atau kemasan sejenis yang biasa disebut tetrapack. Dari daur ulang kemasan ini diciptakanlah bahan material baru yang dapat dimanfaatkan untuk kertas seni serta bahan baku mebel, ukiran, dan lainnya.

Edo, demikian panggilannya, bahkan tengah membangun pabrik mini untuk pengolahan dan daur sampah itu di Bandung.

Menyadarkan

Lain lagi yang dilakukan Veni Sevia Febrianti. Terdorong oleh maraknya penebangan liar serta bencana banjir dan tanah longsor, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember tersebut tertarik untuk melakukan penghijauan di lahan-lahan kritis di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Pembibitan pun dia lakukan, mendompleng ayahnya yang telah terlebih dahulu melakukan hal itu.

Dengan menghijaukan kawasan gundul, masyarakat mendapat dua keuntungan. Pertama, lingkungannya menjadi hijau dan lebih aman dari bahaya longsor. Kedua, mereka mendapatkan nilai lebih dari pohon yang ditanam. Pohon jenis sengon, misalnya, dapat ditebang lima tahun kemudian dan bisa dijual. Lahan itu pun lalu ditanami lagi dengan bibit baru.

Namun, tidak semua warga lantas menyadari keuntungan dengan melakukan penghijauan. Veni lalu terdorong untuk melakukan sosialisasi soal penanaman kembali tersebut. Tentu saja kegiatan itu dibantu sejumlah tokoh masyarakat di daerah sasaran. Hasilnya, masyarakat akhirnya mau menanami lahan kosong. Sebanyak 5.000 bibit tanaman berbagai jenis yang disemai oleh Veni saat ini telah ditanam di Bondowoso.

Berbagai inovasi yang dilakukan anak-anak muda dari berbagai belahan dunia merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap kelangsungan hidup di bumi ini.

”Kunjungan anak-anak muda dari berbagai belahan dunia ini memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan pengetahuan tentang lingkungan,” kata Wolfgang Plischke Wolfgang Pischke, Member of The Board of Management of Bayer AG, saat menerima para duta muda tersebut.

Wolfgang Pischke menyebutkan, BYEE adalah program kerja sama Bayer dengan United Nation Environment Programme (UNEP). Program BYEE dimulai tahun 1998 di Thailand.

Pada tahun 2001, Bayer memperluas program tersebut dengan melibatkan para peserta dari Filipina dan Singapura. India mulai melaksanakannya tahun 2002, sedangkan Indonesia memulainya tahun 2004.

Kesuksesan BYEE juga dapat dilihat dari banyaknya peserta BYEE yang kemudian berperan aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan tingkat dunia, seperti World Environment Day, Earth Day, Ozone Day, dan dalam berbagai proyek lingkungan di negara masing-masing.

Selama di Jerman, para duta muda lingkungan mengunjungi beberapa lokasi di lingkungan pabrik Bayer dan berdiskusi dengan pakar lingkungan. Mereka juga memperoleh kesempatan untuk berkunjung ke North Rhine-Westphalia State Environmental Protection Agency dan AVEA, sebuah fasilitas pembuangan dan daur ulang di Leverkusen. Di AVEA mereka mendengar langsung penjelasan pengolahan dan daur ulang sampah dari Hamid Shakoor, pemimpin perusahaan itu.

Mereka pun mendapat kesempatan melihat beberapa proyek penelitian di Bayer CropScience di Monheim serta melakukan eksperimen di laboratorium di kompleks penelitian itu. Anak-anak muda tersebut pun mendapat kesempatan melakukan penelitian di laboratorium Lumbricus di tepi Sungai Rhine setelah sebelumnya menyusuri sebagian sungai itu menggunakan kapal Max Pruss. (Agus Mulyadi)



Post Date : 14 November 2008