Insinerator Rp 1,2 Triliun, Manajemen Pengelolaan Sampahnya Amburadul

Sumber:Kompas - 23 Juni 2005
Kategori:Sampah Jakarta
PEMERINTAH Provinsi DKI kembali mengajukan usul pembelian insinerator. Mesin pembakar sampah senilai Rp 1,2 triliun per unit itu sudah dirapatkan dengan DPRD DKI. Dengan insinerator buatan Jepang itu, dijanjikan pengolahan sampah di Jakarta akan lebih baik.

IRONISNYA, teknologi mahal itu tidak didukung pengelolaan sampah yang baik. Dari hulu ke hilir pengelolaan sampah di Jakarta sangat amburadul.

Di banyak tempat di Jakarta sampah tampak menumpuk di mana-mana. Di pinggir sungai sampah-sampah yang menumpuk sama sekali tidak terangkut.

Di pintu-pintu air ketebalan sampah yang menumpuk itu mencapai satu meter. Kalau tumpukan itu diinjak, orang yang menginjak tidak akan tenggelam, kata Suwardi, warga yang tinggal di dekat Pintu Air Manggarai.

Sampah-sampah yang hanyut di sungai bahkan sampai mencemari kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Petugas yang menjaga kawasan itu sudah berulang kali memasang jaring agar sampah tidak masuk. Namun, ketika air sungai naik, sampah-sampah itu langsung membanjiri kawasan hutan lindung tersebut.

Tumpukan sampah juga banyak mengokupasi lahan-lahan kosong di sekitar permukiman. Di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, misalnya, lahan kosong seluas lebih kurang empat hektar digunakan untuk menumpuk sampah.

Sampah berbau menyengat itu bahkan mencapai ketinggian hingga lima meter. Menurut warga, keberadaan TPA bayangan ini sudah ada sejak enam tahun lalu tanpa pernah ditertibkan pemerintah.

Di bekas Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Cilincing yang sekarang sudah ditutup, sampah juga dibuang di lahan- lahan kosong.

Produksi sampah rumah tangga di Jakarta, menurut data Indonesia Solid Waste Association (InSWA), mencapai 25.687 m>sprscript<3>res<>res< sampah atau sekitar 6.000 ton sampah. Sampah ini sebagian besar berupa sampah organik (80 persen) dan sampah non-organik (20 persen).

Penyumbang sampah terbesar di Jakarta berasal dari sampah rumah tangga yang mencapai 15.382 m3. Jumlah ini mencapai 58 persen dari total sampah yang dihasilkan setiap harinya.

Dari puluhan ribu sampah tidak semuanya terangkut dengan baik. InSWA mencatat, sekurangnya 3,94 persen atau 1.012 m3 hari sampah di Jakarta belum terangkut.

Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta Ritola Tasmaya mengakui, program recycling, reuse, dan reduce (3R) di DKI masih belum optimal. Untuk sampah dalam skala kecil, program 3R mudah diterapkan. Tetapi, untuk sampah skala besar masih sulit, kata Ritola.

Menurut Ritola, insinerator yang akan dibeli dengan harga Rp 1,2 triliun itu rencananya untuk membenahi pengelolaan sampah di Jakarta. Dia menambahkan, setelah menggunakan teknologi tinggi itu, sampah mulai harus dipisahkan antara sampah organik dan non-organik. Para pemulung nantinya juga akan dikoordinasikan untuk memilah-milah sampah yang masih tercampur di tempat pembuangan akhir (TPA).

Ritola mengatakan, tim teknis dari Mitsubishi Jepang sudah datang ke Jakarta. Persoalannya, untuk pembiayaan Pemprov DKI masih mengandalkan pemerintah pusat dengan skema pembiayaan soft loan (pinjaman lunak).

Untuk mendapatkan soft loan harus dilakukan antarpemerintah negara (government to government), kata Ritola.

Sekretaris Komisi D (bidang pembangunan) Muchayar mengungkapkan, dana Rp 1,2 triliun itu bukan hanya untuk membeli mesin insinerator, melainkan juga untuk persiapan lahan. Harga mesin insineratornya hanya sekitar Rp 450 miliar per unit dengan kapasitas 1.000 ton sampah.

Dengan produksi sampah di Jakarta yang mencapai 6.000 ton, maka dibutuhkan enam insinerator. Biaya yang dibutuhkan berarti mencapai Rp 2,7 triliun. Itu hanya untuk membeli alatnya.

TEKNOLOGI pengolahan sampah dengan insinerator bukan barang baru di Jakarta. Sejak sekitar tahun 1990, insinerator sudah dipakai di Jakarta. Sayangnya, insinerator yang digunakan adalah insinerator jadi-jadian. Insinerator yang dipakai hanya berfungsi sebagai tungku pembakaran biasa tanpa ada teknologi tinggi untuk mengurangi pencemaran.

Banyak insinerator yang dibeli dengan dana miliaran rupiah akhirnya tak bisa berfungsi seperti yang diharapkan. Di Petamburan, Tanah Abang, misalnya, insinerator sudah lama tidak difungsikan. Pengolahan sampah menjadi kompos di lokasi tersebut juga terbengkalai.

Sementara itu, Pemprov DKI sendiri masih kesulitan mencari lahan untuk menumpuk sampah jika insinerator ini jadi dibeli. Pasalnya, beberapa lokasi yang ditunjuk DKI sebagai tempat pengolahan sampah selalu ditolak warga. Warga sudah tidak percaya lagi karena pemerintah tidak benar-benar menjalankan teknologi pengolahan sampah seperti yang diusulkan ke anggota dewan. (LUSIANA INDRIASARI)

Post Date : 23 Juni 2005