Irigasi, buat Korporasi atau Petani

Sumber:Kompas - 22 Maret 2010
Kategori:Hari Air Sedunia 2010

Hari Senin (22/3) ini dunia merayakan Hari Air. Tema Hari Air tahun ini adalah ”Air Bersih untuk Dunia yang Lebih Sehat”. Kehidupan di muka bumi ini sangat bergantung pada air. Manusia, hewan, dan tumbuhan tak bisa melepaskan diri dari kebutuhannya terhadap air.

Untuk memperingati Hari Air, Kompas dengan Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia serta Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), Rabu (17/3), menggelar diskusi terbatas tentang air.

”Saya takut ketika investasi pemerintah dialihkan bagi food estate milik perusahaan besar, irigasi bagi petani kecil ditelantarkan,” kata Sudar D Atmanto, Sekretaris Eksekutif Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia, dalam diskusi terbatas itu.

Dia menegaskan, bumi tak lagi mudah ditempati. Ekspansi lahan pertanian akan cenderung lebih sedikit dibanding pertumbuhan penduduk. Harga pangan pun akan terus naik, tetapi manusia harus membelinya karena tetap harus makan.

Dua kunci sukses ketersediaan pangan, yaitu air dan lahan, akan diperebutkan. Prediksi bahwa dunia akan mengalami kelangkaan pangan akan menyedot animo negara kaya dan korporasi multinasional untuk terjun ke bisnis pangan.

Akibatnya, dari sekadar urusan ”mengenyangkan perut”, budidaya tanaman pangan akan menjadi ladang baru untuk mengeruk kekayaan. Aksi negara dan korporasi pun akan diibaratkan sebagai neokolonialisme lantaran melakukan okupasi hingga jutaan ribu hektar lahan, yang dibangun menjadi food estate (kawasan pangan).

Di dalam negeri, food estate gencar disuarakan. Pemerintah telah mendesain kawasan itu di Merauke, Papua. Satu area pusat produksi (production centre area/PCA) rata-rata didesain 5.000 hektar atau dengan luas minimum 1.000 hektar.

Kalkulasi investasinya pun menggiurkan. Selain titik impasnya empat tahun, tingkat pengembalian investasi (IRR) sekitar 29,5 persen, lebih tinggi dari IRR jalan tol yang hanya 17-19 persen. Tak heran jika konglomerat lokal dan asing mulai melirik bisnis pangan ini.

Irigasi minim

Tragisnya, kampanye food estate tak diimbangi dengan tindakan untuk menjamin ketersediaan air untuk mengantisipasi jika dibuka area-area baru pengembangan pertanian.

Dua per tiga bumi memang berupa air, tetapi 97,5 persennya asin. Air tawarnya hanya 2,5 persen, itu pun dua per tiganya terperangkap dalam es di kutub dan puncak-puncak gunung.

Akibat keterbatasan air, aktivis lingkungan Vandana Shiva mengingatkan adanya potensi ”perang air” pada beberapa dekade mendatang. Namun, di negara berkembang seperti Indonesia, ”perang air” bisa lebih cepat terjadi meski negeri ini memiliki 5.886 sungai.

Hal itu ditengarai terjadi karena kurangnya dana sehingga infrastruktur irigasi yang terbangun hanya bisa mengairi 7,7 juta hektar meski potensinya 36 juta hektar. Tanpa irigasi, petani hanya menanam padi sekali setahun. Padahal, untuk bisa hidup layak, setidaknya harus menanam 2-3 kali setahun.

Tak semua jaringan irigasi di negeri ini kondisinya baik. Audit teknis lahan irigasi Kementerian Pekerjaan Umum hingga Februari 2010 menemukan 54 persen atau 1,23 juta hektar lahan irigasi dalam kewenangan pemerintah pusat rusak.

Data sementara PU juga menyatakan, dari 763.800 hektar lahan irigasi dalam kewenangan pemda, 425.300 hektar di antaranya rusak dengan berbagai tingkat kerusakan, mulai dari berat hingga ringan.

Jadi, andai di Merauke benar-benar dibangun food estate minimal seluas 1 juta hektar, anggaran negara dikhawatirkan akan tersedot untuk membangun jaringan irigasinya. Lalu, bagaimana dengan irigasi untuk petani kecil?

Apakah masih tersedia dana untuk membangun jaringan irigasi bagi petani di Sulawesi Selatan, di Sumatera Selatan? Bagaimana dengan dana operasi dan pemeliharaan bagi daerah-daerah irigasi?

”Food estate sah-sah saja, tetapi konsepnya harus dipelajari,” kata Effendi Pasandaran, Ketua Tim Pengarah Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia.

Menurut Effendi, prioritas seharusnya ditujukan untuk 40 juta rumah tangga petani, bukan irigasi untuk korporasi. Apalagi, di tengah maraknya ”pengambilan lahan” (land grabbing) oleh negara kaya di negara miskin, terungkap fakta bahwa hasil pertanian dari lahan-lahan itu ”dilarikan” ke negara investor, bukan untuk ketahanan pangan dari negeri yang lahannya ”dicaplok”. Jika demikian, lalu untuk siapa irigasi itu dibangun?

Untuk rakyat

Direktur Bina Pengelolaan Sumber Daya Air Kementerian PU Sugiyanto menegaskan, pemerintah akan adil dalam mengalokasikan air sehingga tak perlu ada kekhawatiran dengan food estate. ”Pengalokasian air itu transparan, ada rapat-rapatnya,” kata dia.

Jika daerah irigasi dibangun di Merauke, kata Sugiyanto, pengelolaan air tetap di tangan pemerintah agar kebutuhan seperti air minum dipenuhi. ”Tak mungkin pengelolaan irigasi dilimpahkan ke swasta, apalagi investor asing,” ujar Sugiyanto.

Pemerintah, kata Sugiyanto, juga berpikir mengenakan tarif bagi irigasi di food estate.

Meski demikian, PU dan Kementerian Pertanian belum merilis data resmi luasan jaringan irigasi untuk food estate dalam lima tahun mendatang. Investasi food estate memang baru dinegosiasikan, belum putus.

Belum adanya data resmi menyebabkan kecurigaan atas ”agenda tersembunyi” pemerintah dengan investor. Terlebih, hasil bumi dari food estate tak dijamin sepenuhnya bagi ketahanan pangan domestik.

Namun, bagi Mohammad Zainal Fatah, Kepala Subdirektorat Air Baku, Irigasi, dan Rawa Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, lahan pertanian dan jaringan irigasi baru berbentuk food estate atau bentuk lain tetap harus direncanakan. ”Di tengah ancaman berkurangnya pangan, kita tak boleh berdiam diri,” tegas dia.

Kawasan pangan memang masih berproses. Oleh karena itu, harus tetap membuka peluang bagi masukan dari para akademisi, lembaga swadaya masyarakat, bahkan dari petani biasa tentang bagaimana manajemen dan ketersediaan airnya.

Pemerintah dan rakyatnya harus ”duduk bersama” bila memang ingin rakyat tetap berdaulat dan hidup lebih layak.... (HARYO DAMARDONO/HERMAS E PRABOWO)



Post Date : 22 Maret 2010