Isu Laut Menghilang dari Teks Visi Bersama

Sumber:Kompas - 16 Desember 2009
Kategori:Climate

Kopenhagen, Kompas - Isu kelautan yang sebelumnya banyak diadopsi dalam belasan paragraf draf pembahasan konferensi, dalam perkembangannya, menghilang dari teks usulan pada bagian visi bersama.

Draf usulan baru yang kini menjadi pegangan para negosiator menghilangkan pengakuan kerentanan ekosistem laut dan pesisir pada visi bersama.

Draf pembahasan justru memunculkan pengakuan kawasan pegunungan sebagai salah kawasan rentan dampak perubahan iklim. Hal itu mengadopsi kepentingan negara-negara, seperti Nepal dan Tibet, dengan pegunungan atau bongkahan besar es (gletser) yang terus meleleh.

”Kami akan terus berupaya agar dimensi kelautan diakui dalam draf kesepakatan bersama. Itu penting bagi Indonesia,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam jumpa pers di Bella Center, Senin (14/12) sore waktu Kopenhagen (Senin tengah malam WIB).

Indonesia berjuang

Penghilangan teks dalam draf masih diperjuangkan delegasi RI agar dimasukkan lagi. Indonesia merasa perlu dengan pengadopsian isu kelautan dalam draf kesepakatan. Selain luas laut Indonesia yang mencapai 2/3 total luas kedaulatan, puluhan juta jiwa tinggal di kawasan pesisir.

Indonesia, yang sukses menyelenggarakan Konferensi Kelautan Sedunia (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, pada Mei lalu, juga merasa wajib mendorong pengakuan itu. Pertemuan yang dihadiri delegasi dari 87 negara tersebut menghasilkan Deklarasi Manado, yang di antaranya berisi komitmen mendorong isu kelautan diadopsi dalam negosiasi iklim.

Di Kopenhagen, Dana untuk Lingkungan Global (GEF) mengumumkan komitmen pendanaan sebesar 63 juta dollar AS bagi Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (CTI), yang meliputi enam negara, termasuk Indonesia.

Kawasan Segitiga Terumbu Karang merupakan penyuplai penting produk laut bagi ratusan juta manusia. Kini laut terancam oleh proses pengasaman.

Pengasaman laut yang diakibatkan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer berakibat fatal bagi ekosistem laut. Karbon dioksida yang banyak diserap laut menyebabkan kematian massal terumbu karang, yang akan berdampak langsung pada produktivitas biota laut.

Menurut Hendra Yusran Siry, negosiator RI bidang kelautan, isu kelautan sudah diakui dalam mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas. ”Kami khawatir seluruh pencapaian di mitigasi dan lainnya menjadi tidak berarti karena di visi bersama tidak tercantum,” katanya. Delegasi RI sudah memasukkan lagi dalam usulan draf teks baru di bawah Kelompok Kerja Adhoc Rencana Kerja Sama Jangka Panjang (LCA).

Ketiadaan pengakuan kerentanan laut dan pesisir dalam visi bersama bertentangan dengan kesepakatan tahun 1992, yang tegas diadopsi dalam Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Di sana diakui peran penting ekosistem laut dan pesisir sebagai penyerap dan ”gudang” karbon, yang sewaktu-waktu juga dapat mengemisikan ke atmosfer.

Soal prioritas

Indonesia bersama 12 negara lain sepakat mendorong isu kelautan diadopsi dalam kesepakatan konferensi. Kelompok negara tersebut dibentuk pada pertemuan membahas iklim di Bonn, Jerman, tahun ini.

Namun, kebersamaan itu dalam negosiasi di Kopenhagen kurang tecermin. ”Bukan berarti tidak ada lagi, tetapi mungkin soal prioritas setiap negara,” kata Hendra. Hal tersebut tidak melemahkan niat Indonesia tetap memasukkan isu itu dalam draf kesepakatan. Data Konvensi Keanekaragaman Hayati, yang dirilis di Kopenhagen, memperkirakan, keasaman laut akan meningkat 150 persen pada tahun 2050, atau 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan pengalaman selama 20 juta tahun. Dampaknya, rantai kehidupan biota akan terganggu sehingga mengancam suplai makanan bagi manusia. (GSA)



Post Date : 16 Desember 2009