Isyarat Air dari Salatiga

Sumber:Kompas - 05 November 2006
Kategori:Air Minum
Membaca isyarat alam boleh jadi merupakan kearifan yang menumpul di negeri ini. Sekelompok seniman Salatiga, Jawa Tengah, mengajak kita untuk belajar mengeja bahasa alam sebelum datang isyarat yang lebih konkret, yaitu bencana. Mereka menggelar Festival Mata Air di sendang Senjoyo, Salatiga, pada tanggal 4-5 November 2006 ini.

Wariskan Mata Air, Bukan Air Mata." Kalimat itu ditulis oleh pelajar sekolah dasar. Ia adalah peserta lomba lukis yang digelar dalam rangka Festival Mata Air. Dengan krayon, ia menggambar gunung, danau, dua perahu, tiga ekor bebek, serta seorang anak dan orang tua.

Festival Mata Air berangkat dari keprihatinan seniman Salatiga melihat isyarat alam yang luput dari perhatian. Banjir, tanah longsor, kekeringan yang menimpa negeri ini dibaca sebagai bahasa alam paling konkret untuk menjawab kesalahan besar (atau kebodohan besar?) penghuninya.

Festival diprakarsai seniman yang tergabung dalam komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK). Puncak festival berlangsung di sendang Senjoyo. Di sana digelar hiburan dari kesenian rakyat dan kontemporer seperti musik, tari, teater, barongsai, sampai peragaan mode. Ada pula diskusi lingkungan, penanaman bibit, sampai bazar informasi tentang lingkungan. Lewat kesenian dan hiburan, diharapkan tumbuh kesadaran orang akan pentingnya memelihara ekologi.

"Kami sampaikan info sederhana kepada anak-anak yang ikut lomba bahwa membuang plastik itu akan menghambat air untuk meresap ke tanah," kata Vanessa Hyde, sekretaris TUK, yang ditemui di sanggar mereka di Salatiga.

Gambaran ideal tentang alam segar itu mewujud dalam lukisan yang didominasi obyek berupa gunung, sungai, sawah, pohon, bunga. Di atas gunung ada burung terbang. Di sungai selalu tampak ikan, dan anak-anak mandi.

Kenangan air

Gunung, pohon, sungai, sendang berikut anak-anak mandi masih muncul dalam gambar anak-anak Salatiga saat ini. Kenangan orang Salatiga akan kampung halaman adalah kenangan akan sungai dan mata air yang jernih dan segar. Roy Marten, aktor kelahiran Salatiga itu, selalu terkenang akan sendang Senjoyo. Di sanalah dulu Roy, dan anak muda Salatiga pada umumnya, berpacaran.

"Indah sekali. Airnya bening dan segar," kenang Roy.

Anak-anak Salatiga boleh dibilang tak lepas dari budaya adus kali, mandi di sungai.

"Setiap kali mulih gasik (pulang sekolah lebih awal) saya dan teman-teman ke Kalisombo. Kami melepas pakaian untuk ditumpuk di tas, telanjang bulat dan byur! Kami berendam di kolam alam yang jernih," kenang Antyo Rentjoko, pria kelahiran Salatiga, 40-an tahun silam, yang dulu tinggal di Jalan Andong, Salatiga.

Salatiga memang dimanjakan oleh air yang dipasok dari lereng Gunung Merbabu, Telomoyo, Gajahmungkur. Tak kurang dari 65 mata air atau belik dalam bahasa lokal tersebar di berbagai penjuru kota. Limpahan air dari mata air itu mengalir ke sungai-sungai yang menjalar di berbagai kampung dan dusun di Salatiga.

Itulah mengapa kampung atau desa di Salatiga mempunyai nama yang mengacu pada nama sungai. Tersebutlah antara lain Kalitaman, Kalicacing, Kalisombo, Kalioso, Kalibodri, Kaligetek, Kalibening, Kalinangka, dan kali-kali lain.

Kering

Namun, kini sebagian sungai telah kehilangan limpah dan beningnya. Dengar cerita Roy Marten tentang sungai kecil di depan rumahnya di Kampung Gilingrejo, Kelurahan Gendongan.

"Dulu di depan rumah saya ada sungai kecil. Airnya bening dan melimpah mengalir dari Senjoyo. Setelah ada pabrik di tahun 1960-an, air sungai jadi berwarna-warni. Kadang merah atau kuning. Sekarang kering. Menyedihkan," kata Roy.

Sendang dan mata air juga mulai menyusut, termasuk mata air Senjoyo. Elevasi air pada bak penampungan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Salatiga di Senjoyo pada enam tahun terakhir menurun tajam. Menurut Darminta, Direktur PDAM Salatiga, elevasi terendah di musim kemarau kini berada pada kisaran 90 sentimeter. Padahal, sekitar enam tahun lalu elevasi terendah adalah 140 sentimeter. Penurunan debit air juga terjadi di mata air lain, seperti Kalitaman, Kali Wedok, dan Kali Benoyo.

Akibat menurunnya debit air Senjoyo, pasokan air untuk PDAM Salatiga pun berkurang. Akibatnya, pelanggan di Kelurahan Kalicacing tak kebagian air. Keran mereka mampat sekitar sebulan lebih. Mereka, termasuk ibu-ibu sampai anak-anak, mendemo PDAM dengan membawa handuk dan gayung.

Hasil penelitian oleh peneliti lingkungan Harry Jocom Msi pada 2000-2003 terhadap 64 sumber air, tercatat 29 di antaranya mengalami penurunan tajam. Bahkan tujuh di antaranya sudah kering.

Komunal vs privatisasi

Belik bukan sekadar mata air. Ia adalah artefak sosial dalam kehidupan masyarakat dengan kultur air melimpah seperti Salatiga. Di belik terjadi interaksi sosial antarwarga. Lihatlah belik Seruni di Dusun Legok, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Di belik orang-orang bisa bersilaturahmi, berhibur diri dengan sesama pengguna belik.

Belik ini terletak di bawah pohon munggur, bulu dan beringin yang rindang dan teduh. Di sekitarnya rimbun dengan kebun bambu. Air mengucur di sela akar-akar pohon yang mengular. Air belik disalurkan ke bak beton ukuran 2,5 x 1,5 x 1 meter. Dari bak itulah air dialirkan untuk keperluan mandi dan cuci bagi 26 keluarga atau sekitar seratus orang. Warga membangun dua tempat mandi berupa bilik-bilik bata yang masing-masing untuk pria dan perempuan.

Suatu siang di pertengahan bulan Oktober yang panas, dua ibu mandi dan mencuci pakaian di belik Seruni. Mereka dengan asyik curhat seputar masalah keluarga. Terjadilah percakapan antarbilik dari dua ibu yang masing-masing sedang mandi dan mencuci itu. Seorang bapak di bilik yang terpisah yang kebetulan mendengar percakapan itu ikut-ikut nimbrung.

Ini belik komunal. Beban masalah keluarga dibagi-bagi dengan tetangga. Sebagai milik komunitas, belik Seruni dirawat bersama-sama. Setiap Kamis, ibu-ibu kelompok arisan membersihkan belik. Suasana komunal dan guyub terasa di belik-belik lain.

Keguyuban yang tumbuh dalam masyarakat budaya belik kini berhadapan dengan tabiat kapitalis yang melahirkan budaya privatisasi. Belakangan, sebagian belik mulai kehilangan fungsi komunalnya. Terjadi semacam privatisasi belik.

Sebuah usaha cuci mobil dan motor memanfaatkan belik secara eksklusif. Ia menyedot air belik dan menampungnya pada menara tampung. Dari tampungan itu air disalurkan lewat pipa ke usaha cuci mobil. Di lain tempat, belik dimanfaatkan untuk keperluan pribadi usaha ternak ayam.

Tangkapan air

Salatiga yang terletak di ketinggian 450-800 meter di atas permukaan laut itu secara geografis memang kaya air. Air dipasok dari daerah tangkapan air di sekitarnya, yaitu kawasan lereng Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Gajahmungkur. Gunung dan perbukitan itulah yang mengirim air secara alami ke mata air, ke belik-belik di sekitar Salatiga. Terjadi perubahan di daerah tangkapan air dan akibatnya terasa pada menurunnya debit mata air.

"Banyak kegiatan pembangunan yang mengganggu siklus air yang menghasilkan mata air di Salatiga. Begitu ruang hijau beralih fungsi, air tak terserap," kata Mustain, Kepala Bidang Lingkungan Hidup Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Salatiga.

Lereng Merbabu gundul. Sebagian dari daerah tangkapan air itu telah menjadi daerah industri. Tanaman yang biasanya berfungsi sebagai penangkap air telah berganti dengan tanaman budidaya yang membikin air bablas mengalir. Hutan pinus monokultur di lereng Merbabu disebut-sebut sebagai penyebab tidak meresapnya air ke dalam tanah.

"Pinus jangan dipakai sebagai monokultur. Spesies lokal seperti ficus atau sejenis beringin, preh, dan awar-awar jangan dibabat habis. Siapa tahu ada fungsi peresap," kata Sunarto, pakar ekologi yang mengajar di Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Selain itu, Kota Salatiga juga berkembang pesat. Belik Kalitaman yang terletak di cekungan di tengah kota kini dikitari bukit yang padat rumah. Perkembangan tersebut, menurut Sucahyo, pakar ekologi air UKSW, berpengaruh pada matinya sumber air. Padatnya permukiman berpengaruh pada hilangnya daerah resapan.

"Di saat air terus dikonsumsi, sementara masukan dari daerah resapan tidak ada, maka debit air akan makin menipis," kata Sucahyo.

Salatiga, menurut peneliti lingkungan Harry Jocom, perlu mempertahankan area tertentu untuk dijadikan daerah resapan dan tangkapan air. Perlu adanya peraturan daerah yang mengatur secara spesifik daerah yang dijadikan tangkapan air.

"Jika tidak ditangani secara serius, dalam lima tahun ke depan akan semakin banyak sumber air yang kering. Salatiga bisa menghadapi krisis air," kata Harry Jocom.

Salatiga hanyalah etalase dari persoalan air di negeri ini. Keringnya mata air, hilangnya sungai bening adalah isyarat alam yang harus dibaca secara cerdas. Frans Sartono & C Wahyu Haryo PS



Post Date : 05 November 2006