Jakarta Rawan Genangan

Sumber:Koran Tempo - 09 Mei 2006
Kategori:Drainase
Para pengendara sepeda motor tampak bersungut-sungut saat akan melintasi kolong Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Senin sore lalu itu. Mereka terpaksa menaikkan sepeda motornya ke trotoar, menghindari jalan biasa. Maklum, sepotong jalan pada kolong itu bak sungai. Air menggenang cukup dalam, sekitar 3 sentimeter.

Genangan itu tercipta akibat hujan deras yang mengguyur Jakarta. Padahal hujan tidak terlalu lama, sekitar setengah jam saja. Tak hanya di situ, genangan terjadi di mana-mana.

Di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, pada haru itu air menggenang melebihi mata kaki. Lewat Jalan Jaksa, dihadang pula genangan air di Jalan Kebon Sirih pada ruas jalan arah Pasar Tanah Abang. Genangan itu tak kunjung sirna, meski hujan telah reda.

Di Jakarta Timur, genangan serupa juga kerap terjadi. Ambil satu contoh di Jalan Kolonel Sugiono, seusai hujan lebat, air segera menggenang. Kemacetan menyusul. Hal serupa terjadi di Jakarta Utara. Pengendara dari arah Ancol seakan seakan menyeberangi sungai begitu menuju arah Jalan Gunung Sahari.

Tak hanya menggenangi jalan, kantor-kantor pemerintah juga tak lepas dari lidah air yang kemudian menggenanginya. Bahkan pada April lalu genangan air sampai menyentuh Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta.

Sehabis kejadian itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wishnu Subagio Yusuf segera menjelaskan peristiwa tersebut karena intensitas hujan sangat tinggi. Meski tak berlangsung lama, itu setara dengan hujan selama 24 jam. Akibatnya, sistem drainase tidak berfungsi, kata dia.

Lepas dari hujan yang sangat lebat itu, Wishnu mengakui sistem drainase memang bermasalah. Jaringan utilitas yang saling melintang merusak sistem drainase. Jadinya sistem drainase tak lagi kuasa mengelola curah hujan yang ada. Aliran air jadi tidak lancar, katanya.

Tak hanya di Jakarta Pusat, tata air di seluruh wilayah Jakarta memang belum jadi. Kepala Subdinas Pengembangan Sumber Daya Air dan Pesisir Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta I Gedhe Nyoman Soeandhi mengakui Jakarta masih rawan genangan dan ancaman banjir.

Ia mengatakan sistem drainase memang belum memadai. Ada 78 titik genangan di Jakarta. Sementara itu, 40 persen daerah Jakarta dataran rendah. Dataran rawan genangan itu luasnya 24 ribu hektare. Solusinya? Harus dipompa, katanya. Air itu lalu dibuang ke laut.

Masalahnya, pompa yang tersedia belum bisa melayani seluruh daerah rawan itu. Saat ini, baru ada 181 pompa dengan 42 stasiun. Itu baru mengatasi 9000 hektare daerah rawan genangan. Pompa mahal, Nyoman Soeandhi menyebutkan.

Ancaman genangan lainnya, Soeandhi melanjutkan, berasal dari aliran air 13 sungai yang masuk ke Jakarta. Upaya mengatasi serbuan air dari sungai-sungai itu pun sampai saat ini belum sempurna. Upaya dimaksud adalah menerapkan pola mangkuk di Jakarta.

Sesuai dengan master plan, pola mangkuk yang direncanakan aliran air dari sungai-sungai itu tak dapat langsung masuk ke Jakarta, tapi ditampung oleh Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Tapi masalahnya penampung itu belum jadi. Jadinya menambah air yang masuk ke Jakarta, katanya.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis Husin Yazid mengatakan buruknya drainase sekarang karena Jakarta tidak belajar dari sejarah. Seharusnya mencontoh bagaimana dulu konsep Belanda membangun Batavia, kata dia.

Pengembangan Jakarta tempo dulu oleh Belanda, dia menjelaskan, berangkat dari arah utara. Pengembangan industri, perumahan, dan perdagangan bergerak ke arah selatan dengan memperhatikan kemungkinan bahaya air. Pengembangan diikuti dengan delta, daerah aliran sungai, dan mengalokasikan daerah resapan.

Ia melihat tata air bertambah parah karena pembangunan tidak memperhatikan tata ruang. Banyak daerah resapan menjadi lokasi bangunan fisik. Jadinya mempersempit air bergerak, dia menjelaskan. Selain itu, rasio daerah resapan dan ruang terbangun di Jakarta bagian selatan tidak dipatuhi.

Solusi jangka pendeknya: memperbanyak ruang terbuka hijau, menggalakan sumur resapan, dan meningkatkan koordinasi lembaga-lembaga formal yang mengurus infrastruktur kota. Adapun solusi jangka panjang dengan penerapan konsep megapolitan agar penanganan lebih komprehensif karena ada kesamaan orientasi pembangunan Jakarta dengan daerah penyangga.

Manajer Swiss Contact Tory Damantoro berpandangan buruknya drainase Jakarta karena pembangunan tidak mengakomodasi ekologi. Ia pun mengajukan saran serupa mengatasi masalah ini: perbanyak sumur resapan di titik-titik rendah.

Sumur resapan itu, kata Tory, dapat menjadi alternatif sembari menunggu langkah besar mengatasi masalah air di Jakarta, seperti pembangunan Banjir Kanal Timur. Memang sumur resapan itu tidak menjamin mengusir genangan. Setidaknya mengurangi volume dan mempercepat susutnya. HARUN MAHBUB

Post Date : 09 Mei 2006