Jangan Malu untuk "Nebeng"...

Sumber:Kompas - 03 November 2010
Kategori:Lingkungan

Bagi sebagian besar orang, saat akan menumpang atau memberikan tumpangan kendaraan kepada orang lain tentu akan berpikir panjang. Rasa sungkan, tak nyaman, hingga soal keamanan jadi pertimbangan untuk memberikan atau meminta tumpangan. Padahal, tindakan kecil ini bisa menyelamatkan bumi.

Bermula dari kerisauan akibat banyaknya mobil pribadi yang hanya dikendarai satu orang dan melonjaknya harga bahan bakar minyak (BBM) lebih dari 100 persen pada 2005, berdirilah komunitas nebeng.com.

Gerakan berbagi kendaraan antarwarga ini umumnya berangkat dari sejumlah kompleks perumahan di Tangerang, Depok, Bogor, atau Bekasi. Tujuannya adalah kawasan perkantoran di Jakarta, seperti Sudirman, Thamrin, dan Kuningan.

”Selain bisa hemat BBM, tindakan ini juga bisa mengurangi kemacetan. Tak perlu joki three in one pula,” kata Sylvia Setiadarmo, pengelola situs nebeng.com di Jakarta, Selasa (2/11).

Untuk memastikan keamanan pemberi dan penerima tumpangan, mereka yang ikut dalam komunitas ini akan diklarifikasi data pribadinya terlebih dahulu, baik alamat rumah maupun alamat kantor. Kelompok pemberi dan penerima tumpangan untuk pergi dan pulang kerja bisa berbeda, tergantung jam pulang kerja setiap anggota.

Penumpang dan pemilik kendaraan juga memiliki kesepakatan tersendiri, seperti tidak boleh buang sampah sembarangan, larangan merokok, dan besaran tarif. Ongkos dari Tangerang ke Sudirman rata-rata Rp 10.000 untuk sekali jalan yang biasanya diserahkan setiap sebulan sekali.

”Memang hampir sama jika naik kendaraan umum, tetapi ini jauh lebih aman dan nyaman. Bahkan, bisa diantar jemput hingga di depan rumah sesuai kesepakatan,” ujarnya.

Ongkos ini bukan tujuan utama para pemberi tumpangan. Menurut Sylvia, uang itu diberikan guna berbagi beban bersama untuk membeli bahan bakar atau biaya perawatan kendaraan.

Saat ini sudah terdaftar sekitar 33.000 anggota komunitas. Sepertiga di antaranya adalah pemilik kendaraan yang memberikan tumpangan dan sisanya adalah penerima tumpangan alias penebeng.

Dari sekadar berbagi kendaraan, komunitas ini berkembang hingga menjadi kelompok sosial dengan aktivitas yang beragam. Tak jarang di antara anggota komunitas saling berbagi informasi bisnis ataupun berbagi persoalan hidup. Bahkan, banyak pula yang berbagi rezeki bersama saat salah seorang anggota komunitas mendapat bonus dari tempat kerja.

Menurut Sylvia, gerakan ini dapat menekan konsumsi BBM dalam jumlah besar jika semakin banyak orang yang mau berbagi kendaraan untuk pergi dan pulang bekerja. Potensi polusi yang muncul akibat asap kendaraan bermotor pun dapat lebih ditekan.

Bersepeda

Langkah nyata lain yang dilakukan sebagian kecil masyarakat untuk mengurangi emisi karbon akibat gas buang kendaraan bermotor adalah komunitas B2W alias Bike to Work.

”Dengan bersepeda ke kantor, jumlah kendaraan dan tingkat polusi dari kendaraan bermotor dapat dikurangi. Badan pun jadi lebih sehat, tidak perlu lagi pergi nge-gym. Karbon yang diisap langsung dikeluarkan melalui keringat,” kata penggiat B2W, Tri Yuliantoro.

Tantangan terbesar untuk menjaga komunitas ini adalah menjaga konsistensi para pesepeda. Dari 5.000-7.000 anggota B2W di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), hanya 60 persen yang bisa menjaga niat untuk terus bersepeda ke kantor. Kacaunya arus kendaraan jalanan, asap kendaraan bermotor, serta hujan dan panas yang selalu mengiringi pesepeda membuat banyak ahli gowes itu mundur.

Menurut Tri, jika pemerintah konsisten menekan emisi karbon, jumlah pengguna sepeda sebagai alat transportasi akan terus bertambah. Hal ini dapat terjadi jika jalur khusus bagi pesepeda yang menjamin keamanan dan kenyamanan bersepeda tersedia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengingatkan, jumlah emisi karbon seluruh kendaraan di Indonesia pada 2005 mencapai 60 juta ton CO ekuivalen. Jika tidak segera dikendalikan, jumlah itu akan melonjak menjadi 230 juta ton CO ekuivalen pada 2020.

Peningkatan itu sebanding dengan naiknya rasio jumlah kendaraan bermotor dari 115 per 1.000 penduduk pada 2010 menjadi 230-240 kendaraan bermotor dari 1.000 penduduk pada 2020.

Masyarakat juga harus didorong untuk menggunakan angkutan publik, seperti bus, kereta, atau angkutan umum lain. Namun, solusi ini membutuhkan kepedulian pemerintah untuk menyediakan angkutan massal yang murah, aman, dan nyaman.

”Investasi dan subsidi angkutan massal memang mahal. Tapi, biaya itu jauh lebih kecil dibandingkan kerugian ekonomi, sosial, dan psikologis yang harus ditanggung masyarakat akibat menghadapi macet parah setiap hari,” ujarnya. M Zaid Wahyudi



Post Date : 03 November 2010