Kami Merindukan Sumur...

Sumber:Kompas - 26 Agustus 2008
Kategori:Kekeringan

Wajah Kampung Enek seakan makin keriput dan renta akibat kekeringan setelah hujan tak lagi mengguyur kampung itu sejak Maret lalu. Debit air dari mata air di hulu kampung kian menyusut. Waktu bagi warga Enek pun banyak yang terbuang cuma untuk antre air.

Hal itu seperti yang dilakukan tiap hari oleh Ny Maria Hamidah (60), Philipus No (43), dan Yoas Nusa (68), warga Kampung Enek, Kelurahan Mbay II, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sebagaimana hari Rabu (6/8), ketiganya antre air di pinggir jalan kampung tersebut, tepatnya di sebuah kali kecil yang telah mengering. Di tempat itu terdapat saluran pipa swadaya warga yang mengalirkan air dari bagian hulu di Towak ke kampung tersebut. Jarak mata air di Towak ke Enek sekitar 10 kilometer.

”Beberapa waktu ini air mengalir kecil sekali, jadi kami pun lama mengantrenya. Sampai sekarang saja air belum penuh, baru setengah jeriken,” kata Ny Maria Hamidah, yang saat itu sedang antre dengan membawa satu jeriken berwarna merah kapasitas 20 liter.

Ny Maria juga membawa sebuah gayung untuk menuang air yang ditadah pada sebuah ember kecil berwarna hitam ke jeriken. Ember digunakan untuk menampung air yang keluar dari saluran pipa.

Satu tong besar yang dipersiapkan warga untuk menampung air dari pipa itu menjadi mubazir sebab air yang dinanti lama sekali mengalirnya. Warga yang tak sabar akhirnya menaruh ember kecil itu untuk penampungan.

Berhubung debit air yang mengalir kecil, Ny Maria mengantre hari itu begitu lama, sejak pukul 06.00 Wita hingga pukul 08.00 air yang memenuhi jeriken baru setengah. Maka, terpaksa warga lain yang antre mesti bersabar menunggu giliran sampai jeriken milik Ny Maria penuh.

Menurut Ny Maria, ketika dibangun dua tahun lalu, jaringan pipa swadaya warga itu menjangkau hingga keran di rumah-rumah warga Kampung Enek. Akan tetapi, berhubung debit air terlalu kecil, air tak mampu mengalir sampai menembus keran di rumah warga, hingga kemudian warga memutuskan mengantre di kali kering itu.

”Apa boleh buat, kami terpaksa mengantre. Kalau bawaan banyak, rata-rata satu keluarga bisa mengantre hingga tiga jam, bahkan lebih. Apalagi kalau air mengalir amat kecil,” kata Philipus No, yang juga Ketua RT 07 Kampung Enek.

Jumlah penduduk Kampung Enek yang berjarak sekitar 4 kilometer dari Danga, ibu kota Kecamatan Aesesa itu, sebanyak 251 jiwa, meliputi 35 keluarga.

Antre

Philipus menceritakan, dalam sehari ia biasa mengantre bergantian dengan anggota keluarga yang lain sebab untuk mengantre di tempat itu cukup melelahkan dan menguras tenaga.

Menurut Philipus, akibat kekeringan di kampung itu, bagi pelajar sebelum berangkat ke sekolah umumnya tak bisa mandi. Mereka hanya dapat membasuh muka setidaknya dengan air segayung, itu pun kalau ada persediaan air di rumah.

Pasalnya, air yang diperoleh dengan mengantre itu hanya digunakan untuk minum dan memasak. Sementara untuk mandi dan mencuci pakaian, warga terpaksa ke Sungai Aesesa yang berjarak sekitar 1 kilometer. Para pelajar baru dapat mandi biasanya sore hari di kali.

”Kalau mau mandi pagi, mereka akan terlambat ke sekolah. Jarak seperti ke SDI Towak saja 1,5 kilometer yang ditempuh dengan jalan kaki. Kalau mereka harus mandi dulu ke sungai yang jaraknya sekitar 1 kilometer terlalu banyak memakan waktu,” kata Philipus.

Ketua RW 04 Kampung Enek Yoas Nusa mengungkapkan, dengan kondisi kekeringan itu, keluarganya amat malu jika menerima tamu karena terkadang tidak dapat menyuguhi tamu walau sekadar air putih karena memang tak ada persediaan air bersih atau air matang untuk diminum.

”Belum lagi kalau ada tamu hendak ke belakang (buang air kecil atau besar), jamban ada, tapi air tidak ada,” ujar Yoas Nusa.

Yoas juga menuturkan, meski air bersih dari PDAM belum menjangkau kampung mereka, warga amat mengharapkan setidaknya dapat dibuat sumur gali untuk menjawab problem kekeringan yang melanda kampung tersebut.

”Kami merindukan paling tidak kampung ini memiliki minimal empat sumur walau untuk mendapatkan air sumur tak mudah sebab harus digali hingga kedalaman sekitar 30 meter. Tahun 1990-an saja biaya untuk menggali sumur mencapai Rp 5 juta, belum termasuk pembuatan bibir sumur. Apalagi sekarang biayanya pasti lebih mahal sehingga sangat sulit bagi warga membangun sumur,” kata Yoas.

Warga Kampung Enek saat ini masih dapat menikmati air bersih meski harus antre berjam- jam dengan hasil yang belum tentu banyak dan itu pun jika mata air dari hulu lancar. Tidak terbayangkan apabila air dari hulu tiba tiba mengering total…. (Samuel Octora)



Post Date : 26 Agustus 2008