Kampanye Menolak Privatisasi dan Komersialisasi Sumberdaya Air

Sumber:Walhi - 08 Mei 2009
Kategori:Air Minum

Hak terhadap air yang setara merupakan hak  asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut.  Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kalimat tersebut mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara.   Pada tingkat internasional, hak atas air yang setara juga diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002.

Namun, hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.  Agenda ini didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah.  Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank.

Pada tanggal 19 Februari 2004, DPR telah mengesahkan UU Sumberdaya Air yang baru.  Dalam Undang-undang yang baru ini beberapa pasal memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu.

Melalui privatisasi ini, maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar“siapa ingin membeli /siapa ingin menjual”.

World Bank menyatakan “ Manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “ partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan”.   (World Bank, 1992).  Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta.

Menurut World Bank, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan.  Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery.  Secara singkat, Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air.  Pada kenyataanya, justru kelompok masyarakat miskin yang akan semakin jauh dari akses terhadap air dengan meningkatnya tarif air.

Agenda kedaulatan pangan akan menjadi mengalami ancaman ke depan.  Jika air, sebagaimana yang diinginkan oleh World Bank dan ADB, diperlakukan sebagai komoditas ekonomis dan pihak yang mendapatkan air ditentukan atas dasar keuntungan ekonomis semata.  Salah satu contoh, Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 2002 telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Irigasi yang baru, dimana salah satu instrumen yang diadopsi adalah penerapan “cost recovery”  kepada petani atas penggunaan air irigasi. Sektor pertanian akan semakin mahal bagi petani dengan diterapkannya tarif atas air irigasi. [selesai]



Post Date : 08 Mei 2009