Kampusku Floraku

Sumber:Kompas - 02 November 2008
Kategori:Umum

Di luar festival atau kampanye yang hiruk-pikuk, sebenarnya kesadaran lingkungan diam-diam telah lama menjalar di benak sejumlah orang di Salatiga dan sekitarnya. Sebut saja Soenarto Notosoedarmo, Jasmin Wirosumarto, dan Agus Suranta. Dengan cara sendiri-sendiri, ketiga orang ini turut bergerilya melestarikan alam yang tersisa.

Soenarto adalah Dekan Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga periode tahun 1981-1984. Bersama beberapa mahasiswa, dia menanam aneka jenis pohon di lahan kosong di lingkungan kampus.

”Setiap ada lahan kosong, langsung kami tanami macam-macam pohon, seperti rejasa, asem jawa, trembesi, dan kenari. Kemudian ada mahasiswa usul, kenapa sekalian tidak dituliskan jenis pohonnya supaya bisa belajar?” kenangnya.

Gerakan ini akhirnya diperkuat keputusan rektor tahun 1999 lewat program Kampusku Floraku. Program ini berhasil menghijaukan kampus. Setidaknya kini ada 160 jenis pohon yang tercatat. Beberapa tahun terakhir ada 13-15 jenis burung yang hinggap di pepohonan itu.

Kenapa program itu berhasil? ”Prinsipnya sederhana. Kami tanam pohon di lingkungan kampus yang mudah kami awasi sendiri,” katanya.

Dari kampus ini pula pernah muncul Gemi Nastiti (Geni), organisasi lingkungan yang dimotori para mahasiswa dan dosen UKSW seperti Prof Arief Budiman. Antara tahun 1984 dan 1985, mereka menentang rencana Pemerintah Kota Salatiga yang hendak menebang pohon peneduh demi memperlebar jalan dari arah Tuntang menuju Salatiga. Saat akan ditebang, anggota Geni bergandengan tangan mengelilingi pohon itu sampai pemerintah mundur.

Dalam bentuk berbeda, pelestarian lingkungan dilakukan Jasmin (79), juru kunci sumber mata air di Senjoyo. Secara administratif, Senjoyo masuk Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Namun, secara kultural, kawasan yang punya tujuh mata air utama itu juga milik masyarakat Salatiga yang turut menikmati aliran air dari sini sejak ratusan tahun silam.

Lelaki yang kerap disapa Mbah Jasmin itu mewarisi tugas juru kunci sejak tahun 1959. Sebelumnya, peran itu ditangani ayahnya, Pawiro, yang juga meneruskan tugas itu dari pamannya, Mustar. ”Saya bersih-bersih kalau sendang kotor dan mencegah kerusakan lingkungan. Pohon beringin yang saya tanam tahun 1949 dan 1987 sekarang sudah besar-besar,” katanya.

Adapun Agus, Kepala Desa Tegalwaton, telah jadi ”bemper” konflik air antarpetani yang memperebutkan air di kawasan Senjoyo. Dialah yang berusaha mencegah petani dari Tingkir Lor dan Kalibening yang hendak membongkar dua pintu air yang membagi aliran Bendung Senjoyo. Kalau dibiarkan, konflik ini bisa mendorong bentrok fisik lantaran petani di Kecamatan Suruh (Kabupaten Semarang) yang lahannya berada di aliran air berbeda ini juga sangat membutuhkan air.

Dia pernah meminta PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Salatiga untuk mengurusi konservasi Senjoyo. ”Kalau sudah menyedot banyak air, mbok ya ada perhatian juga pada lingkungan dan warga sekitar sendang,” katanya. (gal/iam)



Post Date : 02 November 2008