Kanal Bukan Jawaban yang Paling Mujarab

Sumber:Kompas - 23 Februari 2009
Kategori:Banjir di Jakarta

Musim hujan datang lagi, potensi banjir mengancam sebagian wilayah ibu kota Jakarta. Selama ini untuk mengendalikan banjir di Jakarta dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem makro (structural measures) dan sistem mikro (nonstructural measures). Dalam sistem makro ada dua hal yang cenderung dipilih, yaitu pembangunan kanal dan sistem polder (tanah rendah untuk menampung air).

Setelah berlangsung beberapa tahun, ternyata sistem kanal dan polder tidak mampu membebaskan Jakarta dari banjir. Terbukti ketika kanal banjir Kalimalang dan Pintu Air Manggarai selesai dibangun pada tahun 1919, daerah Weltevreden masih dilanda banjir.

Kanal banjir Kalimalang yang dimaksud bukan Kalimalang antara Jakarta Timur dan Bekasi, melainkan kanal yang dibangun tepat di tengah kota antara kawasan Karet, Jakarta Pusat, menuju Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara (sekarang lebih dikenal sebagai banjir kanal barat).

Selanjutnya, pembangunan Pintu Air Matraman juga telah mengakibatkan banjir rutin di daerah sekitar Bukit Duri, Tebet, dan Kampung Melayu. Selain itu, pada tahun 1980-an ketika pembangunan Cengkareng drain, Cakung drain, dan saluran-saluran lainnya selesai, ternyata tidak mampu membebaskan Jakarta dari banjir.

Sistem kanal bisa dikatakan gagal karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat.

Dalam kaitannya dengan sistem polder, daerah-daerah yang ditetapkan sebagai daerah polder dan waduk ternyata sudah penuh dengan permukiman penduduk. Oleh karena itu, ketika terjadi banjir, air tidak bisa mengalir ke daerah polder. Selain itu, waduk-waduk dengan pembuangan sistem pompa sering mengalami gangguan akibat sampah yang menumpuk di pintu-pintu air.

Kota tetapi kampung

Keberadaan kota kolonial yang didirikan sangat tergantung dari kota induknya, paling tidak pada awal perkembangannya. Belanda membangun kota lama Batavia yang betul-betul citranya seperti di Eropa. Selanjutnya perluasan kota Jakarta ”merangkul” kampung-kampung pribumi yang ada di sekitarnya, kemudian dikelilingi oleh jalan-jalan besar dan menjadi kantong-kantong yang bertahan sampai sekarang.

Dengan demikian secara morfologis, Jakarta terdiri dari kumpulan kampung dengan unsur-unsur metropolitan, terutama infrastruktur perkotaan berselang-seling di antaranya. Untuk itu, muncul sebutan Jakarta sebagai ”Kampung Besar”.

Sebutan ini muncul ketika Bernard Dorlean, seorang Perancis yang mengadakan penelitian secara komparatif tiga kampung di Jakarta pada tahun 1976, menyimpulkan Jakarta lebih menyerupai aglomerasi kampung daripada sebuah kota yang terstruktur.

Sebutan ”The Big Village” (Kampung Besar) memberikan pengertian bahwa kota Jakarta belum sepenuhnya memiliki ciri-ciri sebagai kota yang ideal. Hal itu disebabkan, Jakarta di samping dipadati penduduk yang tinggal dalam gedung-gedung modern dan megah, ditemukan pula banyak penduduk yang tinggal di permukiman kumuh, gubuk-gubuk liar di daerah slum dan squatter. Selain itu, juga ditemukan persoalan sungai yang dipadati sampah, masalah estetika, sektor informal yang memadati jalan, dan kesemrawutan arus lalu lintas.

Suasana kehidupan kota ini memberi kesan memiliki budaya informalitas yang tinggi, tidak tertata, tidak memiliki sistem terpadu dan akhirnya ciri ini tidak lain adalah ciri suatu perkampungan dalam skala besar atau The Big Village. Ketidakjelasan sistem ini menyebabkan pengendalian banjir pun tak pernah tuntas.

Mencermati kegagalan demi kegagalan dalam pengendalian banjir, maka upaya pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah harus dilakukan lebih konseptual dengan mengatasi akar penyebabnya, yaitu menurunnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan.

Hal ini disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Penggunaan lahan yang paling besar kontribusinya terhadap banjir adalah permukiman dan pertanian.

Di daerah permukiman penurunan koefisien limpasan atau mengurangi air hujan yang menjadi aliran permukaan (run off) dilakukan dengan membuat pedoman pembangunan rumah dan menerapkannya agar air hujan di setiap rumah dan bangunan tidak dialirkan ke saluran. Akan tetapi, air tersebut mampu diserap ke dalam tanah atau ke dalam sumur resapan.

Teknik ini akan meringankan beban menekan tingginya debit air di sungai. Selain itu, mampu menyediakan air tanah pada musim kemarau. Hal ini juga akan menahan penurunan tanah di Jakarta yang setiap tahun mengalami peningkatan.

Pengendalian banjir dengan pendekatan struktural dan nonstruktural ternyata tidak cukup. Untuk itu harus ada kompromi dari dua pendekatan ini.

Berdasarkan tradisi lisan masyarakat Betawi sebelum mengenal bangunan rumah batu, karena sebagian besar tanahnya masih berupa rawa dan hutan, masyarakatnya membangun rumah panggung untuk menghindar dari binatang buas dan banjir. Untuk itu di daerah bantaran sungai, bangunan rumah panggung atau bangunan amfibi dapat menjadi pilihan untuk mengurangi jumlah korban pada waktu banjir.

Restu Gunawan Ahli Sejarah Banjir Jakarta, Sekarang Bekerja di Direktorat Geografi, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata



Post Date : 23 Februari 2009