Kapan Pemprov DKI Menghargai Sungai ?

Sumber:Kompas - 28 April 2004
Kategori:Drainase
ADA hal yang memberi inspirasi yang dalam tatkala berada di pedestrian The Bund, di tepi Sungai Huangpu, Shanghai, China. Kawasan itu tampak demikian berwarna. Belasan ribu orang pejalan kaki, termasuk pelancong dari luar negeri, ke sana setiap hari.

Sungai Huangpu, yang membelah Shanghai, menjadi jalur amat vital. Kapal besar dan kecil, termasuk kapal pesiar, hilir mudik di sungai selebar lebih kurang satu kilometer itu.

Warna lain ialah sebelah barat sungai, terutama di sekitar The Bund dan Nanjing Road, tegak bangunan-bangunan yang didirikan pada abad 18, 19, dan awal abad 20. Bangunan tersebut didominasi karya arsitek Palmer & Turner serta Atkinson & Dallas. Jika bangunan-bangunan yang masih kokoh itu bisa berbicara, ia akan bertutur ihwal demikian bersejarahnya kawasan itu.

The Bund selama beberapa abad menjadi kawasan elite. tempat para warga terpandang Shanghai berdomisili, berkantor, dan berbelanja. The Bund sekaligus menjadi simbol kapitalisme yang pekat. Juga pertarungan berbagai kelompok raksasa di masa silam.

Dalam perkembangannya kemudian, The Bund dan kawasan-kawasan lain di sisi barat Huangpu menjadi lebih modern. Sedangkan kawasan Timur, Pudong, berkembang fantastis. Bangunan di atas 60 lantai bertebaran di sana.

Warna lain ialah betapa warga Shanghai dan Pemerintah China merawat dan memperlakukan sungai dengan amat baik. Kedalaman sungai selalu dijaga, kapal-kapal pembersih sungai hilir mudik di sana menjaga kelestarian sungai itu.

Kesadaran akan makna sungai yang tinggi ini ditunjukkan warga di sekitar sungai dengan membangun rumah, kantor, gedung teater, gedung-gedung pencakar langit menghadap ke Sungai Huangpu.

Warga dan pemerintah di sejumlah kota di dunia juga memperlakukan sungai secara sangat baik. Sungai Rhein di Belanda, misalnya, dimanfaatkan untuk begitu banyak fungsi.

Di Chicago, warga amat bangga terhadap sungainya, Chicago River. Bangunan-bangunan amat indah dibangun di tepian sungai untuk mendapatkan view sungai yang menyegarkan. Wisata sungai kemudian berkembang di kota ini. Seratusan kapal pesiar dan perahu motor hilir mudik di sungai ini setiap hari. Di beberapa titik tertentu, jembatan "mengalah" untuk dibelah dua dan diangkat ke atas untuk memberi kesempatan perahu pesiar lewat di sungai itu.

Tentu bukan hanya China dan Amerika Serikat yang merawat sungai secara amat baik. Sungai Thames di London juga dijaga kelestariannya. Thames menjadi ajang wisata dan sarana transportasi vital.

Singapura juga merawat kebersihan sungai sehingga sungai di sana amat jernih.

Di Indonesia, sejumlah kota memperlakukan sungai dengan baik, misalnya di Palembang, Pekanbaru, dan sejumlah kota di Kalimantan. Namun, bagaimana dengan Jakarta?

Sungai Ciliwung, yang di antaranya menjadi sumber air minum warga DKI, jarang mendapat perhatian. Gubernur Sutiyoso, yang suka lingkungan, lebih condong merawat tanaman, rusa, dan patung dibandingkan dengan memerhatikan sungai.

Kurangnya perhatian pada sungai ini menyebabkan wajah sungai di Jakarta selalu dalam bentuknya memelas, jauh dari kesan sehat.

Repotnya warga Ibu Kota juga ikut-ikutan tidak memberi perhatian selayaknya pada sungai. Lihatlah, di sebagian bantaran Sungai Ciliwung, warga membangun rumahnya membelakangi Ciliwung. Ada yang membangun kakus di situ. Mandi, cuci, dan masak dilakukan pula di situ. Tak ayal, semua jenis kotoran dibuang sesuka hati ke sungai.

Kapan kita menghargai dan memberi perhatian secara proporsional pada sungai? Para pejabat Indonesia, termasuk Presiden Megawati, pernah berkeliling sungai Ciliwung. Akan tetapi, hanya sampai pada tahap keliling. Upaya menjadikan Ciliwung bersih tak pernah dilakukan secara konkret. (Abun Sanda)

Post Date : 28 April 2004