Katakan Tidak pada Kantong Plastik

Sumber:Kompas - 01 Desember 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Jakarta, Kompas - Menjamurnya pasar swalayan, minimarket, dan hipermarket di Jakarta dan sekitarnya menyebabkan bertambahnya produksi sampah plastik di Ibu Kota. Padahal, pengelolaan sampah pun masih kacau. Demi mengurangi sampah plastik, publik sudah waktunya menghindari penggunaan kantong plastik. Salah satu cara sederhana tetapi bisa berdampak signifikan adalah membawa kantong belanjaan sendiri saat berbelanja di pasar swalayan.

"Sudah waktunya katakan tidak pada kantong plastik. Namun, kampanye semacam itu akan efektif kalau kondisinya dipaksakan," ujar sosiolog perkotaan dari Universitas Indonesia (UI), Linda Ibrahim, seusai seminar "Mengoptimalkan Peran Publik Menuju Green City", Rabu (29/11).

Menurut Linda, kondisi yang memaksa itu misalnya pihak toko swalayan memberlakukan tambahan tarif bagi pelanggan yang memilih menggunakan kantong plastik. Sementara, misalnya, pelanggan yang membawa kantong belanja sendiri mendapat penghargaan dengan potongan harga dari total nilai belanja.

"Mengonkretkan wacana pembangunan yang berkelanjutan bisa dimulai dari hal-hal semacam itu," ujar Linda.

Ia melanjutkan, menolak menggunakan kantong plastik harus digelindingkan menjadi kampanye gerakan publik. Gerakan semacam itu tidak efektif jika hanya sporadis dilakukan oleh segelintir orang atau segelintir pasar swalayan. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat diperlukan.

"Bagaimanapun, industri yang bergerak di bidang pembuatan kantong plastik juga harus dipikirkan alih usahanya," ujar Linda.

Ia mengatakan, mewujudkan kota yang berwawasan lingkungan (green city) sebenarnya dapat diretas melalui tindakan-tindakan konkret semacam itu. Gerakan yang berwawasan lingkungan semacam itu harus menjadi nilai bersama yang dirujuk publik, termasuk kalangan pengusaha atau pemilik modal.

"Pemberi kredit konsumsi, misalnya, bisa memancing konsumennya lebih peduli lingkungan dengan memberi diskon jika perilaku berbelanjanya berwawasan lingkungan," kata Linda.

Sementara Citra Wardhani dari Program Studi Ilmu Lingkungan UI mengatakan, perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah di Jepang sebenarnya baru dimulai sekitar tahun 1991. Ketika itu, publik dipaksa untuk mengikuti sistem pemilahan sampah hingga 21 kategori untuk program daur ulang. Sistem tersebut tidak bisa berjalan tanpa partisipasi masyarakat dan aparat pemerintah yang sangat intensif terjun langsung menyadarkan warga.

"Meski berat pada awal implementasinya, warga di Jepang bisa beradaptasi. Sebab, sistem tersebut berlaku adil tanpa terkecuali terhadap setiap warga. Warga pun dapat langsung merasakan manfaatnya," ujarnya.

Baik Linda maupun Citra menyebutkan, memulai dan menggiatkan gerakan semacam itu akan lebih efektif jika dilakukan di level komunitas yang jumlahnya tidak lebih dari 150.000 orang.

"Perubahan sikap terhadap sampah itu lalu digulirkan pula terhadap air, udara, dan sebagainya," kata Linda.

Penduduk kota di Indonesia cenderung terus meningkat, sekitar 4,2 persen per tahun. Selain disebabkan urbanisasi, desa-desa pun mulai menjelma menjadi kota. Sementara akses penduduk ke sanitasi hanya meningkat 5 persen selama 15 tahun. (SF)



Post Date : 01 Desember 2006