Ke Dar-es-Salam Jakarta Bisa Berkaca

Sumber:Koran Tempo - 21 Maret 2010
Kategori:Hari Air Sedunia 2010

Tiga ekspatriat asal Inggris ditangkap polisi Tanzania pada 1 Juni 2005. Mereka adalah Cliff Stone, Michael Livermore, dan Roger Harrington. Ketiganya anggota jajaran eksekutif City Water, konsorsium air yang bertanggung jawab menyediakan pasokan air di Dar-es-Salam, ibu kota dan kota terbesar di Tanzania.

Penangkapan itu menandai berakhirnya kontrak kerja sama yang dilakukan oleh British Water Company (Biwater)--perusahaan layanan air yang menggandeng City Water--dengan negara kecil di Afrika Timur itu. Pemerintah Tanzania menganggap kinerja perusahaan itu amat buruk. Cakupan layanan perusahaan itu hanya menyuplai air bersih ke sekitar 100 ribu rumah tangga dari 3,5 juta penduduk kota tersebut.

Akibatnya, sebagian besar warga kota memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membayar ke tetangga mereka yang berlangganan. Harganya amat mahal. Air sebanyak 20 liter ditukar dengan 20 shillings. "Amat mahal bagi kami,” kata Janet Gilliad, seorang ibu rumah tangga. “Tapi apa yang bisa kami lakukan. Kami perlu air.”

Pemutusan kontrak pengelolaan air itu membuat berang Biwater. Sebab, City Water baru menandatangani kontrak dengan pemerintah Tanzania pada 1 Agustus 2003 dengan masa kontrak 10 tahun. Biwater lalu mengajukan klaim kompensasi kepada pemerintah Tanzania melalui dua pengadilan arbitrase internasional, tapi keduanya kalah.

Biwater berpegang pada aturan yang dibuat oleh Arbitrase UNCITRAL, mereka mengajukan kasus itu melalui pengadilan tinggi Inggris lantaran menganggap pemerintah Tanzania telah memutus kontrak secara dini. Namun Biwater diputuskan harus membayar 3 juta poundsterling Inggris untuk kerusakan-kerusakan itu. Perusahaan itu menolak membayar.

Direktur Public Services International Research Unit, David Hall, dalam laporan yang berjudul “Menggantikan Kontrak Air Swasta yang Gagal”, menulis bahwa Biwater justru mengajukan klaim melalui International Council of Societies of Industrial Design (ICSID) dengan alasan pengambilalihan. Pengadilan ICSID menyatakan pemerintah Tanzania telah melanggar kesepakatan investasi bilateral dengan Inggris dalam empat hal yang berbeda, termasuk pengambilalihan pengelolaan air. Tapi perusahaan itu tidak berhak mendapatkan kompensasi karena nilai investasi mereka di City Water nol saat pengambilalihan.

Pemutusan kontrak yang tak disertai ribut-ribut dilakukan oleh Pemerintah Kota Paris. Pemerintah di ibu kota Prancis itu justru memutus kontrak dengan Suez Environnement dan Veolia Environnement, dua perusahaan layanan air yang berbasis di Paris. Melalui bantuan David Hall, pengelolaan air bersih dikembalikan kepada kota dengan keputusan dari Dewan Kota Paris.

Bagaimana kontrak kerja sama pengelolaan air di Jakarta? Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyerahkan pengelolaan penyediaan air kepada PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ)---saat ini bernama PT Aetra. Kerja sama itu dimulai pada 1 Februari 1998 dan baru akan berakhir 25 tahun sesudahnya. Dari laporan yang ditulis oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA) dengan judul “Kegagalan Privatisasi Air di Jakarta”, selama sepuluh tahun kontrak berjalan, eksploitasi air tanah justru bertambah, alih teknologi tak bisa diterapkan, dan janji bakal mengalirkan air pipa ke rumah-rumah--yang bisa langsung diminum--tidak terpenuhi.

Hingga saat ini, menurut Ketua Badan Regulator Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Irzal Djamal, baik Palyja maupun Aetra baru mampu melayani kebutuhan air bersih 44 persen warga Jakarta. Ini artinya tidak mencapai target yang sudah ditetapkan di PKS (Perjanjian Kerja Sama) revisi. Sementara itu, pada 2015 ditargetkan 80 persen warga sudah menikmati air bersih dari rumahnya. “Kami tidak yakin target (80 persen) itu akan tercukupi,” kata Irzal, Kamis lalu.

Beranikah Jakarta berkaca kepada Tanzania maupun Paris? Wacana ataupun ancaman pernah terlontar dari mulut Sutiyoso saat menjadi gubernur. Pun penggantinya saat ini, Fauzi Bowo. Tapi setiap kali ancaman terlontar, yang terbayang kemudian adalah ancaman denda kepada pihak swasta.

David Hall pernah menyebutkan angka Rp 5-6 triliun yang harus dibayarkan kepada swasta jika Pemerintah Provinsi DKI bertindak ekstrem memutus kontrak. GUARDIAN | ISTIQOMATUL HAYATI| MUSTAFA SILALAHI



Post Date : 21 Maret 2010