Ke Mana Cancun Menuju...

Sumber:Kompas - 30 November 2010
Kategori:Climate

Setahun berlalu sudah. Tahun ini tak ada moto menderu menjelang Pertemuan Para Pihak ke-16 pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Cancun, Meksiko. Tahun lalu pertemuan serupa di Kopenhagen, Denmark, diawali dengan derasnya insinuasi istilah ”Hopenhagen”.

Ternyata pertemuan di Kopenhagen yang diawali dengan optimisme nyaris penuh itu gagal membuahkan kesepakatan yang mengikat (legally binding). Kesepakatan yang mengikat secara hukum itu amat dibutuhkan untuk memastikan kelanjutan Protokol Kyoto yang tahap pertama akan selesai pada 2012.

Protokol Kyoto memuat sejumlah kewajiban negara-negara maju yang tergabung dalam Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya rata-rata 5,2 persen di bawah level emisi tahun 1990. Gas rumah kaca merupakan penyebab kenaikan suhu bumi (global warming) karena memerangkap energi panas matahari. Pemanasan global mengakibatkan kekacauan sistem iklim bumi.

Antusiasme menjelang Pertemuan Para Pihak ke-16 (COP-16) Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di Cancun bisa dikatakan rendah. Banyak pihak mengakui, ”tidak akan ada kesepakatan yang mengikat secara hukum.” Istilah optimistis atau pesimistis tidak penting.

Heru Prasetyo dari Satuan Tugas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+) Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menegaskan, ”Sekarang orang tidak bicara (hasil) Cancun, tetapi berbicara tentang Cape Town.”

Di Cape Town, Afrika Selatan, lah rupanya harapan diletakkan. Di Cancun, Koordinator Adaptasi Perubahan Iklim World Wildlife Fund for Nature (WWF) Ari Muhammad suatu kali menuturkan bahwa akan tetap ada kesepakatan-kesepakatan kecil yang akan menjadi pijakan untuk melangkah ke legally binding.

Dua raksasa

Ada alasan yang nyata mengapa kesepakatan mengikat sulit tercapai. Situasi klasik masih berlanjut. Perseteruan antara dua raksasa, China dan Amerika Serikat, yang sama-sama tidak mau memberikan komitmen pengurangan emisi meski secara sendiri-sendiri mereka telah melakukan mitigasi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan.

China, misalnya, telah menerapkan kebijakan pajak untuk konsumsi energi. Pajak bahan bakar sebesar 2,4 yuan (RMB)—sekitar Rp 32.328—menurut riset yang dikutip World Resources Institute (WRI) diperkirakan akan mengurangi permintaan bahan bakar 10 persen pada 2010. Pemerintah China juga memberikan subsidi sebagai insentif untuk konservasi energi. Menteri Keuangan China, misalnya, menyediakan 30 persen hingga 50 persen subsidi bagi mereka yang menggunakan lampu hemat energi.

Sementara Amerika telah menjanjikan akan menurunkan emisinya sekitar 17 persen pada 2020 dari level emisi tahun 2005.

Upaya yang dilakukan kedua negara tidak cukup untuk menjawab tantangan perubahan iklim yang telah membawa penderitaan bagi ratusan ribu warga Afganistan akibat banjir tak berkesudahan, warga Rusia yang diserang suhu panas yang pertama dalam lima dekade, dan berbagai bencana lain akibat perubahan iklim.

Kesepakatan Kopenhagen menyebutkan untuk menahan kenaikan temperatur tidak melebihi 2 derajat celsius. Untuk itu dibutuhkan pengurangan emisi hingga lebih dari 40 persen dibandingkan level 1990. Nah!

Dalam konferensi UNFCCC ini, kesepakatan hanya bisa diambil jika ada kesepakatan bulat. Meski hanya satu negara tidak setuju, kesepakatan tidak bisa diambil sehingga klausul tidak bisa diberlakukan.

Maka, proses di Kopenhagen yang melahirkan ”Catatan Kopenhagen” (Copenhagen Accord) adalah sebuah proses yang di luar kerangka UNFCCC, seperti disebutkan Liana Bratasida, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional yang juga menjabat sebagai ketua dan anggota di berbagai organisasi internasional untuk berbagai isu lingkungan, dalam bukunya, Perspektif dan Analisis Copenhagen Accord (halaman 18).

Proses yang di luar ketentuan tersebut telah memunculkan kecurigaan, perasaan dikhianati, dan keguncangan di antara sesama negara pihak (negara dalam satu kelompok), terutama di kalangan negara berkembang.

Maka yang paling tepat adalah pernyataan Presiden Meksiko Felipe Calderon, semua kesepakatan di Cancun nanti sebenarnya adalah merupakan upaya mengakhiri rasa saling tidak percaya yang muncul dari proses di Kopenhagen.

”Dilema antara melindungi lingkungan dan mengurangi kemiskinan, antara menjawab tantangan perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi, adalah dilema palsu,” ujarnya.

Yang berkembang selama ini adalah negara berkembang enggan mengerem pembangunan karena mereka masih miskin. Sementara paradigma yang beredar adalah pembangunan ekuivalen dengan perusakan lingkungan. Itulah yang dilawan Calderon. Dia memasang turbin angin di hotel tempat konferensi berlangsung.

Kekhawatiran bahwa Cancun tidak akan menghasilkan kesepakatan signifikan antara lain karena terjadinya krisis ekonomi global yang diakibatkan krisis di Yunani dan Irlandia.

Pasalnya, dalam konferensi perubahan iklim, negara-negara berkembang merasa bahwa negara-negara maju hanya ”bertanam tebu di bibir” dengan menjanjikan dana adaptasi—yang amat dibutuhkan negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Janji terakhir dikeluarkan di Kopenhagen, yaitu negara-negara maju akan menyediakan dana 30 miliar dollar AS antara tahun 2010 dan 2012 serta bantuan 100 miliar dollar AS hingga tahun 2020. Sampai sekarang janji itu masih berupa janji kosong.

Lalu, ke mana sebenarnya Cancun menuju? Brigitta Isworo L



Post Date : 30 November 2010