Keadilan, Bukan Belas Kasihan

Sumber:Kompas - 30 November 2007
Kategori:Climate
"Keadilan, bukan belas kasihan. Itu yang dibutuhkan di dunia." (MaryWollstonecraft)

Pernyataan feminis Inggris pada tahun 1792 itu masih sangat relevan dengan situasi saat ini, khususnya terkait dengan masalah perubahan iklim.

Di depan 120 peserta Sesi Internasional Program Kepemimpinan mengenai Lingkungan dan Pembangunan (LEAD) dari 26 negara6 di antaranya dari Indonesiadi Jakarta, Senin (26/11), Dr A Atiq Rahman, Direktur Eksekutif Bangladesh Center for Advanced Studies, mengatakan, belum pernah dalam sejarah manusia terjadi kontras-kontras yang sedemikian tajam seperti saat ini.

Saat ini, kekayaan berlimpah, tetapi kemiskinan juga berlimpah; teknologi dan informasi berlimpah, tetapi degradasi lingkungan juga berlimpah; pangan berlimpah, tetapi kekurangan gizi juga berlimpah; obat berlimpah, tetapi orang sakit dan tak bisa membeli obat juga berlimpah; mobilitas sangat intensif, tetapi ruang semakin sempit.

Laporan berjudul Fighting climate change: Human solidarity in a Divided World dalam Laporan Pembangunan Manusia (HDR) tahun 2007 yang dikeluarkan Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan (UNDP) memaparkan beberapa hal yang terkait dengan itu.

Negara maju memiliki teknologi, sumber daya keuangan, menguasai perdagangan, dan pendapatan per kapita yang tinggi. Mereka memegang kontrol dalam berbagai perundingan di lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan lain-lain karena voting didasarkan atas dollar, bukan suara per negara. Mereka cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan global dalam menghadapi tantangan-tantangan global.

Pada tahun 1994-2004, jumlah emisi CO2 yang dibuang ke atmosfer Bumi oleh negara industrikecuali Rusia, Jerman, dan Polandiamalah meningkat 88 persen, dengan AS sekitar 36 persen. Padahal, Bumi ini satu, dan atmosfer Bumi tidak membeda-bedakan dari mana emisi itu berasal.

Emisi di satu negara berdampak pada perubahan iklim di negara lain dengan segenap biaya sosial, lingkungan, dan ekonomi yang harus ditanggung. Alih-alih bertanggung jawab, negara maju malah memaksa negara berkembang menurunkan laju emisinya, tanpa bantuan alih teknologi dan pendanaan.

Maka, esensi dari persoalan bukan sekadar enggan berbagi, tetapi perampasan hak. Karena itu, yang dibutuhkan bukan belas kasihan, melainkan keadilan.

Berpotensi menutupi

Perubahan iklim memperburuk persoalan yang ada, seperti kemiskinan dengan seluruh dampaknya. Namun, isu perubahan iklim juga berpotensi menutupi persoalan-persoalan yang sudah lama ada dan tak terselesaikan, menyangkut ketidakadilan dan perampasan hak-hak hidup.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Center for Welfare Studies, Binny Buchori, dalam peluncuran HDR 2007 dan Laporan UNDP mengenai Indonesia, The Other Half of Climate Change: Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest People di Jakarta, Selasa (27/11) petang, menegaskan, meski perubahan iklim memperparah situasi kemiskinan, namun kemiskinan tak akan terselesaikan hanya dengan mengarusutamakan isu perubahan iklim.

"Kalau air bersih dan sanitasi secara keseluruhan tersedia karena program-program terkait dengan perubahan iklim, akses pada air bersih adalah soal lain," ujarnya.

Binny mengingatkan, dalam Strategi Nasional Penghapusan Kemiskinan (SNPK), pemerintah mengakui kemiskinan adalah soal terlanggarnya hak-hak dasar. Mengatasi perubahan iklim tidak dengan sendirinya mengatasi akses rakyat miskin pada pendidikan dan kesehatan. Perubahan iklim hanya merespons sebagian dari persoalan itu.

"Prolingkungan tidak selalu bisa diandaikan pro-poor. Ada persoalan lain terkait dengan keadilan yang tak boleh dilupakan," ujar Binny, seperti menandaskan, tak ada satu isu yang mengatasi isu lain, pun tak ada satu jalan keluar untuk seluruh persoalan.

Pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, Amartya Sen, dalam laporan itu mengingatkan, isu perubahan iklim pada dasarnya merupakan isu pembangunan manusia. Pembangunan terkait dengan perluasan potensi dan kebebasan manusia yang hakiki agar dapat melakukan pilihan-pilihan yang semakin luas dalam hidupnya.

Kebebasan yang hakiki mencakup jaminan atas kesetaraan dan keadilan pada akses-akses yang menunjang kehidupan. Begitulah yang ia paparkan dalam bukunya, Development as Freedom (1984). Dari titik itu, perjuangan mengendalikan perubahan iklim dan perjuangan menghapuskan kemiskinan seharusnya terkait satu sama lain.

Menurut Sen, dunia harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas melalui kebebasan manusia yang substansial. Karena itu, dia menolak menghadapkan pendekar pembangunan dan penghapusan kemiskinan di satu sisi dengan mereka yang melakukan advokasi ekologi dan lingkungan.

Komponen penting dari kebebasan manusia dan unsur yang hakiki atas kualitas hidup sepenuhnya tergantung pada tanah yang berkualitas, air dan udara yang bersih, dan pada keseluruhan lingkungan yang mendukung upaya bagi keberlanjutannya.

Sen melihat perubahan iklim mengancam dan mengikis kebebasan manusia dan membatasi pilihan-pilihan. "Pembangunan manusia tak bisa dipisahkan dari masalah ekologi dan lingkungan," ujarnya. Pertumbuhan ekonomi tak boleh lagi meletakkan masalah sosial dan ekologi sebagai faktor eksternal. Keduanya harus masuk ke dalam hitungan pembangunan secara keseluruhan.

Menurut Sen, partisipasi publik dalam menjamin keberlanjutan lingkungan sangat penting. Yang juga sangat krusial adalah tidak mereduksi isu-isu penting tentang manusia ke dalam penilaian sempit dan teknokratik.

Perdebatan mengenai discount rate yang digunakan dalam menyeimbangkan pengorbanan saat ini demi keamanan masa depan, misalnya, refleksi dasarnya bukan resolusi mekanikal berdasarkan cara-cara penghitungan yang sederhana. Aspek utama masalah ini adalah evaluasi sosial yang terus-menerus mengenai manfaat dan kerugian.

Rasisme dalam adaptasi

Laporan itu memperlihatkan ketidaksetaraan dalam kemampuan menghadapi dampak perubahan iklim dan melebarkan jurang perbedaan antara negara kaya dan negara miskin, orang kaya dan orang miskin.

Perubahan iklim yang drastis membuat orang miskin harus menghadapi risiko jangka panjang dan menutup kemungkinan memiliki pilihan hidup. Bahkan, kalaupun terjadi pengurangan emisi CO2 secara drastis, dua pertiga penduduk dunia yang tinggal di Asia masih terpapar bahaya suhu yang meningkat.

Negeri Belanda yang terletak di bawah permukaan laut punya teknologi khusus menghadapi banjir. Sementara di desa padat di Delta Mekong, Vietnam, penduduk bergelut agar tidak tenggelam kalau banjir datang. Di pulau-pulau di Banglades, tempat bermukim 2,5 juta manusia, 80 persennya hidup dalam kemiskinan parah dan berisiko besar tersapu banjir.

"Apa artinya adaptasi kalau ada perbedaan warna kulit," tanya Desmod Tutu, Uskup Agung (Emiritus) dari Cape Town, Afrika Selatan. "Bagaimana perempuan petani miskin di Malawi dapat melakukannya ketika kekeringan panjang menghancurkan hasil panennya?"

Adaptasi menjadi istilah standar dalam perubahan iklim adalah eufemisme bagi ketidakadilan sosial di tingkat lokal dan global. Mereka yang berkecukupan akan terlindungi, sementara yang miskin semakin terpapar. Padahal, jejak orang- orang miskin hampir tidak tercatat di atmosfer Bumi. Artinya, konsumsi mereka sangat rendah dan tidak memberikan sumbangan berarti bagi penebalan emisi CO2 di atmosfer.

"Tidak ada masyarakat dengan rasa keadilan, belas kasih, dan menghormati hak-hak asasi manusia dapat menerima pola adaptasi seperti ini," tegas Desmond.

Meninggalkan orang miskin tenggelam dalam keserbaterbatasan mereka adalah salah secara moral, dan dalam perspektif keadilan adalah pelanggaran. Adaptasi dalam perubahan iklim, bagi Desmond Tutu, harus berada di jantung agenda penghapusan kemiskinan. (MARIA HARTININGSIH)



Post Date : 30 November 2007