Kebutuhan Dana Rekonstruksi Aceh Membengkak Jadi Rp 10 Triliun

Sumber:Kompas - 30 Desember 2004
Kategori:Air Minum
Jakarta, Kompas - Kebutuhan dana untuk melakukan pemulihan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang hancur akibat gempa bumi dan gelombang tsunami membengkak menjadi Rp 10 triliun.

"Hitungan awal Rp 5 triliun, tetapi setelah melihat kerusakan yang dialami wilayah bagian pantai barat, kita butuh lebih dari itu. Hitung-hitungan kasar kita perlu sekitar Rp 10 triliun," kata Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla seusai bertemu para duta besar dan perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Istana Wapres Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (29/12).

Ia menjelaskan, dari laporan terakhir yang diterima, 80 persen kota Meulaboh hancur. "Pantai barat itu semuanya habis. Rumah yang hancur bisa sampai 100.000. Belum (lagi) jalan, rumah sakit, dan sarana lain," ujar Wapres.

Hal yang sama disampaikan oleh Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Aburizal Bakrie. Ia mengatakan, dana sebesar Rp 10 triliun tersebut belum termasuk untuk rehabilitasi sarana yang rusak, tetapi masih bisa digunakan bila dilakukan perbaikan.

Menurut Kalla, ada tiga tahap yang harus dilakukan untuk mengatasi akibat bencana alam yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut). Tahap pertama adalah tahap darurat (emergency), yang akan berlangsung selama satu tahun mulai Desember 2004 hingga Desember 2005, dengan kebutuhan dana sebesar Rp 1,3 triliun. Dana ini untuk pengadaan makanan, pakaian, kesehatan, penampungan sementara, air bersih, listrik, transportasi, telekomunikasi, dan bahan bakar minyak (BBM).

"Waktunya minimal satu tahun karena masyarakat tidak lagi punya penghasilan, semuanya musnah. Jadi, selama satu tahun itu harus kita bantu," ujarnya.

Tahap kedua, lanjut Kalla, adalah rehabilitasi dengan melakukan perbaikan pada sarana dan prasarana yang rusak agar bisa dipakai kembali. "Ini memakan tempo satu hingga 1,5 tahun. Dananya hampir sama dengan kedaruratan, sekitar Rp 1,3 triliun," katanya.

Tahap berikutnya adalah tahap rekonstruksi, yang akan berlangsung selama lima tahun mulai dari awal tahun 2005 hingga tahun 2009. Hal ini meliputi pembangunan kembali infrastruktur, rumah, dan fasilitas pelayanan publik.

Kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan 12 arahan berkaitan dengan penanggulangan bencana alam di NAD dan Sumut.

Arahan tersebut antara lain meliputi pelaksanaan evakuasi segera dan intensif, pengelolaan pengungsi, pencarian orang hilang dan penanganan jenazah, membuka jalur logistik, memulihkan jaringan komunikasi antardaerah, pembersihan kota yang hancur, dan pengelolaan bantuan.

Hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah korban. Namun, dari kerusakan yang ditimbulkan, diperkirakan korban yang meninggal 20.000 hingga 40.000 jiwa.

"Jumlah korban tidak mungkin kurang dari 20.000. Dari laporan hari ini sudah 3.500 jenazah di Meulaboh yang sudah teridentifikasi, tetapi masih banyak yang hilang atau di bawah reruntuhan. Prioritas pemerintah saat ini adalah membersihkan reruntuhan itu dan menolong yang mungkin masih bisa ditolong," kata Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab seusai rapat koordinasi kabinet di Kantor Wapres.

Koordinasi

Untuk mengefektifkan langkah penanggulangan korban bencana di NAD dan Sumut, menurut Alwi, akan dilakukan rapat internal Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana.

"Setiap departemen yang ditunjuk memberi laporan ke Bakornas, yang kantornya akan dibuka di Kantor Wapres (sebagai Ketua Bakornas). Laporan dana yang sudah dihimpun dan yang disalurkan disampaikan kepada Bakornas," ujarnya.

Wapres menegaskan, bencana yang terjadi di NAD dan Nias adalah bencana kemanusiaan dunia, bukan hanya berskala nasional. Indonesia membuka diri terhadap bantuan dunia internasional. "Kita punya keterbatasan, baik peralatan, dana, maupun keahlian. Kita libatkan internasional untuk membantu, karena ini persoalan yang tidak bisa ditunda lagi," ujarnya.

Untuk itu, negara lain atau organisasi internasional yang menyampaikan bantuan ke Aceh dapat menyalurkan langsung bantuannya. "Kita buat aturan yang mudah. Mereka dapat visa langsung di airport, dan langsung clearance pesawatnya ke Aceh. Tinggal memberi tahu saja," kata Kalla.

Pemberian visa on arrival juga berlaku bagi pekerja sosial, dokter, tenaga medis, dan tenaga teknis asing yang beminat menjadi sukarelawan di Aceh. Visa yang diberikan di Banda Aceh atau Bandar Udara (Bandara) Polonia, Medan, itu berlaku satu minggu dan dapat diperpanjang lagi sesuai dengan kebutuhan.

"Wartawan asing yang ingin melakukan liputan pun bisa mendapatkannya. Yang kita butuhkan adalah relawan yang punya pengalaman dan keahlian," tutur Alwi.

Untuk mengatur agar bantuan dari luar negeri tidak terhambat di Bandara di Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, maka aparat bandara di Banda Aceh dan Medan diminta bekerja 24 jam.

"Karena saat ini bandara sangat crowded. Untuk mengatasi itu, kita atur agar refuelling (pengisian kembali bahan bakar) dilakukan di Batam dan Pekanbaru," kata Alwi. Selain itu, guna menghimpun bantuan dari seluruh Indonesia, gubernur diminta membentuk posko bantuan untuk Aceh.

"Kita imbau bantuan lebih baik dalam bentuk uang, yang nanti bisa dibelanjakan di daerah sekitar Aceh. Sebab jika barang belum tentu bisa segera dikirim, malah bisa jadi ongkos transportasinya lebih mahal dari bantuannya," ujar Alwi.

Menurut Aburizal Bakrie, dana penanganan darurat tersebut diharapkan akan dapat terkumpul dari pemerintah, swasta, masyarakat, serta bantuan internasional. Bantuan asing yang telah jelas komitmennya adalah hibah dari Pemerintah Jepang sebesar 1,3 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 12,109 miliar, yang terdiri atas sumbangan dari kantor Kedutaan Besar Jepang di Jakarta serta pemerintah pusat mereka di Tokyo.

"Pemerintah sendiri sudah mencairkan Rp 50 miliar, dan diharapkan akan muncul lagi dari kalangan swasta dalam waktu dekat ini. Seluruh sumbangan akan saya audit," kata Aburizal.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Mulia P Nasution menyebutkan bahwa untuk tahun 2005 pemerintah memiliki dana Rp 2 triliun, yang dapat digunakan untuk kondisi darurat. Sebagian dari dana yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2005 tersebut dipastikan akan digunakan untuk membantu rehabilitasi Aceh dan Sumatera Utara.

"Hingga saat ini masih ada dana bencana alam sebesar Rp 150 miliar dalam APBN 2004 yang belum dicairkan. Kami masih memiliki waktu dua hari untuk mencairkannya," kata Mulia.

Untuk menampung bantuan internasional bagi korban gempa bumi di NAD, Departemen Keuangan membuka empat rekening khusus di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah, dollar AS, euro, dan yen. Keempat rekening tersebut bernomor 510.000272 untuk mata uang rupiah, 602.074411 (dollar AS), 602.075111 (euro), dan 602.075991 (yen).

Darurat sipil

Menjawab pertanyaan tentang status darurat sipil di Aceh, Wapres mengatakan, "Darurat apa pun sudah tidak ada lagi. Gubernur tidak ada, hanya tinggal wakil gubernur seorang diri, stafnya tidak diketahui nasibnya. Ada yang meninggal, dan sebagainya semuanya tercerai-berai. Jadi bukan lagi darurat sipil, ini lebih hebat lagi, karena yang mengatur bukan lagi gubernur, tetapi justru lebih tinggi. Pemerintahan dipegang oleh pusat."

Namun, Menko Kesra menjelaskan, konsentrasi pemerintah saat ini pada penanganan musibah. Sebab, hingga saat ini hampir 100 persen aparat pemerintahan di daerah bencana tidak bisa bekerja. "Wakil gubernur tinggal sendiri saja, ajudannya pun sudah tidak diketahui," katanya.

Menurut staf khusus Wapres Alwi Hamu, untuk mengatasi kevakuman pemerintahan di daerah-daerah bencana, Menteri Dalam Negeri akan mengisinya dengan merekrut pejabat dari daerah lain di sekitar Aceh.

"Seperti wakil bupati di Sumatera Barat, diminta untuk memegang tanggung jawab bupati, atau dari STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam negeri) sementara diminta memegang posisi camat dibantu oleh yang lebih senior. Ini sedang diproses oleh Mendagri," katanya. (ELy/OSD/OIN)

Post Date : 30 Desember 2004